Kamis, 04 Oktober 2012



Cubung Wulung 

                                                                                                          edohaput 


Ketigapuluhdua 

Siang tengah hari. Matahari tepat di ubun - ubun. Panasnya matahari siang tidak begitu terasa karena dikalahkan oleh sejuknya udara gunung. Gudel istirahat di antara tingginya pohon jagung. Badanya penuh peluh, karena Gudel seharian mencangkul membersihkan rumput gulma pengganggu tanaman jagung. Tanaman Jagung yang mulai menyembulkan bunga memberi harapan kepada Gudel ia akan segera mendapat panen. Harga jagung memang tidak seberapa. Tetapi panenan tetap akan membuatnya gembira. Selain uang hasil panen, yang sangat membuat Gudel puas dan senang adalah keberhasilannya bertani. Panenan akan membuat hati menjadi ayem, dan tentrem karena esuk ada yang bisa dimakan. 
Kedatangan Tumi yang tiba - tiba dan tidak diketahuinya membuat Gudel kaget. " Lho Tum ... !" Gudel menyapa Tumi yang sudah berdiri di dekatnya. " lagi ngalamun ya kang. Sampai - sampai adan orang datang dak tahu. Ngalamunkan sapa, kang ?" Tumi menggoda. " Dak Tum...aku dak ngalamun. Cuma penat banget. Dari pagi baru ini istirahat." Gudel menanggapi godaan Tumi. " Ngalamun ya boleh kok, kang. Asal ngalamunkan aku." Tumi semakin menggoda sambil tertawa renyah. Seperti biasanya Tumi segera membuka barang bawaan. Wedang serbat dan pisang goreng yang dibeli dari kedainya mbok Semi. " Ni diminum, kang." Tumi menuangkan wedang serbat di cangkir dan mengansurkan ke Gudel. " Tuh ... kalau minum aku dah bawa, malam ada singkong rebus juga. " Kata gudel sambil dagunya menunjuk cerek dan piring yang masih ada singkong rebusnya. Tetapi tangannya juga tetap menerima cangkir wedang serbat anget yang diansurkan Tumi. " Lhah .. itu kan dah dingin ta, kang. Yang ini kan masih anget. Lagian ni.... pisangnya malah masih panas." Tumi membuka bungkusan dan asap masih nampak mengepul dari pisang goreng. Gudel menikmati wedang serbat dan pisang goreng sambil sesekali melirik wajah Tumi yang rambutnya tergerai dipermainkan angin. Tumi ini cantik juga. Apalagi Tumi ini baik banget sikapnya terhadap dirinya. Membantunya. Memperhatikannya. Bahkan telah rela memberikan perawannya. Tetapi mengapa hatinya malah selalu kepada Menik. Menik yang tidak perhatian terhadap dirinya, yang tidak mengerti akan isi hatinya yang telah ditunjuk - tunjukkan melalui jasa - jasa tenaganya. Menik yang apabila berada di dekatnya nampak biasa - biasa saja tanpa ada tanda - tanda ia menyukai dirinya. Menik yang pernah di satu malam tempo hari dulu pernah diciuminya dan diraba, diremas payudaranya. Lalu apa sebenarnya yang terjadi tempo hari dulu itu. Mengapa Menik mau diciumnya. Diraba - rabanya. Apakah menik hanya terlena saja. Dan itu bukan balasan rasa cintanya. Apakah yang dilakukan Menik hanya seperti yang dilakukannya terhadap Tumi. Bercumbu tanpa rasa cinta. Tumi sebenarnya tidak kalah cantik dengan Menik. Gudel lebih tertarik terhadap Menik dikarenakan Menik telah lebih dulu mempesonakannya. Gudel telah jatuh hati terhadap Menik yang kalem. Lembut tutur katanya. Anggun sikap dan tingkahnya. Cenderung pendiam. Kalau tertawa lirih hampir tidak terdengar. Dan senyumannya selalu  mengambang. Beda dengan Tumi yang sikap tingkah polahnya tidak disukai Gudel. Tumi kemayu, centil, vulgar, mudah membuka mulut lebar - lebar dan berkata - kata dan tertawa keras. Mudah cemberut dan bermuka masam kalau keinginan tidak segera terpenuhi.  