Kamis, 18 Oktober 2012


Cubung Wulung 

                                                                                                     edohaput


Ketigapuluhdelapan

Pagi hangat. Matahari semakin meninggi di atas gunung. Udara masih terasa dingin. Angin bertiup pelahan. Tidak mampu menggoyangkan ranting - ranting pepohonan. Menik sibuk di dapur menjerang air dan menyiapkan makan pagi. Yu Jumprit benar - benar tidak pulang dari kepergiannya tadi malam. Menik tidak bisa memperkirakan mengapa yu Jumprit tidak pulang. 
Di ruang tamu sudah ada beberapa orang menunggu yu Jumprit untuk minta diobati dari sakitnya. Pak Pedut kebingungan. Apa yang akan dikatakan kepada tamu - tamunya yang ingin ketemu yu Jumprit. Pak Pedut hanya bisa meminta tamu - tamunya bersabar. Pak Pedut belum bisa ngomong apa yang sebenarnya terjadi. Semalam yu Jumprit tidak pulang. Pak Pedut hanya bisa gelisah. Keluar masuk rumah. Longok - longok ke jalan barangkali yu Jumprit berjalan pulang. Sesekali ke dapur melihat Menik yang sibuk. " Nik, semalam Jumprit pamitan sama kamu dak kalau mau nonton pethilan ?" Pak Pedut mendekati Menik yang tetap sibuk. " Dak, pak. Cuma aku mendengar yu Jumprit pergi lewat pintu dapur." Jawab Menik tanpa melihat roman muka bapaknya yang kebingungan. " Aduh .... terus kemana Jumprit ini. Lha kepada tamu - tamu itu terus gimana, Nik ?" Pak Pedut minta pertimbangan Menik. menik diam. Tidak menjawab dan tetap sibuk. " Gimana, Nik ?" Pak Pedut kembali mengulangi pertanyaannya. " Bapak cari saja yu Jumprit di rumahnya, pak. Barangkali yu Jumprit pulang ke rumahnya dan ketiduran." Jawab Menik. " Benar juga, Nik. Siapa tahu Jumprit semalam ngantuk dan sekarang ketiduran di rumahnya. Kalau begitu aku kesana, Nik. Kamu temani tu tamu - tamu !" Pak Pedut segera melangkah pergi. " Dak usah ditemani, pak. Ini sudah aku buatkan minum, segera aku suguhkan." Kalimat Menik mengiring langkah bapaknya yang bergegas menuju pintu. 
Setengah berlari pak Pedut menuju rumah yu Jumprit. Rumah yu Jumprit yang agak terpencil dari rumah - rumah lainnya sepi. Tidak ada tanda - tanda kehidupan di dalamnya. Semuan pintu dan jendela tertutup rapat. Pak Pedut ketuk - ketuk pintu berulang sambil memanggil - manggil. Tidak ada jawaban. Mendengar pak Pedut memanggil - manggil yu Jumprit seorang tetangga mendekat. " Ada apa, kang Pedut ?" Tanya tetangga sambil mendekati pak Pedut yang berdiri di depan pintu rumah yu Jumprit. " Jumprit semalam dak pulang dari pergi nonton pethilan. " Pak Pedut menerangkan. " Sejak semalam sepi kok kang rumah ini. Tetangga paling dekat kan aku kang. Jadi kalau ada suara apa - apa akulah yang paling tahu. Tetapi benar kang sejak malam dan pagi ini dak ada orang buka pintu kok, kang." Tetangga dekat yu Jumprit memberi penjelasan. " Ya sudah aku pulang dulu. Kalau Jumprit pulang kesini tolong kabari aku." Pak Pedut berlalu meninggalkan tetangga yu Jumprit setengah berlari. 
Ditunggu sampai tengah hari yu Jumprit tidak kunjung pulang juga. Pak Pedut hanya bisa minta maaf kepada para tamu, dan meminta besuk kembali lagi. Pak Pedut tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Yang dikerjakan pak Pedut hanya bisa bengong duduk di ruang tamu menunggu yu Jumprit pulang. 
Kliwon bangun kesiangan. Kantuknya semalam membuatnya bangun tengah hari. " Won kamu semalam lihat Jumprit di keramaian ?" Tanya pak Pedut yang melihat Kliwon sudah membawa cangkul mau ke sawah. " Dak pak. Aku dak lihat." Jawab Kliwon tanpa melihat muka bapaknya dan terus berlalu meninggalkan rumah. 
Hari ini pak Pedut tidak ke sawah. Perasaannya tidak enak. Kemana Jumprit ini. Tidak biasanya Jumprit berlaku seperti ini. Pak Pedut mencoba introspeksi. Apa dirinya berbuat salah terhadap Jumprit. Tidak menemukan. Rasa - rasanya tidak ada perlakuan dirinya terhadap yu Jumprit yang menyakitkan. Tidak mungkin Jumprit marah hanya karena tidak diajaknya ke keramaian semalam. Bukan sifat Jumprit hanya masalah kecil dibesar - besarkan. 
