Kamis, 27 Juni 2013

Cubung Wulung

                                                                                                     edohaput

Kedelapanpuluhtujuh

Setelah menutup kedainya mbok Semi bergegas keluar rumah. Seperti biasanya bungkusan pisang goreng dan wedang serbat panas ditentengnya. Mbok Semi melewati jalan yang biasanya dilalui. Mbok Semi hafal dengan jalan setapak di pinggir kali yang menuju kuburan. Walaupun malam gelap mbok Semi bisa berjalan cepat. Mbok Semi ingin segera sampai di kuburan dan membuka pintu rumah pak Blengur. 
Pak Blengur yang sedang telentang di amben dan sedang melantunkan tembang, tidak kaget ketika pintu rumahnya di dorong. Pak Blengur tahu yang datang mbok Semi. Tembang yang belum selesaipun tetap dilantunkan sampai rampung. Mbok Semi sibuk membuka bungkusan pisang goreng dan wedang serbat panasnya. " Dah dik Blengur minum dulu, ni wedangnya mumpung masih panas. Pisangnya juga masih anget. Dah duduk jangan tiduran gitu." Mbok Semi menyodorkan wedang serbat dan pisang goreng di dekat pak Blengur yang bangun dari tidurannya. Tanpa menunggu disuruh - surah lagi pak Blengur segera menyambar pisang goreng dan dimasukkan ke mulutnya. Wedang serbatnyapun segera dipakai untuk melancarkan pisang goreng yang ditelannya. " Juragan Gogor lumpuh, juragan Rase juga begitu, kaihan ya dik mereka itu." Mbok Semi memposisikan duduk di amben. kainnya dikendorkan, sehingga seluruh pahanya sampai ke pangkalnya bisa dilihat pak Blengur. "Orang seperti juragan Rase dan juragan Gogor tu dak perlu dikasihani, yu. Mereka orang kaya. Walaupun lumpuh masih tetap bisa hidup enak, karena tetap ada yang melayani. Lha kalau aku yang lumpuh ? Ya pilih mati saja." Pak Blengur memberi jawaban sekenanya. " Tapi anehnya kok Menik dak mau menolong juragan - juragan itu ya, dik ?" Mbok Semi membuka kain yang menutupi dadanya. Pak Blengur melihat belahan di dada mbok Semi. Pak Blengur hanya tersenyum menanggapi pertanyaan mbok Semi. " Padahal Menik sekarang tamu - tamunya makin banyak saja. Bahkan banyak yang datang dari luar desa. Menik benar - benar telah seperti Nyi Ramang ya dik. Siapa saja ditolongnya. Sakitnya disembuhkan. Masalahnya diringankan. Tetapi terhadap juragan Rase dan juragan Gogor kok dak mau ya dik ?" Mbok Semi banyak bicara. Pak Blengur hanya kembali tersenyum dan terus mengunyah pisang goreng. " Trus tu begundal - begundalnya juragan Gogor si Plencing dan Tobil minggat ke mana ya dik ? Utangnya belum dibayar malah minggat !" Mbok Semi jadi menggerutu. Pak Blengur tidak menanggapi. " Tapi anehnya dik, desa ini, sejak Menik menggantikan Nyi Ramang kok jadi tentram. Rasanya di desa ini damai. Orang - orang tambah rukun, dan hasil panen kok ya jadi berlimpah." Mbok semi tidak mau berhenti ngomong. Pak Blengur tetap tidak menanggapi. Pak Blengur malah melepas kain yang menutupi tubuh bagian atasnya. Mbok Semi menjadi bisa melihat otot - otot menonjol pak Blengur. Mbok Semi menelan ludah. Mbok Semi selalu rindu dengan tiubuh pak Blengur yang berotot. Yang kalau sudah memeluknya sungguh terasa kuatnya. Mbok Semi semakin mengendorkan kainnya, sehingga hampir terlepas. Seperti malam  - malam sebelumnya mbok Semi selalu dengan mudah mengendorkan kain bawahnya jika sudah di rumah pak Blengur. Seperti biasanya juga kalau mbok Semi sudah mulai melepasi kainnya mentimun pak Blengur langsung berontak. " Persis ketika Nyi Ramang masih hidup dan masih mau menolong orang, rumah menik selalu dipenuhi orang yang antri minta ditolong. Yaaaahhh .... mudahan - mudahan menik akan seperti Nyi Ramang." Mbok Semi mencopot kain bawahnya. pak Blengur melihat mbok semi telah telanjang tubuh bawahnya. Kini Pak Blengur yang menelan ludah. Milik mbok Semi yang berambut terlihat oleh mata pak Blengur. Mata pak Blengur tidak mau melepaskan pemandangan indah yang selalu ingin dilihatnya. Pemandangan yang selau ingin dilihatnya. Dan kalau sudah beberapa lama tidak disaksikannya rasanya membuat kepalanya menjadi pening. " Yaaaahhh mudah - mudahan jimat itu aman di tangan Menik. Nik ...Nik ... semua orang berterima kasih kepadamu." Mbok Semi mencopot kain atasnya dan perlahan terlentang di amben. Mbok Semi telah telanjang menunggu serangan pak Blengur.Mbok Semi selalu ingin diserang pak Blengur dengan kegarangannya. Kegarangan pak Blengur selalu diharapkan. Mbok Semi tidak tahan kalau seminggu tidak menyambangi rumah pak Blengur. Pak Blengur yang betah dan sanggup berlama - lama sangat menyenangkan mbok Semi. Hidup rasanya belum lengkap jika pelukan kuat pak Blengur lama tidak dirasakan.
Udara di luar rumah dingin. Ada gerimis kecil. Dan kabut menyelimuti kuburan dimana ada rumah pak Blengur yang di dalam rumah sedang ada mbok Semi yang menunggu pak Blengur memberikan kenikmatannya.  Pak Blengur melepas sarungnya. Dan mentimunnya tegak mengarah ke mbok Semi. Mbok semi melihatnya. Dan mentimun besar panjang itu segera ditangkapnya. Digenggamnya dengan lembut dan digoyang - gopyangkan. Pak belngur segera membungkuk dan menyerang payudara mbok Semi dengan mulutnya. Mbok semi merintih. Tangan pak Blengur yang meraba perut dan menuju selangkangan mbok Semi, membuat mbok Semi semakin merintih. " Dik ayo dik, aku dah dak tahan." Mbok semi menggeleng - gelengkan kepala sambil sesekali meringis menahan rasa nikmat yang semakin merasuki seluruh tubuhnya. Pak Blengur tanggap dan juga karena dirinya sudah seminggu tidak didatangi mbok Semi maka juga keinginannya menjadi menggelegak membara. Pak Blengur segera menempatkan pinggulnya di selangkang mbok Semi yang kangkang lebar. Pak Blengur menempelkan mentimunnya di bibir milik mbok Semi. Mbok Semi mendesah karena tahu pasti sebentar kemudian miliknya akan dijejali mentimun yang besar kaku dan panjang. Pak Blengur menekankan mentimunnya. Mbok Semi terbeliak sesaat kemudian memejamkan matanya sambil tubuhnya menggelinjang. " Aaaaaahhhhh .... dik .... " Mbok Semi menggeliat - geliat. Pak Blengur mulai berpacu. Yang terdengar kemudian hanya suara rintihan, dengusan napas yang memburu dan derak amben yang bergoyang - goyang lantaran keduanya terus berpolah menikmati kenikmatan yang selalu dirindukan.

t a m a t.
Cubung Wulung

                                                                                                     edohaput


Kedelapanpuluhenam

Pagi sudah sempurna. Matahari sudah tampak sempurna di atas gunung. Hangatnya panas matahari mulai bisa menghapus kabut yang masih menyelimuti desa. Udara masih terasa dingin. Namun hangat matahari sudah bisa dirasakan oleh warga yang bekerja di sawah dan perladangan. Embun masih menempel di dedaunan. Dan berangsur menguap seiring matahari yang mulai bersinar putih, tidak lagi berwarna kuning seperti saat merekah di punggung gunung. 
Di rumah Menik. Plencing dan Tobil bersimpuh dan berkali - kali bersujut dan memegangi kaki Menik yang berdiri terpaku. Wajah Menik nampak sekali kalau sedang marah. Mukanya memerah. Matanya tajam menatap Plencing dan Tobil yang bersimpuh sambil bersujut - sujut memegangi kaki Menik. " Ampun Nik...ampun. Ampuni aku dan kang Tobil. Jangan  hukum kami, Nik. Aku tobat, Nik. Tobat." Kata Plencing sambil bersujut - sujut di kaki Menik. Derai air mata ketakutan Plencing tidak terbendung. Plencing menangis dan berkata terbata - bata. " Nik aku mengaku bersalah. Aku sangat berdosa, Nik. Aku tobat. Ampuni aku, Nik. Ampuni .... Nik." Tobil juga berbuat sama seperti yang dilakukan Plencing. Tobil juga menangis di kaki menik. Tangisan takut tobil bahkan lebih keras dari tangisan Plencing. " Jangan hukum kami, Nik. Jangan siksa kami, Nik. Aku tobat. Nik .... " Plencing terus bersujut - sujut di kaki Menik sambil terus menangis. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut ketika mata mereka menatap mata menik. Mata yang berubah menjadi merah bercahaya. Tobil dan Plencing tidak lagi melihat sosok Menik melainkan yang ada di hadapan mereka adalah sosok Nyi Ramang yang sangat berwibawa dan menakutkan. Yang dilakukan kemudian oleh Tobil dan Plencing bersujut di kaki Menik yang nampak seolah Nyi Ramang. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut. Tobil dan Plencing takut kena hukuman dari Menik atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Plencing dan Tobil sangat sadar apa yang telah dilakukannya sangat tidak terampuni. Perbuatannya sangat keji dan tidak akan bisa diterima oleh siapapun. Badan Tobil dan Plencing menjadi semakin gemetar ketika menik masih tetap berdiri terpaku tanpa mau bicara menanggapi permohonan ampun dari Tobil dan Plencing. Tangis penyesalan dan ketakutan Tobil dan Plencing terdengar semakin menjadi. Ahkirnya Menik bicara : " Baiklah kalian aku ampuni !" Belum selesai Menik bicara Tobil dan Plencing bersujut mencium kaki Menik. " Terima kasih, Nik.... terima kasih ... aku diampuni." Plencing bersujut sambil mencium kaki Menik. Demiki juga yang dilakukan Tobil. " Kang Tobil dan Kang Plencing harus meninggalkan desa ini. Silakan mau pergi kemana. Dan jangan menginjakkan kaki lagi di desa ini sebelum anak yang aku kandung ini nanti berumur sepuluh tahun !" Ucap Menik sambil menunjuk perutnya yang membuncitnya sudah begitu besar. " Trima kasih Nik aku dan kang Tobil akan pergi dari desa ini, asal tidak kau hukum yang membuat kami menderita. Terima kasih Nik ... terima kasih." Plencing dan Tobil menyembah - nyembah Menik. " Jika kang Tobil dan kang Plencing melanggar ini, kang Tobil dan kang Plencing akan menderita lumpuh badan !" Menik Memelototi Tobil dan Plencing. " Nik aku tidak akan melanggar apa yang kamu suruhkan ke aku dan kang Tobil, Nik. Aku bersumpah !" Plencing mendongak melihat wajah Menik yang masih tetap kelihatan merah karena marah. " Benar Nik, lebih baik kami pergi dari desa ini daripada kamu beri hukuman. Aku bersumpah tidak akan kembali ke desa ini seperti apa katamu." Tobil juga memberanikan diri melihat wajah Menik. " Nik ... kapan kami harus meninggalkan desa Nik ?" Plencing sudah berani duduk tegak dan memandang wajah Menik. " Sebelum matahari tepat di atas kepala kang Tobil dan kang Plencing, kang Tobil dan kang Plencing harus sudah berada di luar batas desa. Jika tidak kang Tobil dan Kang Plencing akan menderita seperti juragan Rase dan juragan Gogor !" Menik tetap memelototi Tobil dan Plencing yang terus tetap ketakutan. " Kalau begitu aku pamit Nik !" Plencing berdiri dan membungkuk - bungkuk di hadapan Menik. Dan diikuti tindakan serupa oleh Tobil. 
Tobil dan Plencing berlari meninggalkan rumah Menik menuju rumah masing - masing. Tobil dan Plencing sadar hari sudah semakin siang. Jika terlambat pergi dan matahari telah berada di atas kepala mereka takut akan menderita lumpuh. Di rumah masing - masing tobil dan Plencing hanya bisa mengumpulkan beberapa kain dan segera dibungkus dengan taplak meja dan segera berlari menuju gapura desa. Tobil dan Plencing terengah - engah dan mereka bertemu di tapal batas desa. " Kang ayo kita terus berlari sejauh - jauhnya dari desa. Ayo kang ! Aku takut !" Plencing menarik narik tangan Tobil yang masih terengah - engah napasnya tersengal. " Kemana kita Cing ? Sudah kesana ke arah kota ! Ayo kang ... !" Plencing menunjuk jalan ke kota. 
Plencing dan Tobil terus berlari seperti maling dikejar warga. Orang yang melihat kelakuan Tobil dan Plencing hanya bisa bertanya - tanya. Ada apa kedua orang ini. Plencing dan Tobil ingin hari ini harus berada sejauh - jauhnya dari desa. Mereka takut dengan bau asap dupa kemenyan yang dibakar. Setelah benar - benar bau dupa kemenyan yang dibakar tidak lagi tercium di hidung Plencing dan Tobil mereka berhenti berlari. " Kita sudah jauh kang. Dan kang Tobil juga dak baui dupa kemenyang lagi ta kang ?" Tobil mengangguk sambil terus terengah. Rasa haus di kerongkongan begitu terasa. "Cing aku haus banget !" Tobil memandang sekeliling. Tidak ada orang berjualan. Hari sudah sore. Matahari sudah sangat miring ke barat. " Kita turun ke kali itu saja kang. Minum dan mandi !" Plencing melangkah ke kali diikuti Tobil. Tobil dan Plencing langsung membungkuk di pinggir kali dan minum air kali sepuasnya. Tobil dan Plencing mandi air kali. Penat dan haus berangsur hilang. Tetapi laparnya perut tidak ketulungan. Plencing dan Tobil kembali ke jalan. Bingung. Mau kemana. Rasa lapar sangat terasa. " Kemana tujuan kita sekarang Cing ?" Tobil  tampak sangat sangat bingung. " Kemana ya kang ?" Plencing celingukan. " Kita ke rumah di pinggir jalan itu kang. Siapa tahu kita dapat pertolongan. Sebentar lagi malam. Kita harus dapat tumpangan tempat kita tidur." Plencing terus mengawasi rumah di pinggir jalan yang pintunya sedikit terbuka. " Ya sudah ayo kita coba." Tobil langsung menarik tangan Plencing.
Tobil dan Plencing memperoleh pertolongan dari yang empunya rumah yang ternyata bernama Temuni. Temuni seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Temuni hidup sendiri di rumah besar walaupun sederhana. Temuni mengurusn sawah ladang sendiri sepeninggal suaminya. Hari bertambah tahun berganti Temuni semakin tidak mampu mengurusi sawah ladangnya. Gayung bersambut Plencing dan Tobil pengangguran yang sedang bingung bertemu dengan Temuni yang butuh tenaga untuk mengurus sawah ladangnya. 
Tobil sendawa pertanda perutnya kenyang. Plencing dan Tobil mendapat makanan yang cukup untuk mengenyangkan perutnya dari Temuni. Plencing tersenyum lega temannya bisa kenyang. " Jadi dik Tobil dan dik Plencing ini bersedia ta membantu aku mengurus ladang ?" Temuni bertanya lagi kepadaTobil dan Plencing. Tadi sudah beberapa kali pertanyaan ini disampaikan ke Tobil dan Plencing yang juga sudah disanggupi. Temuni segera akrab dengan Tobil dan Plencing. Temuni merasa kasihan terhadap keduanya. Cerita jujur yang disampaikan Plencing kepada Temuni mengapa dirinya sampai pergi dari desa dipercaya Temuni. " Sanggup, yu. Sangat sanggup. Bekerja apa saja aku dan kang Tobil ini akan sanggup dan sangat bersedia asal bisa mendapat tempat berteduh." Plencing meyakinkan Temuni. " Ya sudah kalau begitu. Sekarang sana di Tobil sama dik Plencing tidur. Mau tidur di kamar itu juga boleh. Itu kamar kosong." Temuni minta Tobil dan Plencing istirahat. Temuni tahu kalau kedua tamunya yang cepat diakrapi ini sangat kelelahan. 
Begitu kepala diletakan, Tobil langsung mendengkur. Karena kekenyangan dan capainya membawanya  mudah tidur. Plencing masih duduk sambil merokok. Plencing merenung. Mengingat - ingat sejarah yang bisa membawanya bertemu dengan Temuni. Pikiran Plencing melayang. Yu Temuni janda. Dan dirinya tinggal bersama janda. Apa yang akan terjadi nanti. Yu Temuni walau sudah cukup usia tetapi masih nampak padat tubuhnya. Wajahnya bersih. Kulitnya memang banyak terbakar matahari, tetapi tidak ada kerutan - kerutan. Semua masih nampak kencang. Pikiran nakal Plencing menghinggapi angannya. Dirinya pasti akan memperoleh yang tidak pernah didapatkan di desa. Di desa Plencing hanya sibuk menyiapkan gula - gula buat juragannya. Sekarang Plencing sudah terlepas dari juragannya yang sekarang menderita lumpuh. Plencing berharap dirinya akan mendapatkan kesenangan dengan yu Temuni. Temuni yang masih nampak segar dan padat. 

bersambung .................
 

Minggu, 23 Juni 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                     edohaput


Kedelapanpuluhlima

Juragan Rase sedang menikmati secangkir teh di ruang depan rumahnya yang tidak ada banding baik mewah dan besarnya di desa kecuali rumah juragan Gogor. Juragan rase gelisah. Sejak malam mulai masuk hidung juragan rase membaui asap dupan kemenyan. Semakin malam bau asap dupa kemenyan semakin menyengat dan semakin mengganggu penciumannya. Perasaannyapun menjadi semakin tidak enak. Membuat dirinya gelisah. Asap rokok yang diisapnyapun tertindih bau asap dupa kemenyan. Juragan Rase mengira ada tetangga yang sedang melakukan sesaji dengan membakar dupa kemenyan. Tetapi mengapa baunya masuk ke dalam rumahnya yang rapat. Juragan Rase beranjak dari duduk dan memeriksa jendela pintu. Semua sudah tertutup rapat. Juragan Rase keluar rumah. Dan berkeliling. justru di luar rumah tidak ada bau asap dupa kemenyan. Juragan Rase kembali masuk rumah dan menutup rapat - rapat pintu. Bau asap dupa kemenyan semakin menyengat saja. Anehnya tidak ada asap. Mengapa baunya sungguh menyengat. Juragan Rase merinding. Bulu kuduknya mulai berdiri. Juragan Rase merasakan ada sesuatu berada di dalam rumahnya. Rumah besar yang duhuni sendirian tidak pernah ada sesuatu yang membuatnya takut. Tetapi kini kesendiriannya membuat dirinya ketakutan. Bau asap dupa kemenyan semakin menjadi. Dua batang rokok disulut sekaligus. Maksud juragan Rase asap rokok agar bisa mengalah bau asap dupa kemenyan. Ternyata tidak berhasil. Bau asap dupa kemenyan bahkan semakin kentara dirasa di hidung. Juragan Rase takut dan bingung. 
Pintu di ketuk orang. Tiba - tiba ada rasa tenang di perasaan juragan Rase. Yang ditunggu datang. Dengan demikian di rumah dirinya bakal ada teman. Bergegas juragan Rase membukakan pintu. Parni bergegas masuk rumah, seolah takut ketahuan orang. Kembali juragan Rase menutup pintu dan menguncinya kemudian segera menggandeng Parni masuk ke kamar dimana ada ranjang besar dan berkasur empuk. 
Parni janda kembang yang ditinggal pergi suaminya. Sebenarnya Parni belum janda. Hanya saja suaminya telah lama pergi meninggalkannya.Katannya kepada Parni akan bekerja di kota. Nanti setelah mendapat uang Parni akan diajak ke kota. Tetapi sudah dua tahun suaminya tidak kunjung menjemputnya. Parni kecewa. Parni tidak sanggup menunggu. Juragan Rase menawarinya kerja di rumahnya. Parni menolak. Tetapi kalau sesekali datang membantu Parni sanggup. Gayung bersambut. Juragan Rase setuju. Parni menjadi tenaga pembantu yang tugasnya mencuci baju juragan Rase, kadang - kadang memasak, dan yang menjadi tugas pokok Parni bersih - bersih rumah juragan Rase yang kelewat besar. Parni tidak setiap hari datang. Sesekali saja kalau diperkirakan sesuatu yang perlu dikerjakan sudah menumpuk. Sangat sering Parni digoda juragan Rase. Diiming - imingi uang. Dirayu - rayu, tetapi Parni tetap teguh setia kepada suaminya yang telah lama meninggalkannya. Sampai di satu sore ketika juragan Rase selesai mandi dan minta agar Parni mengambilkan handuk yang tertinggal di luar kamar mandi, Parni melihat mentimun juragan Rase yang besar dan sedang kaku. Rupanya juragan Rase memanhg sengaja agar miliknya dilihat Parni. Juragan Rase ketika menerima handuk dari Parni sengaja membuka pintu kamar mandi terbuka lebar. Parni hanya bisa melotot kemudian memalingkan muka. Tetapi tak urang jantungnya menjadi deg - degan. Parni segera berlalu dari depan pintu kamar mandi. Tetapi pikirannya menjadi amat kacau. Mentimun juragan Rase yang tegak kaku besar dan panjang di pelupuk matanya dan tidak mau hilang. Tidak urung miliknya yang terus dijaga agar tidak mengkhianati suaminya tiba - tiba berontak. Ada rasa gatal - gatal pegal. Dan ada sesuatu yang akan mengalir. Rasanya merekah - rekah ingin dijamah. Dua tahun lamanya miliknya nganggur tidak berguna. Miliknya rasanya mengembang dan sangat ngilu gatal geli. Pikiran Parni jadi kacau. Beberapa gelas di tangannya yang habis dicuci berjatuhan di lantai. Suara gelas pecah membuat gaduh suasana. " Ada apa Ni ?" Juragan Rase teriak dari kamar mandi. " Gelas pecah juragan !" Parni menjawab dengan teriak juga. Parni gugup. Dipungutinya pecahan gelas. Sial jarinya tertusuk pecahan gelas. Berdarah. Hanya berbalut handuk di pinggulnya juragan Rase keluar dari kamar mandi dan mendapati Parni sedang memijit - mijit jarinya yang berdarah. Segera digandengnya Parni masuk menuju kamar juragan Rase. Yang terjadi kemudian juragan Rase memberikan obat merah di jari Parni dan membalutnya. Kembali Parni menjadi amat deg - degan ketika melirik yang ada di balik handuk bergerak - gerak. Parni sangat tahu itu mentimun juragan Rase. Selesai membalut juragan Rase tidak melepas tangan Parni. Parni malah dipeluknya. Ketika pelukkannya tidak ditolak Parni, juraga Rase langsung menyerbu. Parni hanya bisa gelagepan ketika bibirnya telah dikuasi oleh bibir juragan Rase. Handuk di pinggul juragan Rase terlepas. Dan tangan Parni tidak sengaja menyentuh mentimun juragan Rase. Parni menjadi hilang kesadaran. Di samping nikmatnya bibir yang dikulum, juga pikirannya sudah pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Dan kerinduannya pada jamahan menjadi semakin menggelegak. Parni dan juragan Rase yang telanjang ambruk di ranjang. Parni menjadi tidak ingat lagi kalau kainnya sudah satu - satu terlepas dari tubuhnya. Yang terasa kemudian hanya hangatnya tubuh juragan Rase yang menempel di tubunya yang sudah setengah telanjang. Yang dirasakan Parni kemudian hanya tubuhnya seluruhnya nikmat. Melayang - layang dan terlupakan segalanya. Sejak sore itulah awal Parni yang kemudian menjadi gula - gula juragan Rase. 
Bau asap dupa kemenyan masih sangat mengganggu hidung juragan Rase. " Ni Kamu membaui kemenyan di bakar ?" Juragan Rase menyari - nyari sumber bau dengan hidungnya dimoncong -moncongkan ke segela arah. " Kok tidak juragan. Aku dak membaui apa - apa kok juragan." Jawab Parni jujur dan hidungnya juga menyoba menyari - nyari bau. " Dak ada bau apa - apa kok juragan." Parni menegaskan sambil melepasi kainnya. Parni menjadi telanjang. Payudaranya tidak kecil tetapi tidak besar juga. Tegak menggunung di dadanya. Puting kecil karena belum pernah disedot bayi. Juragan Rase begitu juga sambil menyari - nyari sumber bau dirinya juga melepasi piyama yang membalut tubuhnya. Parni dan juragan Rase berdiri telanjang. Kemudian mereka berpelukan. Berciuman dan saling meraba. Bau tubuh wangi Parni malam ini tidak dirasakan oleh juragan Rase. Hidungnya amat terganggu bau dupa kemenyan dibakar. Parni dan juragan Rase bergumul di ranjang. Parni yang leher, payudara, dan bibirnya digarap membabi - buta oleh juragan Rase menjadi semakin tidak tahan. Ingin rasanya miliknya segera ditusuk mentimun juragan Rase yang besar dan panjang. Tetapi ketikan tangannya menyoba menyari mentimun juragan Rase, Parni kaget mentimun juragan Rase tetap lemas. " Juragan mentimunnya kok dak tegak ta ?" Parni bertanya disela - sela engahannya. Juragan Rase menghentikan kegiatannya dan memegangi mentimunnya. Digoyang - goyangkannya. Dikocok - kocoknya. Tetap lemas. Dilihatnya tubuh molek telanjang di hadapannya. Dipikirkannya tubuh telanjang ini akan digarapnya. Tidak membuat mentimunnya bereaksi. Parni dimintanya memegang dan menghidupkannya. Beberapa saat tidak berhasil. Bahkan nekat Parni memasukkan mentimun juragan Rase ke dalam mulutnya dan disedot - sedotnya. Tidak berhasil. Mentimun juragan Rase tidak bereaksi malah cenderung mengecil. Yang dirasakan kemudian oleh juragan Rase malah tubuhnyapun melemas tidak berdaya. Kakinya lemas tidak berasa dan tidak bisa digerakkan. " Ni ... aku kenapa ...Ni ... tolong Ni ... aku lemas ...!" Habis berkata begitu juragan Rase hanya bisa ambruk lemas di samping tubuh telanjang Parni yang kecewa. " Juragan ... juragan kenapa ... juragan ... bangun juragan ... juragan ... !" Parni panik. " Aduh ... Ni ... kenapa aku ini. Kakiku Ni ... dak bisa digerakkan ... Ni... toilong ... Ni ... !" Juragan Rase hanya bisa terlentang lemas. Parni hanya bisa panik dan bingung.

bersambung .............



Sabtu, 08 Juni 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                  edohaput 

Kedelapanpuluhempat

Juragan Gogor melepasi kain dan celananya. Hanya kaos singlet saja yang menutupi tubuhnya. Di ranjang telah tergolek perawan baru. Benar - benar perawan. Plencing dan tobil berhasil mencarikan juragannya gula - gula yang sangat muda. Perawan dari tetangga desa. Perawan Marmi ini telah termakan bujuk rayu Plencing dan Tobil. Dan ahkirnya bisa dibawa ke ranjang juragannya. Perawan Marmi belum genap lima belas tahun. Masih sangat muda. Tubuhnya saja yang memang subur sehingga nampak sudah gede. Marmi cantik. berkulit putih. Rambut panjang sebahu, hidung memang tidak mancung, tetapi memiliki bibir tipis dan merah. Perawan Marmi telah tergolek di ranjang dan tubuh telanjangnya masih ditutupi selimut. Dan sebentar lagi selimut pasti akan dibuka juragan Gogor. Dan tubuh telanjang perawan Marmi akan menjadi mainan yang sangat menyenangkan bagi juragan Gogor. Selimut yang menutupi bagian dada perawan Marmi tampak menonjol. Di balik selimut itu pasti ada payudara yang menggunung kecang, ranum dan padat. Buah dada perawan yang pasti puting susunya kecil merah muda. Puting susu yang belum pernah kena lidah. Dan belum pernah digigit - gigit kecil dan juga belum pernah disedot - sedot. Juragan Gogor sebentar lagi pasti akan melakukannya. Dan perawan Marmi pasti akan merintih - rintih. Perawan Marmi menunggu apa yang akan dilakukan juragan yang kemarin lewat Plencing dan Tobil telah memberinya tumpukan uang dan perhiasan. Ada perasaan takut menyelimuti perasaannya ketika lirikan matanya melihat orang yang bertubuh tinggi besar yang sedang bersiap - siap menerkamnya. Manakala teringat Tumpukan uang dan perhiasan yang telah disimpan di rumah, Marmi hilang rasa takut. Pasrah, tubuhnya mau diperbuat apa oleh orang yang matanya selalu menatapnya dan kadang - kadang menyeringaikan senyumnya. 
Plencing dan Tobil yang berada di lantai bawah tepat di bawah lantai dua dimana juragannya segera akan menikmati perawan Marmi, hanya terdiam. Mulutnya terus dan terus mengepulkan asap rokok. Sebentar - sebentar diserutupnya teh panas manis dan kental. Kupingnya di pasang. Tobil dan Plencing ingin mendengar suara yang berasal dari kamar juragannya. Setiap kali juragannya menikmati perawan hasil bujuk rayunya, Plencing dan tobil selalu nguping. Suara ranjang yang gaduh, rintihan dan desahan akan selalu didengarnya. Bahkan kadang Plencing dan Tobil tidak jarang mendengar jeritan dan erangan nikmat yang berasal dari kamar juragannya itu. Kalau sudah sampai demikian Plencing dan Tobil pasti tidak kuasa menahan. Segera mematikan lampu dan mereka sibuk dengan mentimunnya masing - masing. Dan kedua juga melenguh - lenguh, dan membuat suara berderit - derit kursi yang didudukinya. Plencing dan Tobil menunggu suara itu. Suara napasnya ditahan - tahan agar kupingnya bisa mendengar suara dari kamar juraganya. Tidak lama kemudian benar kuping Plencing dan Tobil mendengar rintihan perawan Marmi dan diiringi pula suara ranjang yang kerengket - kerengket. Di bayangan Plencing dan Tobil juragannya pasti sudah mulai bermain dengan tubuh perawan Marmi. Plencing dan Tobil menelengkan kepalanya agar kupingnya mengahadap ke atas ke lantai dua agar bisa semakin mendengar suara - suara yang menyenangkan itu. Bersamaan dengan itu hidung Plencing dan Tobil dikagetkan oleh bau asap dupa kemenyan yang dibakar. Sangat jelas bau dirasakan hidung. Seiring dengan datangnya bau asap dupa kemenyan ada pusaran angin yang tiba - tiba memenuhi ruangan dimana Plencing dan Tobil duduk. Pusaran angin membuyarkan asap rokok yang dikepulkan Plencing dan Tobil. Tobil dan Plencing yang kaget hanya bisa saling bertatap mata dengan penuh tanda tanya. Mulut mereka serasa terkunci. Tiba - tiba seluruh badan terasa dingin dan merinding. Tidak lama bau asap dupa kemenyang dan pusaran angin hilang. Plencing dan Tobil lega. Dipikirannya paling ada tetangga yang sedang membakar asap dupa kemenyan. Itu segera dilupakan Plencing dan Tobil karena suara rintihan dari kamar juragannya semakin jelas. Di pikiran Plencing dan Tobil juragannya pasti sudah di mabuk tubuh perawan Marmi.
Benar, di dalam kamar juragan Gogor sedang memeluk tubuh kecil perawan Marmi. Juragan Gogor dengan beringasnya berganti - ganti melahab bibir, puting susu, dan leher perawan Marmi. Perawan Marmi tidak ingat lagi sedang ada dimana dan sedang apa. Yang dirasakan hanya bibirnya geli enak, buah dadanya disedot - sedot, diremas dan terus diciumi, leher terasa sangat hangat dan geli mana kala bibir dan lidah juragan Gogor sedang ada di sana. Perawan Marmi hanya bisa menggelinjang, merintih keras, dan mendesah lepas tidak tertahan. Lebih - lebih ketika tangan juragan Gogor telah menyibakkan pahanya dan jari - jari juragan Gogor bermain - main di miliknya yang memang belum pernah dibegitukan. Rintingan, desahan, dan erangan perawan Marmi semakin menjadi. Lama juragan Gogor bermain - main dengan tubuh perawan Marmi. Semakin Marmi mendesah dan menggelinjang semakin beringas saja juragan Gogor bermain. Milik perawan Marmi yang dipermainkan jemari juragan Gogor telah banjir dan membasah. Menikmati itu juragan Gogor juga sudah tidak lagi tahan. mentimunnya sudah sangat kaku dan terasa begitu pegal. Tubuh perawan Marmi dilepaskan dari pelukannya. Selimut yang masih sebagian menutupi tubuh telanjang Marmi dilempar ke lantai. Perawan Marmi bulat telanjang telentang kangkang. Juragan Gogor segera menempatkan diri. Tubuh Marmi ditindih. Mentimunnya yang kaku sudah mengarah di selangkangan perawan Marmi. Bersamaan dengan itu tiba - tiba melalui celah mana ada pusaran angin keras masuk ke ruang kamar juragan Gogor. Bau asap dupa kemenyan menyengat dan sangat terasa di hidung juragan Gogor. Barang - barang ringan di kamar juragan Gogor berterbangan dan jatuh membentur lantai. Juragan Gogor kaget, dan menghentikan kegiatannya. Begitu juga perawan Marmi. Kaget dan takut. Sangat singkat pusaran dan bau asap dupa kemenyan berlangsung. Dan segera hilang. Juragan Gogor menduga itu hanya angin yang masuk dari lubang ventilasi. Dan bau asap dupa kemenyan pasti terbawa angin dari rumah tetangga. Kekagetan juragan Gogorpun cepat sirna. Kegiatannya segera dilanjutkan lagi. Dilahabnya lagi bibir perawan Marmi sambil tangan tidak berhenti meremas buah dada kenyal milik perawan. Napas juragan Gogor menderu - deru, mendengus, bagai napas banteng marah. Tetapi alangkah kagetnya juragan Gogor, ketika bermaksud menusukkan mentimunnya di milik Marmi yang masih perawan, ternyata mentimun lemas, dan mengecil. Dipegangnya mentimunnya dan digoyang - goyangkannya. Tetap lemas dan tidak mau kaku. Dirasakannya juga kedua kakinya yang lemas dan tidak mampu menopang pantatnya. Lututnya yang menopang paha dan pinggulnya serasa tak berdaya. Juragan Gogor ambruk menindih tubuh Marmi. Marmi yang tertindih tubuh lemas juragan Gogor menjadi sulit bernapas. Didorong dan ditepiskannya tubuh juragan Gogor dengan sekuat tenaganya, dan Marmi berhasil. Tubuh Juragan Gogor terlentang lemas di ranjang. Marmi hanya bisa dengan heran memandangi tubuh juragan Gogor yang tiba - tiba lemas tidak berdaya. Tangannya menggapai - gapai ingin meraih tubuh Marmi yang telah bangun dari ranjang dan duduk menatapnya. Tangannya juga tidak kuasa diangkatnya. Juragan Gogor tidak mampu menggerakkan tangan dan kakinya. Tubuhnya terlentang lemas di ranjang ditatap Marmi yang kebungungan. " Plencing ... Tobil ... tolong ... tubuhku kenapa ... tolong ...tolong... Cing ... Bil ..." Juragan Gogor keras berteriak. 
Plencing dan Tobil yang memang sedang memasang telinga untuk mendengarkan suara dari kamar , sangat kaget mendengar juragannya berteriak - teriak minta tolong. Dengan sigap dan cepat plencing dan tobil segera naik ke lantai atas, membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan mendapati juragannya terlentang telanjang di ranjang dengan tangan dan kaki yang sudah tidak bisa digerakkan. Pelncing dan Tobil juga mendapati Marmi yang masih telanjang berdiri di pinggir ranjang dengan wajah yang kebingungan. Plencing dan Tobil segera mengangkat tubuh juragannya untuk didudukkan tetapi kembali ambruk dan lemas. " Cing ... Bil ... kenapa aku ini ... Cing ... tolong ... Bil ... kenapa ... aku ... tolong cing ... " Juragan Gogor sangat cemas akan tubuhnya. Setiap kali Plencing dan Tobil berusaha menegakkan tubuh juragannya, setiap kali itu pula tubuh juragannya kembali ambruk tidak berdaya. " Juraga sakit ? Bagaimana rasanya juragan ?" Plencing bertanya dengan nada cemas pula. " Aku tidak merasakan sakit Cing ... tapi aku dak bisa menggerakkan tangan dan kakiku, Cing... tolong Cing ...tolong Bil ... " Dengan nada memelas juragan Gogor minta kepada Plencing dan Tobil yang bingung. 

bersambung .......................



Rabu, 29 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                edohaput

Kedelapanpuluhtiga

Pak Pedut dan Wakini tidak habis pikir. Sejak berada di rumah, Menik jarang keluar kamar. Dari kamarnya terus mengepul asap dupa kemenyan yang aromanya sampai ke rumah tetangga. Menik keluar kamar jika perlu makan dan minum. Menik sangat jarang berbicara dengan pak Pedut dan Wakini. Sebaliknya pak Pedut dan Wakini tidak berani membuka pembicaraan dengan Menik jika tidak sangat perlu atau jika sedang menawarkan meja makan yang sudah siap. Menik begitu berwibawa. Menik begitu menakutkan. Wajah muda cantik Menik belum menampakkan wajah ceria. Jika menatap, sorot matanya menusuk relung kalbu yang ditatap. Dan kalau itu menimpa pak Pedut dan Wakini, mereka hanya bisa buru - buru menunduk atau mengalihkan pandangan. Kalau Wakini memang tidak begitu tahu, tetapi pak Pedut sangat paham kalau tatapan Menik ini adalah tatapan neneknya Menik, Nyi Ramang. Menik sangat mewarisi sifat - sifat Nyi Ramang. 
Wakini dan pak Pedut tidak tahu mengapa Menik pulang dari kota dan kembali tinggal di desa. Dan sejak kembalinya dari kota Menik terus tidak pernah menampakkan wajah sukanya. Menik selalu muram. Hal ini membuat pak Pedut dan wakini menjadi kikuk. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga. Yang ada di pikiran pak Pedut, Menik muram karena kematian Kliwon yang dinilai tidak wajar. Kematian Kliwon yang tiba - tiba dan seperti adanya rekayasa dari orang yang menjahati Kliwon. Menik tidak menerimakan kematian Kliwon kakaknya. Menik sedang berusaha mengetahui mengapa kakaknya meninggal dengan cara demikian. Di pikirannya pak Pedut setengah memastikan, bahwa kemuraman Menik adalah karena meninggalnya Kliwon.
Malam telah bergeser semakin jauh. Udara dingin mulai terasa menusuk - nusuk tulang. Ditambah dengan semilirnya angin gunung yang mampu menerobos celah - celah dinding bambu semakin membuat dinginnya malam. Di kamar wakini pak Pedut sedang mengelus - elus perut Wakini yang semakin membuncit. " Ni ini anakku apa anak Kliwon ya, Ni ?"  Pak Pedut mengelus perut Wakini dan yang setengah telanjang. Karena kain bawah telah lepas dari tubuh Wakini. " Seingatku ini anak bapak. Rasanya Kang Kliwon belum pernah memasukkan ke dalam milikku ini, pak." Wakini menjawab sambil memegangi tangan pak Pedut dan dituntun ke arah miliknya. Tangan pak Pedut yang menyentuh milik Wakini dan merasakan hangat dan sedikit membasah, membuat mentimun pak Pedut kontan bangun. " Ya dah Ni, itu dak perlu dipikirkan kalau ini anak Kliwon ya tetap cucuku, kalau ini anakku berarti adiknya Kliwon." Berkata begitu pak Pedut sambil menekankan telapak tangannya di milik Wakini. Dan membuat Wakini merasakan enak di miliknya. " Pak ... aahh.. !" Wakini mendesah tertahan takut suaranya didengar Menik. Walaupun Wakini telah memperoleh ijin dari Menik untuk mendampingi pak Pedut, tetapi Wakini juga tetap harus menjaga situasi agar tidak semata nekat. Pak Pedut melucuti sarung dan celana kolornya. Melihat keindahan tubuh Wakini pak Pedut memang selalu tidak tahan untuk berlama - lama menahan keinginan. Pak Pedut menempatkan diri di atas tubuh wakini. Dan Wakini siap menerima perlakuan pak Pedut. " Tapi jangan keras - keras pak. Takut didengar Menik, pak. Pelan - pelan saja genjotannya." Bisik Wakini di telinga pak Pedut. " Ni ... " Pak pedut pelahan menyodokkan mentimunnya di milik wakini dan amblas. Keduanya menikmatinya dan tanpa ada kegaduhan seperti biasanya. 
Seiring dengan berjalannya malam, aroma asap dupa kemenyan yang berasal dari kamarnya Menik semakin menusuk hidung. Apa yang dilakukan Menik di dalam kamar tidak ada yang tahu. Juga pak Pedut dan Wakini yang lagi asyik menikmati hubungan sama sekali tidak perduli dengan Menik. Menik sedang melakukan apa pak Pedut dan Wakini tidak mau tahu. 
Di dalam kamar Menik telanjang duduk bersila. Di depan duduknya ada anglo bara api tempat membakar dupa kemenyan dengan asap yang semakin tebal mengepul. Di tangan kanan jimat Kecubung Wulung digenggamannya. Genggaman tangan diposisikan di atas tungku anglo. Mulut Menik berkomat - kamit tidak jelas apa yang sedang diucapkannya. Hanya kata - kata kamu yang diucapkan Menik dengan jelas dan geram. " Kamu .... !!" Genggaman jimat ada di atas anglo tungku. " Kamu ... !! Kamu ... Kamu ... !! " Mata Menik terpejam tetapi mulutnya sangat geram mengucapkan kata - kata kamu. Setelah berbuat demikian tiba - tiba Menik berdiri. Seandainya saja ada orang yang melihat Menik, pasti akan berdecak kagum melihat keindahan tubuh Menik. Tubuh yang kembali muda. Wajah yang sangat cantik. Dan semua lekuk tubuhnya begitu membentuk. " Rasakan ... !! ....Rasakan .... Rasakan.... !! ...Rasakan .... !!" Menik melototkan matanya dan tangannya yang menggenggam jimat Kecubung Wulung ditinjukan ke segela penjuru arah. Seiring dengan apa yang diperbuat Menik, tiba - tiba ada pusaran angin yang bergerak di dalam rumah. Barang - barang yang ringan di dalam rumah tersambar angin dan berjatuhan menimbulkan suara gaduh. 
Pak Pedut dan Wakini yang sebentar lagi akan segera sampai di kenikmatan puncak terkejut dengan kegaduhan yang terjadi di rumah. Pak Pedut segera mencopot mentimun dari milik wakini dan segera mengenakan kain lari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi. Wakini yang kecewa juga segera menyelimuti diri dengan kain jarik dan keluar kamar. Pusaran angin masih berpusing di dalam rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya melongo dan takut. Aroma dupa kemenyan semakin menyengat. Pusaran angin semakin kuat dan tiba - tiba ada suara berderak. Pintu dan jendela rumah terbuka, dan pusaran angin menerobos keluar rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya bisa melongo. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. 

bersambung .............................



 


Minggu, 19 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                   edohaput

kedelapanpuluhdua

Tepat hari Kamis Wage, dan malam nanti adalah malam Jumat Kliwon. Menik memenuhi janjinya. Menik Pulang ke desa. Hari ini adalah hari keempatpuluh dari saat meninggalnya kakaknya, Kliwon. Kepulangan Menik ke desa tanpa diantar Gono suaminya. Kecuali Gono harus bekerja, juga karena malam Jumat Kliwon nanti Menik mau punya pekerjaan yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak kedatangannya di rumah, Menik sedikitpun tidak menampakkan muka ramah. Banyak memberengut dan nampak garang. Pak Pedut dan Wakini tidak berani bertanya kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak berbicara. Menik langsung berada di dalam kamar mendiang neneknya, Nyi Ramang.
Menjelang sore mendekati malam aroma dupa kemenyan di bakar sangat menusuk hidung. Aroma ini berasal dari dalam kamar mendiang nenek Menik. Dan Menik sedang berada di dalam kamarnya. Aroma dupa kemenyan dibakar membuat kelimpungan Wakini yang sedang hamil muda. Tetapi Wakini tidak bisa berbuat banyak, kecuali diam dan menahan. Begitu juga pak Pedut hanya diam seribu basa. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga apa yang dilakukan Menik di dalam kamar mendiang neneknya. Sebenarnya pak Pedut tidak asing lagi dengan aroma dupa kemenyan yang dibakar. Sejak Nyi Ramang masih hidup pak Pedut selalu mencium aroma ini. Hanya saja aroma ini sudah sangat lama tidak diciumnya. Kini tiba - tiba terhirup kembali oleh lubang hidungnya. Rupanya Menik sedang melakukan ritual yang dulu sering dilakukan Nyi Ramang. Pak Pedut sangat paham, Meniklah yang mendapat warisan dari Nyi Ramang. Nyi Ramang sangat menyayangi Menik. Dirinya dan Kliwon banyak luput dari perhatian Nyi Ramang. Hanya Meniklah yang selalu berada di dekat Nyi Ramang. Tidak mustahil jika sekarang Meniklah yang serba tahu tentang ilmu yang dimiliki Nyi Ramang.
Matahari telah beberapa waktu lenyap di balik gunung. Malam sudah merambati pedesaan. Gelap memenuhi segala sudut dan penjuru desa. Hanya lampu - lampu panjeran yang kerlap - kerlip di setiap rumah warga. Suasana malam Jumat Kliwon begitu sepi. Kekes, dingin dan tidak ada suara tembang. Pada malam Jumat Kliwon orang memilih berada di rumah, diam dan banyak melakukan ritual do'a - do'a. Ketika hari masih siang banyak warga datang ke kuburan untuk bersih - bersih makam leluhur dan menaburkan bunga di atas gundukan kubur leluhur. Sebagian bunga - bunga dibawa pulang dan ditaburkan di panci yang diisi air. Panci diletakkan di meja, atau dimana saja ditempat yang tidak banyak diterangi lampu. Tidak jarang pula warga membakar dupa kemenyan dan diletakkan di dekat panci bunga.
Menjelang tengah malam Menik keluar kamar dan meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pak Pedut dan Wakini yang telah lelap. Menik berjalan menyusuri jalan dan pematang perasawahan menuju kedung tanpa dibantu sedikitpun cahaya obor. Menik sengaja berjalan di kegelapan. Menik hafal jalan. Menik bagai dituntun berjalan cepat tanpa gontai walaupun berjalan di pematang sawah yang cuma selebar tapak kaki. Jika dilihat orang yang tampak aneh adalah mata Menik yang bercahaya dan menerangi jalan setapak di depannya. 
Menik sampai di tepian kedung. Menik tahu kalau sebentar lagi tengah malam segera akan tiba. Menik segera menelanjangi diri. Tanpa sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Menik telanjang bulat. Jika saja hari terang, akan terlihat postur indah tubuh Menik. Pinggang yang ramping, paha dan betis yang panjang, payudara yang tegak menggunung, wajah yang cantik, dan rambut panjang yang terurai, dan milik Menik yang menggunduk ditumbuhi rambut halus. Hanya saja perut Menik sudah tidak lagi rata. Sedikit membuncit karena Menik sedang mengandung anak Gono. " Nyi aku Menik cucumu datang bersama cucu buyutmu yang masih aku kandung. Ijinkan aku mengambil kembali jimat Kecubung Wulung yang pernah aku buang di tengah kedung ini." Menik dengan bersikap sembah mengatupkan telapak tangan di depan dada sambil mengucapkan kalimat ini. Selesai Menik berucap tiba - tiba datang angin bertiup keras menggoyangkan pepohonan di tepian kedung. Menik tahu dengan pertanda ini. Dikatupkannya kedua pelupuk matanya dan disebutnya nama neneknya betrkali - kali. Tidak berapa lama kemudian ... byaaaar .... air kedung bercahaya sangat terang. Menerangi tubuh Menik yang telanjang. Menik ambyur ke tengah kedung dan menenggelamkan dirinya. Beberapa saat kemudian mucul lagi di permukaan air kedung. Tangan kanannya telah menggenggam batu jimat Kecubung Wulung. Menik minggir dan naik ke tepian kedung. Rambut panjangnya basah lengket di tubuh sebagian menutupi payudaranya. Seandainya saja ada orang melihat akan kaget terhadap perubahan yang terjadi di tubuh Menik. Menik berubah menjadi muda kembali. Wajah cantiknya berubah menjadi wajah perawan belasan tahun. Semua lekuk tubuhnya kembali menjadi muda ranum dan indah, kecuali perutnya yang tetap agak membuncit.
Sebelum selesai Menik kembali mengenakan kainnya air kedung telah menjadi gelap. Dan diahkiri oleh tiupan angin kencang yang berlangsung sesaat. Menik berjalan meninggalkan kedung. Jimat Kecubung Wulung telah berada di bundelan ujung kain bajunya. Menik berjalan cepat. Sorot matanya terang menerani jalan setapak yang dilaluinya. Sendainya saja ada orang melihat Menik pasti orang akan mengira Menik sedang sangat marah. Wajah muda cantiknya tetap dihiasi kemuraman. Dan di dada Menik memang sedang berlangsung nada marah. Nada Geram. Yang akan berujung dimana belum diketahui. 

bersambung .......................


Rabu, 15 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput


Kedelapanpuluhsatu

sebelas hari sejak kamatian Kliwon, rumah pak Pedut kembali sepi. Menik dan Gono juga telah kembali ke kota lagi. Di rumah tinggal pak Pedut dan Wakini janda Kliwon. Wakini mendapat mandat dari Menik agar tidak pergi kemana - mana. Wakini diminta Menik agar menemani bapaknya. Jika satu hari nanti Wakini berkeinginan untuk nikahan lagi Menik mempersilahkan. Tetapi untuk sementara Wakini harus tinggal bersama pak Pedut. 
Malam dingin sepi. Wakini dan pak Pedut menghangatkan badan di dekat tungku api sambil menunggu air yang dijerang mendidih. " Kamu dapat pesan apa dari Menik, Ni ? Kemarin lusa kok nampaknya Menik sungguh - sungguh banget bicara sama kamu ?" Pak Pedut memasukkan  kayu bakar di lubang tungku sambil melirik Wakini yang jongkok di dekatnya. Wakini yang kain bawahnya sangat kendor membuat mata pak Pedut bisa melihat kedua paha Wakini yang tidak tertutup sempurna bahkan boleh dikatakan sangat terbuka. Dan Wakini sengaja tidak membetulkan kain bawahnya yang kendor dan sengaja membiarkannya karena kain yang kendor membuat dirinya mudah melakukan kegiatan terutama ketika berjongkok di depan tungku. Api tungku yang menyala besar dan berkilat - kilat menimpa kedua paha Wakini yang bersih. " Menik bilang pesan begini pak. Yu kamu jangan tinggalkan bapak. Walaupun kang Kliwon sudah dak ada, kamu harus tetap tinggal di rumah ini menemani bapak. Kasihan bapak sendirian. Suatu saat nanti kalau ada orang yang ingin menikahimu, yu Wakini boleh meninggalkan bapak. Tetapi jangan sekarang. Syukur jika yu Wakini sudah dak ingin lagi nikah, dan tetap setia menemani bapak. Gitu pak pesan Menik. Dan Menik juga bilang kalau nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah ini. Menik mau apa aku tidak tahu, pak." Wakini menyampaikan pesan Menik kepada dirinya kepada pak Pedut. " Terus kamu menyanggupi pesan Menik ta Ni ?" Pak Pedut meraih tangan Wakini yang mempermainkan kayu bakar di tungku. " Dak usah dipesan begitupun aku tetap akan menemani bapak ta..." Wakini menatap mata pak Pedut sambil tersenyum. " Lagi pula aku rasa - rasanya lagi hamil, pak." Kalimat Menik ini mengejutkan pak Pedut. " Jadi ... jadi ... kamu hamil ... ?" Pak pedut menatap Wakini dengan penuh rasa sayang. " Ya pak rasanya aku hamil. Hanya saja aku tidak tahu ini anak kang Kliwon apa anak bapak." Wakini menegakkan dadanya dan mengelus perutnya. Posisi jongkok Wakini yang menegakkan dada dan perut membuat kain yang menutup pahanya semakin tersibak ke arah pangkal paha. Membuat mata pak Pedut melihat pangkal paha Wakini yang tertimpa cahaya api tungku dan tidak dikenakan celana dalam. Mendengar pengakuan Wakini ini tiba - tiba di perasaannya mengalir rasa sayang mendelam terhadap Wakini. " Ni ... " Pak Pedut berdiri dari jongkok. Diraihnya pundak Wakini dan ditariknya dengan lembut. Wakini dibimbing menuju amben dapur. Wakini manut - manut saja. Lembut pak Pedut mendorong dada Wakini agar tidur terlentang di amben. Wakini manut - manut saja. Pak Pedut membuka kain bawah Wakini. Wakini telanjang bagian bawah mulai dari pusar sampai ke ujung kaki. Pak Pedut mengelus perut Wakini. Pak pedut bisa merasakan perut Wakini memang sudah sedikit membuncit. " Ni ..." Tangan pak Pedut yang mengelus perut berjalan ke arah bawah dan menyentuh permukaan milik Wakini. Wakini menyediakan miliknya untuk diraba dengan melebarkan jarak paha. Untuk memberi ruang tangan pak Pedut mencapai miliknya. " Ni ... " Tangan pak Pedut menyentuh milik Wakini. Dan tangan pak Pedut reflek bermain di milik Wakini. " Pak ... aaaah ... " Wakini hanya bisa mendesah. Wakini yang sudah sepuluh hari tidak merasakan sentuhan sangat ingin menikmati sentuhan. Dan memang hanya pak Pedut yang bisa melakukan sentuhan yang membuat dirinya nikmat. " Aku tidak perduli ini anak Kliwon atau anakku, Ni. Anak dalam dalam kandunganmu ini kita akan rawat sebaik - baiknya." Pak Pedut memasukkan jarinya di milik Wakini dan mengutak - utik yang ada di dalamnya. " Pak ... aaaaaahh ..." Wakini hanya bisa begitu dan merapatkan pahanya agar jari pak Padut terjepit miliknya dan bisa semakin dinikmati. Sementara tangannya mebukai kancing - kancing kain atasnya sampai dadanya terbuka. Dan payudaranya yang tidak dikutangi dan kencang menggunung menyembul. Sementara itu pula tangan pak Pedut yang lain telah melepasi kain sarung dan celana kolornya. Pak Pedut telah telanjang bawah dan mentimunnya telah sangat kaku mendongak dan tersentuh paha hangat Wakini. Tiadanya Kliwon membuat pak Pedut semakin leluasa mengusai Wakini. Kini pak Pedut dan Wakini tidak perlu lagi sembunyi - sembunyi di gubuk sawah untuk melakukan hubungan. Wakini dan pak Pedut menjadi sangat leluasa. Wakini yang sudah tidak tahan untuk segera di tindih membuka kangkangan pahanya lebar - lebar. Pak Pedut tahu kalau Wakini sudah sangat menginginkan. Tetapi pak Pedut tidak segera menempatkan dirinya. Pikirannya tiba - tiba terganggu oleh pesan Menik kepada Wakini, jika nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah. Apa yang akan dilakukan Menik pada malam Jumat Kliwon nanti. Akankah Menik berbuat sesuatu terhadap kematian kakaknya yang tidak wajar itu. Tetapi pikiran ini segera lenyap ketika dilihatnya wajah Wakini yang menyiratkan dengan penuh harap agar segera ditindih. Pak Pedut tidak tega melihat Wakini yang sudah sangat menunggu. Maka segera ditempatkan dirinya. Dengan penuh rasa sayang pak Pedut mendorongkan mentimunnya. Wakini menatap mata pak Pedut yang menyorotkan rasa cinta kasihnya pada dirinya. Wakini merasakan itu. Wakini begitu bahagia. Dan perasaan ini semakin membuat dirinya bisa menikmati yang dilakukan pak Pedut. Pak pedut telah tidak sabar lagi untuk menyedot buah dada Wakini. Mencium bibir Wakini. Memeluk erat tubuh Wakini. Dan sebentar kemudian yang terdengar hanya desahan dan geraman serta kecipak paha beradu, buah dada dan leher yang dicupang - cupang, dan derit serta derak amben dapur yang bergoyang - goyang. 

bersambung .....................