Bahkan ketika bersin saja Tumi mengumbarnya dengan suara keras dan diahkiri dengan tertawa keras atau kata - kata yang tidak pas. Beda dengan Menik yang jika bersin ditahan - tahan agar tidak menimbulkan suara. Tetapi Tumi telah banyak berkorban untuk dirinya. Dan sangat kentara sekali kalau Tumi menyukai dirinya. Berbeda dengan Menik yang sampai detik ini belum diketahui apakah Menik menyukai dirinya. Apalagi ahkir - ahkir ini justru Menik akrab dengan juragan Rase yang kaya harta. Akankah dirinya menyia - nyiakan cinta Tumi dan mengaharap yang tidak pasti dari Menik. Memang pikiran, perasaan dan seluruh relung hatinya hanya terisi Menik. Tidak ada sisa untuk Tumi. Lalu apa sebenarnya yang selama ini ia lakukan bersama Tumi. Mengapa pula ia selalu menyambut uluran tangan Tumi ? Apakah karena dirinya tahu kalau Tumi sangat menyukai dan mengejar - ngejarnya lalu dirinya memanfaatkan Tumi ? Apakah akan baik jika dirinya terus mempermainkan Tumi ? Tiba - tiba terbersit rasa kasihan terhadap Tumi. Akankah ketulusan cinta Tumi dibuang begitu saja ? Lalu apa yang akan terjadi jika sejauh ini dirinya telah banyak berhubungan dengan Tumi lalu pada ahkirnya dirinya menolak cinta Tumi ? Tegakah dirinya menyepelekan apa yang selama ini telah diperbuat Tumi pada dirinya ? 
Tumi mengeluarkan kantong kecil yang terbuat dari kain berisi tumpukan uang dari balik kain yang dikenakannya dan memberikannya kepada Gudel. " Kang lunasi kebutuhan kakangmu. Aku kira uang ini cukup, kang. Dan dak usah dipikirkan kang Gudel bisa atau dak mengembalikan uang ini dan perhiasan yang kemarin lusa aku berikan ke kang Gudel. Yang pentiing sawah itu dak jadi terjual. Dan yang penting lagi kang, kang Gudel harus segera mendaftarkan tanah itu ke kelurahan kalau tanah itu dah dibeli kang Gudel." Gudel membuka kantung yang sudah di tangannya. Gudel kaget dan memelototi uang di tangannya. " Ini lebih dari cukup, Tum. Lalu dari mana kamu bisa dapat uang sebanyak ini ?" Gudel menatap mata Tumi. Tumi tidak berani membalas tatapan mata Gudel. Tumi tidak mau sorot mata kebohongannya akan dibaca Gudel. " Ini tabungan bapakmu dan mbokmu ya, Tum ?" Gudel menegaskan pertanyaan. " Ya kang." Hanya ini yang bisa terucap di mulut Tumi. Dan itu adalah kebohongan. " Kalau begitu aku ambil secukupnya saja, Tum. Ini lebih dari cukup. Kurangnya tidak segini kok Tum." Gudel mencoba membagi uang dan akan mengembalikan sisanya kepada Tumi. " Sisanya pakai saja kang. Simpan dulu. Barangkali nanti masih ada yang perlu diselesaikan, seperti ongkos balik nama sawah." Tumi menolak sebagian tumpukan uang yang mau dikembalikan Gudel. " Tum terima kasih. Lalu bagaimana nanti aku harus mengembalikannya." Ucap Gudel lirih. Seolah hanya berkata pada dirinya sendiri. Gudel merasa sangat berhutang budi kepada Tumi. " Dak usah berpikir mengembalikan kang. Toh nanti sawah