Ditunggu sampai Sore. Yu Jumprit tetap tidak tampak batang hudungnya. Pak Pedut semakin gelisah. Dan yang paling merepotkan pak Pedut adalah tamu - tamu yang minta disembuhkan dari sakitnya yang terus berganti - ganti berdatangan. Dan pak Pedut tidak bisa berbuat banyak kecuali meminta maaf dan meminta tamu - tamunya untuk kembali lagi esuk harinya. Pak Pedut tidak tega kepada para tamu yang minta dilayani yu Jumrpit. Sudah datang dari jauh, banyak biaya, tidak bisa ketemu Jumprit. Belum lagi melihat para tamunya yang pada umumnya susah berjalan karena sakitnya. Padahal kalau yu Jumprit ada mereka akan sembuh seketika, atau setidak - tidaknya pulang dengan perasaan nyaman. 
Ketika malam mulai turun dan merambahi desa, pak Pedut tidak lagi hanya gelisah. Perasaan kawatir mulai muncul. Kemana Jumprit pergi. Mengapa Jumprit tidak pulang. Apa yang terjadi. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak pak Pedut. 
Yang dilakukan pak Pedut kemudian mengunjungi tetangga dari pintu ke pintu. Menanyakan apakah para tetangga semalam melihat Jumprit. Diperoleh jawaban dari para tetangga yang pergi menonton keramaian, bahwa tidak satupun yang melihat yu Jumprit berada di tempat keramaian. Banyak para tetangga yang ikut prihatin dan berusaha saling bertanya tentang keberadaan yu Jumprit.
Gudel datang menemui Menik. " Aku benar - benar dak tahu, kang. Kemana yu Jumprit pergi." Menik mengansurkan wedang jahe ke Gudel yang duduk bersila di amben dapur. " Aneh lho Nik. Aneh. Ini benar - benar aneh. menurutku yu Jumprit tidak bakalan tega pergi tanpa pesan begini. Oh ... ya Nik, apa yu Jumprit punya saudara yang tinggal jauh dari desa ini, Nik ?" Gudel mencoba mencari tahu. " Tidak kang. Tidak ada. Sandaranya yu Jumprit yang masih ada yang tinggal mendiang mbokku. Sekarang mbokku dah dak ada. Ya yu Jumprit tu sekarang dak ada lagi saudara." Menik memberi penjelasan kepada Gudel. Gudel mengerinyitkan dahinya. Lalu kemana perginya yu Jumprit ini. Gudel hanya bisa menatap Menik yang duduk dihadapannya yang sesekali memasukan emping melinjo di mulutnya yang mungil. Melihat mulut Menik yang indah, yang pernah diciumnya, Gudel tidak bosan - bosan menatapnya. Gudel yang jarang bisa bertemu dengan Menik menjadi bisa melepas rasa rindunya dengan menatapnya. Menik yang tahu terus ditatap Gudel menjadi kikuk. Wajahnya menjadi merona. Dan gaya makannya menjadi kaku. Sebaliknya Gudel menjadi melihat wajah Menik yang begitu ayu. Dengan pipi yang merah merona karena malu dan kikuk serta melut kecil yang terus mengunyah emping melinjo. Rasa cinta dan kasihnya menjadi - jadi. Serasa Gudel ingin memeluk tubuh indah yang ada dihadapannya. menyayangnya. Memanjakannya. Alangkah indah hidupnya jika dirinya bisa selalu bersanding dengan Menik. " Lho kok malah diam ta, kang. Mbok ya ngomong !" Menik menyadarkan Gudel yang terus menatapnya. " Ya....ya.... aku sedang .... sedang ...mikir yu Jumprit, Nik !" Gudel tergagap. Dan matanya tertumbuk paha Menik yang karena kakinya bergerak  merubah posisi duduknya. Dan kain bawah Menik yang terus tersingkap membuat Gudel menjadi kikuk. Matanya ingin memandang, tetapi perasaan malunya tidak bisa disembunyikan. " Kang aku minta tolong, kalau sampai besuk pagi yu Jumprit tidak pulang, tolong kang Gudel menyarinya, kang ?" Menik menatap mata Gudel, dan Menik melihat mata Gudel berbinar, tanda sangat senang dimintai tolong oleh dirinya. " Ya...ya....Nik akan aku cari yu Jumprit sampai ketemu." Gudel bersemangat. Gudel sangat senang. Karena bakal memperoleh kesempatan bisa sering mengunjungi Menik lagi. Siapa tahu cintanya terhadap Menik bisa kesampaian.
Pak Pedut tidak berhenti gelisah. Mondar - mandir. Keluar rumah. Melongok jalanan. Masuk lagi ke rumah. Duduk menyulut rokok. Bediri lagi ke dapur melihat Menik dan Gudel yang sedang berbincang. Masuk lagi ke rumah. Jumprit kamu kemana. Jumprit kamu dimana. 
Karena malam telah merangkak jauh. Gudel berpamitan meninggalkan Menik. Pak Pedut mencegahnya. " Jangan pergi, Del. Temani aku. Aku sangat bingung." Pak Pedut meminta Gudel tetap tinggal. Gudel tidak bisa membantah. " Kita duduk - duduk di ruang tamu saja, Del. Oh .... ya....Nik ...tolong buat teh panas." Pak Pedut tidak bisa menyembunyikan gelisahnhya. Dari kamar Kliwon dengkurannya sangat keras terdengar di telinga Gudel. Sepertinya Kliwon tidak peduli dengan apa yang sedang dialami bapaknya. 

bersambung ...................




Tidak ada komentar:

Posting Komentar