itu aku juga akan ikut memilikinya." Tumi merapatkan duduknya di sisi Gudel. Lagi - lagi Gudel harus kaget. Ternyata Tumi sudah sejauh itu berpikir. Tumi ingin dirinya menjadi suaminya. Hari ini Gudel menjadi semakin tersadar. Semua yang dilakukan Tumi memiliki harapan agar dirinya bisa hidup bersama Tumi, dan bukan hanya sekedar teman yang saling mencari kesenangan. Sejak semula Gudel tahu kalau Tumi menyukainya. Menyintainya. Yang di ketahui dan dan dirasakan Gudel selama ini Tumi hanya mencari kesenangan. Ternyata Tumi mempunyai harapan banyak terhadap dirinya. Gudel menjadi terdiam. Tidak berucap menjawab kalimat Tumi yang baru saja diucapkan. Gudel hanya terus mengunyah pisang goreng dan sesekali menyerutup wedang serbat. 
Kembali pikiran Gudel melayang ke Menik yang banyak dirindukannya. Perasaan cemburunya terhadap juragan Rase masih terus memenuhi dadanya. Tetapi terhadap juragan Rase Gudel tidak bisa berbuat apa - apa. Gudel sangat tahu dirinya tidak sebanding dengan juragan Rase yang kaya raya. Terhadap Menik Gudel hanya bisa cemburu. Dirinya sangat tidak mempunyai hak untuk melarang Menik bergaul dengan juragan Rase. Ahkir - ahkir ini panasnya hati karena rasa cemburu hanya disimpannya sebagai derita. Dan kadang - kadang nelangsa. Mengapa dirinya tidak bisa kaya seperti juragan Rase. Jika ada harta dirinya akan mudah mendekati Menik. Akan bisa lebih percaya diri. Yang dimilikinya hanya kokoh dan kuatnya badan. Yang bisa digunakan untuk memberikan jasa tenaga kasar kepada Menik. Akankah cintanya kepada Menik berbalas ? Apakah dirinya ini tidak hanya sebagai pungguk yang merindukan bulan ? 
" Lho kang, kok malah ngalamun ta ?". Tumi yang duduknya telah menempel di tubuh Gudel menyenggol Gudel dengan pundaknya. Gudel tergagap. " Dak Tum....dak. Aku dak ngalamun. Aku sedang berpikir bagaimana caranya nanti aku mengembalikan uang yang kupinjam ini." Gudel berbohong. " Dah dak usah dipikirkan. Yuk kang ke gerumbul !" Tumi berdiri dan menarik tangan Gudel. Gudel tidak bisa menolak. Tumi terus berjalan sambil menarik tangan Gudel menuju gerumbul semak - semak tempat yang sudah dua kali digunakan Gudel dan Tumi bercinta. Sejak gerumbul ini menjadi tempat kenikmatan, Gudel sengaja tidak membersihkannya. Malah merawatnya. Tumbuhan liar gerumbul diberinya pupuk. Rumput liar juga dibiarkan tubuh subur dan bisa digunakan sebagai kasur. Gudel bahkan menambahkan tanaman berbunga wangi di sela - sela tumbuhan liar yang rimbun dan lebat. Karena pernah juga terlintas sebuah harapan Menik mendatanginya di sawah. Dan gerumbul ini akan melindungi dirinya yang bercumbu rayu dengan Menik. Dan mekarnya bunga - bunga wangi ini akan semakin menghiasi indahnya cinta. Menik akan dicumbunya dengan penuh perasaan cinta. Akan dipeluknya. Dielus rambutnya. Dicium pipi dan bibirnya. Dielus dan diraba seluruh kulit tubuhnya. Dan akan dibisikkan di telinga Menik kata - kata cinta yang sudah sering disusunnya dalam angan.
Sampai di tengah gerumbul Tumi cepat - cepat melepas celana dalamnya dan dengan sigap segera memelorotkan celana kolor Gudel. 

bersambung ......................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar