Kamis, 27 Juni 2013

Cubung Wulung

                                                                                                     edohaput

Kedelapanpuluhtujuh

Setelah menutup kedainya mbok Semi bergegas keluar rumah. Seperti biasanya bungkusan pisang goreng dan wedang serbat panas ditentengnya. Mbok Semi melewati jalan yang biasanya dilalui. Mbok Semi hafal dengan jalan setapak di pinggir kali yang menuju kuburan. Walaupun malam gelap mbok Semi bisa berjalan cepat. Mbok Semi ingin segera sampai di kuburan dan membuka pintu rumah pak Blengur. 
Pak Blengur yang sedang telentang di amben dan sedang melantunkan tembang, tidak kaget ketika pintu rumahnya di dorong. Pak Blengur tahu yang datang mbok Semi. Tembang yang belum selesaipun tetap dilantunkan sampai rampung. Mbok Semi sibuk membuka bungkusan pisang goreng dan wedang serbat panasnya. " Dah dik Blengur minum dulu, ni wedangnya mumpung masih panas. Pisangnya juga masih anget. Dah duduk jangan tiduran gitu." Mbok Semi menyodorkan wedang serbat dan pisang goreng di dekat pak Blengur yang bangun dari tidurannya. Tanpa menunggu disuruh - surah lagi pak Blengur segera menyambar pisang goreng dan dimasukkan ke mulutnya. Wedang serbatnyapun segera dipakai untuk melancarkan pisang goreng yang ditelannya. " Juragan Gogor lumpuh, juragan Rase juga begitu, kaihan ya dik mereka itu." Mbok Semi memposisikan duduk di amben. kainnya dikendorkan, sehingga seluruh pahanya sampai ke pangkalnya bisa dilihat pak Blengur. "Orang seperti juragan Rase dan juragan Gogor tu dak perlu dikasihani, yu. Mereka orang kaya. Walaupun lumpuh masih tetap bisa hidup enak, karena tetap ada yang melayani. Lha kalau aku yang lumpuh ? Ya pilih mati saja." Pak Blengur memberi jawaban sekenanya. " Tapi anehnya kok Menik dak mau menolong juragan - juragan itu ya, dik ?" Mbok Semi membuka kain yang menutupi dadanya. Pak Blengur melihat belahan di dada mbok Semi. Pak Blengur hanya tersenyum menanggapi pertanyaan mbok Semi. " Padahal Menik sekarang tamu - tamunya makin banyak saja. Bahkan banyak yang datang dari luar desa. Menik benar - benar telah seperti Nyi Ramang ya dik. Siapa saja ditolongnya. Sakitnya disembuhkan. Masalahnya diringankan. Tetapi terhadap juragan Rase dan juragan Gogor kok dak mau ya dik ?" Mbok Semi banyak bicara. Pak Blengur hanya kembali tersenyum dan terus mengunyah pisang goreng. " Trus tu begundal - begundalnya juragan Gogor si Plencing dan Tobil minggat ke mana ya dik ? Utangnya belum dibayar malah minggat !" Mbok Semi jadi menggerutu. Pak Blengur tidak menanggapi. " Tapi anehnya dik, desa ini, sejak Menik menggantikan Nyi Ramang kok jadi tentram. Rasanya di desa ini damai. Orang - orang tambah rukun, dan hasil panen kok ya jadi berlimpah." Mbok semi tidak mau berhenti ngomong. Pak Blengur tetap tidak menanggapi. Pak Blengur malah melepas kain yang menutupi tubuh bagian atasnya. Mbok Semi menjadi bisa melihat otot - otot menonjol pak Blengur. Mbok Semi menelan ludah. Mbok Semi selalu rindu dengan tiubuh pak Blengur yang berotot. Yang kalau sudah memeluknya sungguh terasa kuatnya. Mbok Semi semakin mengendorkan kainnya, sehingga hampir terlepas. Seperti malam  - malam sebelumnya mbok Semi selalu dengan mudah mengendorkan kain bawahnya jika sudah di rumah pak Blengur. Seperti biasanya juga kalau mbok Semi sudah mulai melepasi kainnya mentimun pak Blengur langsung berontak. " Persis ketika Nyi Ramang masih hidup dan masih mau menolong orang, rumah menik selalu dipenuhi orang yang antri minta ditolong. Yaaaahhh .... mudahan - mudahan menik akan seperti Nyi Ramang." Mbok Semi mencopot kain bawahnya. pak Blengur melihat mbok semi telah telanjang tubuh bawahnya. Kini Pak Blengur yang menelan ludah. Milik mbok Semi yang berambut terlihat oleh mata pak Blengur. Mata pak Blengur tidak mau melepaskan pemandangan indah yang selalu ingin dilihatnya. Pemandangan yang selau ingin dilihatnya. Dan kalau sudah beberapa lama tidak disaksikannya rasanya membuat kepalanya menjadi pening. " Yaaaahhh mudah - mudahan jimat itu aman di tangan Menik. Nik ...Nik ... semua orang berterima kasih kepadamu." Mbok Semi mencopot kain atasnya dan perlahan terlentang di amben. Mbok Semi telah telanjang menunggu serangan pak Blengur.Mbok Semi selalu ingin diserang pak Blengur dengan kegarangannya. Kegarangan pak Blengur selalu diharapkan. Mbok Semi tidak tahan kalau seminggu tidak menyambangi rumah pak Blengur. Pak Blengur yang betah dan sanggup berlama - lama sangat menyenangkan mbok Semi. Hidup rasanya belum lengkap jika pelukan kuat pak Blengur lama tidak dirasakan.
Udara di luar rumah dingin. Ada gerimis kecil. Dan kabut menyelimuti kuburan dimana ada rumah pak Blengur yang di dalam rumah sedang ada mbok Semi yang menunggu pak Blengur memberikan kenikmatannya.  Pak Blengur melepas sarungnya. Dan mentimunnya tegak mengarah ke mbok Semi. Mbok semi melihatnya. Dan mentimun besar panjang itu segera ditangkapnya. Digenggamnya dengan lembut dan digoyang - gopyangkan. Pak belngur segera membungkuk dan menyerang payudara mbok Semi dengan mulutnya. Mbok semi merintih. Tangan pak Blengur yang meraba perut dan menuju selangkangan mbok Semi, membuat mbok Semi semakin merintih. " Dik ayo dik, aku dah dak tahan." Mbok semi menggeleng - gelengkan kepala sambil sesekali meringis menahan rasa nikmat yang semakin merasuki seluruh tubuhnya. Pak Blengur tanggap dan juga karena dirinya sudah seminggu tidak didatangi mbok Semi maka juga keinginannya menjadi menggelegak membara. Pak Blengur segera menempatkan pinggulnya di selangkang mbok Semi yang kangkang lebar. Pak Blengur menempelkan mentimunnya di bibir milik mbok Semi. Mbok Semi mendesah karena tahu pasti sebentar kemudian miliknya akan dijejali mentimun yang besar kaku dan panjang. Pak Blengur menekankan mentimunnya. Mbok Semi terbeliak sesaat kemudian memejamkan matanya sambil tubuhnya menggelinjang. " Aaaaaahhhhh .... dik .... " Mbok Semi menggeliat - geliat. Pak Blengur mulai berpacu. Yang terdengar kemudian hanya suara rintihan, dengusan napas yang memburu dan derak amben yang bergoyang - goyang lantaran keduanya terus berpolah menikmati kenikmatan yang selalu dirindukan.

t a m a t.
Cubung Wulung

                                                                                                     edohaput


Kedelapanpuluhenam

Pagi sudah sempurna. Matahari sudah tampak sempurna di atas gunung. Hangatnya panas matahari mulai bisa menghapus kabut yang masih menyelimuti desa. Udara masih terasa dingin. Namun hangat matahari sudah bisa dirasakan oleh warga yang bekerja di sawah dan perladangan. Embun masih menempel di dedaunan. Dan berangsur menguap seiring matahari yang mulai bersinar putih, tidak lagi berwarna kuning seperti saat merekah di punggung gunung. 
Di rumah Menik. Plencing dan Tobil bersimpuh dan berkali - kali bersujut dan memegangi kaki Menik yang berdiri terpaku. Wajah Menik nampak sekali kalau sedang marah. Mukanya memerah. Matanya tajam menatap Plencing dan Tobil yang bersimpuh sambil bersujut - sujut memegangi kaki Menik. " Ampun Nik...ampun. Ampuni aku dan kang Tobil. Jangan  hukum kami, Nik. Aku tobat, Nik. Tobat." Kata Plencing sambil bersujut - sujut di kaki Menik. Derai air mata ketakutan Plencing tidak terbendung. Plencing menangis dan berkata terbata - bata. " Nik aku mengaku bersalah. Aku sangat berdosa, Nik. Aku tobat. Ampuni aku, Nik. Ampuni .... Nik." Tobil juga berbuat sama seperti yang dilakukan Plencing. Tobil juga menangis di kaki menik. Tangisan takut tobil bahkan lebih keras dari tangisan Plencing. " Jangan hukum kami, Nik. Jangan siksa kami, Nik. Aku tobat. Nik .... " Plencing terus bersujut - sujut di kaki Menik sambil terus menangis. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut ketika mata mereka menatap mata menik. Mata yang berubah menjadi merah bercahaya. Tobil dan Plencing tidak lagi melihat sosok Menik melainkan yang ada di hadapan mereka adalah sosok Nyi Ramang yang sangat berwibawa dan menakutkan. Yang dilakukan kemudian oleh Tobil dan Plencing bersujut di kaki Menik yang nampak seolah Nyi Ramang. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut. Tobil dan Plencing takut kena hukuman dari Menik atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Plencing dan Tobil sangat sadar apa yang telah dilakukannya sangat tidak terampuni. Perbuatannya sangat keji dan tidak akan bisa diterima oleh siapapun. Badan Tobil dan Plencing menjadi semakin gemetar ketika menik masih tetap berdiri terpaku tanpa mau bicara menanggapi permohonan ampun dari Tobil dan Plencing. Tangis penyesalan dan ketakutan Tobil dan Plencing terdengar semakin menjadi. Ahkirnya Menik bicara : " Baiklah kalian aku ampuni !" Belum selesai Menik bicara Tobil dan Plencing bersujut mencium kaki Menik. " Terima kasih, Nik.... terima kasih ... aku diampuni." Plencing bersujut sambil mencium kaki Menik. Demiki juga yang dilakukan Tobil. " Kang Tobil dan Kang Plencing harus meninggalkan desa ini. Silakan mau pergi kemana. Dan jangan menginjakkan kaki lagi di desa ini sebelum anak yang aku kandung ini nanti berumur sepuluh tahun !" Ucap Menik sambil menunjuk perutnya yang membuncitnya sudah begitu besar. " Trima kasih Nik aku dan kang Tobil akan pergi dari desa ini, asal tidak kau hukum yang membuat kami menderita. Terima kasih Nik ... terima kasih." Plencing dan Tobil menyembah - nyembah Menik. " Jika kang Tobil dan kang Plencing melanggar ini, kang Tobil dan kang Plencing akan menderita lumpuh badan !" Menik Memelototi Tobil dan Plencing. " Nik aku tidak akan melanggar apa yang kamu suruhkan ke aku dan kang Tobil, Nik. Aku bersumpah !" Plencing mendongak melihat wajah Menik yang masih tetap kelihatan merah karena marah. " Benar Nik, lebih baik kami pergi dari desa ini daripada kamu beri hukuman. Aku bersumpah tidak akan kembali ke desa ini seperti apa katamu." Tobil juga memberanikan diri melihat wajah Menik. " Nik ... kapan kami harus meninggalkan desa Nik ?" Plencing sudah berani duduk tegak dan memandang wajah Menik. " Sebelum matahari tepat di atas kepala kang Tobil dan kang Plencing, kang Tobil dan kang Plencing harus sudah berada di luar batas desa. Jika tidak kang Tobil dan Kang Plencing akan menderita seperti juragan Rase dan juragan Gogor !" Menik tetap memelototi Tobil dan Plencing yang terus tetap ketakutan. " Kalau begitu aku pamit Nik !" Plencing berdiri dan membungkuk - bungkuk di hadapan Menik. Dan diikuti tindakan serupa oleh Tobil. 
Tobil dan Plencing berlari meninggalkan rumah Menik menuju rumah masing - masing. Tobil dan Plencing sadar hari sudah semakin siang. Jika terlambat pergi dan matahari telah berada di atas kepala mereka takut akan menderita lumpuh. Di rumah masing - masing tobil dan Plencing hanya bisa mengumpulkan beberapa kain dan segera dibungkus dengan taplak meja dan segera berlari menuju gapura desa. Tobil dan Plencing terengah - engah dan mereka bertemu di tapal batas desa. " Kang ayo kita terus berlari sejauh - jauhnya dari desa. Ayo kang ! Aku takut !" Plencing menarik narik tangan Tobil yang masih terengah - engah napasnya tersengal. " Kemana kita Cing ? Sudah kesana ke arah kota ! Ayo kang ... !" Plencing menunjuk jalan ke kota. 
Plencing dan Tobil terus berlari seperti maling dikejar warga. Orang yang melihat kelakuan Tobil dan Plencing hanya bisa bertanya - tanya. Ada apa kedua orang ini. Plencing dan Tobil ingin hari ini harus berada sejauh - jauhnya dari desa. Mereka takut dengan bau asap dupa kemenyan yang dibakar. Setelah benar - benar bau dupa kemenyan yang dibakar tidak lagi tercium di hidung Plencing dan Tobil mereka berhenti berlari. " Kita sudah jauh kang. Dan kang Tobil juga dak baui dupa kemenyang lagi ta kang ?" Tobil mengangguk sambil terus terengah. Rasa haus di kerongkongan begitu terasa. "Cing aku haus banget !" Tobil memandang sekeliling. Tidak ada orang berjualan. Hari sudah sore. Matahari sudah sangat miring ke barat. " Kita turun ke kali itu saja kang. Minum dan mandi !" Plencing melangkah ke kali diikuti Tobil. Tobil dan Plencing langsung membungkuk di pinggir kali dan minum air kali sepuasnya. Tobil dan Plencing mandi air kali. Penat dan haus berangsur hilang. Tetapi laparnya perut tidak ketulungan. Plencing dan Tobil kembali ke jalan. Bingung. Mau kemana. Rasa lapar sangat terasa. " Kemana tujuan kita sekarang Cing ?" Tobil  tampak sangat sangat bingung. " Kemana ya kang ?" Plencing celingukan. " Kita ke rumah di pinggir jalan itu kang. Siapa tahu kita dapat pertolongan. Sebentar lagi malam. Kita harus dapat tumpangan tempat kita tidur." Plencing terus mengawasi rumah di pinggir jalan yang pintunya sedikit terbuka. " Ya sudah ayo kita coba." Tobil langsung menarik tangan Plencing.
Tobil dan Plencing memperoleh pertolongan dari yang empunya rumah yang ternyata bernama Temuni. Temuni seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Temuni hidup sendiri di rumah besar walaupun sederhana. Temuni mengurusn sawah ladang sendiri sepeninggal suaminya. Hari bertambah tahun berganti Temuni semakin tidak mampu mengurusi sawah ladangnya. Gayung bersambut Plencing dan Tobil pengangguran yang sedang bingung bertemu dengan Temuni yang butuh tenaga untuk mengurus sawah ladangnya. 
Tobil sendawa pertanda perutnya kenyang. Plencing dan Tobil mendapat makanan yang cukup untuk mengenyangkan perutnya dari Temuni. Plencing tersenyum lega temannya bisa kenyang. " Jadi dik Tobil dan dik Plencing ini bersedia ta membantu aku mengurus ladang ?" Temuni bertanya lagi kepadaTobil dan Plencing. Tadi sudah beberapa kali pertanyaan ini disampaikan ke Tobil dan Plencing yang juga sudah disanggupi. Temuni segera akrab dengan Tobil dan Plencing. Temuni merasa kasihan terhadap keduanya. Cerita jujur yang disampaikan Plencing kepada Temuni mengapa dirinya sampai pergi dari desa dipercaya Temuni. " Sanggup, yu. Sangat sanggup. Bekerja apa saja aku dan kang Tobil ini akan sanggup dan sangat bersedia asal bisa mendapat tempat berteduh." Plencing meyakinkan Temuni. " Ya sudah kalau begitu. Sekarang sana di Tobil sama dik Plencing tidur. Mau tidur di kamar itu juga boleh. Itu kamar kosong." Temuni minta Tobil dan Plencing istirahat. Temuni tahu kalau kedua tamunya yang cepat diakrapi ini sangat kelelahan. 
Begitu kepala diletakan, Tobil langsung mendengkur. Karena kekenyangan dan capainya membawanya  mudah tidur. Plencing masih duduk sambil merokok. Plencing merenung. Mengingat - ingat sejarah yang bisa membawanya bertemu dengan Temuni. Pikiran Plencing melayang. Yu Temuni janda. Dan dirinya tinggal bersama janda. Apa yang akan terjadi nanti. Yu Temuni walau sudah cukup usia tetapi masih nampak padat tubuhnya. Wajahnya bersih. Kulitnya memang banyak terbakar matahari, tetapi tidak ada kerutan - kerutan. Semua masih nampak kencang. Pikiran nakal Plencing menghinggapi angannya. Dirinya pasti akan memperoleh yang tidak pernah didapatkan di desa. Di desa Plencing hanya sibuk menyiapkan gula - gula buat juragannya. Sekarang Plencing sudah terlepas dari juragannya yang sekarang menderita lumpuh. Plencing berharap dirinya akan mendapatkan kesenangan dengan yu Temuni. Temuni yang masih nampak segar dan padat. 

bersambung .................
 

Minggu, 23 Juni 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                     edohaput


Kedelapanpuluhlima

Juragan Rase sedang menikmati secangkir teh di ruang depan rumahnya yang tidak ada banding baik mewah dan besarnya di desa kecuali rumah juragan Gogor. Juragan rase gelisah. Sejak malam mulai masuk hidung juragan rase membaui asap dupan kemenyan. Semakin malam bau asap dupa kemenyan semakin menyengat dan semakin mengganggu penciumannya. Perasaannyapun menjadi semakin tidak enak. Membuat dirinya gelisah. Asap rokok yang diisapnyapun tertindih bau asap dupa kemenyan. Juragan Rase mengira ada tetangga yang sedang melakukan sesaji dengan membakar dupa kemenyan. Tetapi mengapa baunya masuk ke dalam rumahnya yang rapat. Juragan Rase beranjak dari duduk dan memeriksa jendela pintu. Semua sudah tertutup rapat. Juragan Rase keluar rumah. Dan berkeliling. justru di luar rumah tidak ada bau asap dupa kemenyan. Juragan Rase kembali masuk rumah dan menutup rapat - rapat pintu. Bau asap dupa kemenyan semakin menyengat saja. Anehnya tidak ada asap. Mengapa baunya sungguh menyengat. Juragan Rase merinding. Bulu kuduknya mulai berdiri. Juragan Rase merasakan ada sesuatu berada di dalam rumahnya. Rumah besar yang duhuni sendirian tidak pernah ada sesuatu yang membuatnya takut. Tetapi kini kesendiriannya membuat dirinya ketakutan. Bau asap dupa kemenyan semakin menjadi. Dua batang rokok disulut sekaligus. Maksud juragan Rase asap rokok agar bisa mengalah bau asap dupa kemenyan. Ternyata tidak berhasil. Bau asap dupa kemenyan bahkan semakin kentara dirasa di hidung. Juragan Rase takut dan bingung. 
Pintu di ketuk orang. Tiba - tiba ada rasa tenang di perasaan juragan Rase. Yang ditunggu datang. Dengan demikian di rumah dirinya bakal ada teman. Bergegas juragan Rase membukakan pintu. Parni bergegas masuk rumah, seolah takut ketahuan orang. Kembali juragan Rase menutup pintu dan menguncinya kemudian segera menggandeng Parni masuk ke kamar dimana ada ranjang besar dan berkasur empuk. 
Parni janda kembang yang ditinggal pergi suaminya. Sebenarnya Parni belum janda. Hanya saja suaminya telah lama pergi meninggalkannya.Katannya kepada Parni akan bekerja di kota. Nanti setelah mendapat uang Parni akan diajak ke kota. Tetapi sudah dua tahun suaminya tidak kunjung menjemputnya. Parni kecewa. Parni tidak sanggup menunggu. Juragan Rase menawarinya kerja di rumahnya. Parni menolak. Tetapi kalau sesekali datang membantu Parni sanggup. Gayung bersambut. Juragan Rase setuju. Parni menjadi tenaga pembantu yang tugasnya mencuci baju juragan Rase, kadang - kadang memasak, dan yang menjadi tugas pokok Parni bersih - bersih rumah juragan Rase yang kelewat besar. Parni tidak setiap hari datang. Sesekali saja kalau diperkirakan sesuatu yang perlu dikerjakan sudah menumpuk. Sangat sering Parni digoda juragan Rase. Diiming - imingi uang. Dirayu - rayu, tetapi Parni tetap teguh setia kepada suaminya yang telah lama meninggalkannya. Sampai di satu sore ketika juragan Rase selesai mandi dan minta agar Parni mengambilkan handuk yang tertinggal di luar kamar mandi, Parni melihat mentimun juragan Rase yang besar dan sedang kaku. Rupanya juragan Rase memanhg sengaja agar miliknya dilihat Parni. Juragan Rase ketika menerima handuk dari Parni sengaja membuka pintu kamar mandi terbuka lebar. Parni hanya bisa melotot kemudian memalingkan muka. Tetapi tak urang jantungnya menjadi deg - degan. Parni segera berlalu dari depan pintu kamar mandi. Tetapi pikirannya menjadi amat kacau. Mentimun juragan Rase yang tegak kaku besar dan panjang di pelupuk matanya dan tidak mau hilang. Tidak urung miliknya yang terus dijaga agar tidak mengkhianati suaminya tiba - tiba berontak. Ada rasa gatal - gatal pegal. Dan ada sesuatu yang akan mengalir. Rasanya merekah - rekah ingin dijamah. Dua tahun lamanya miliknya nganggur tidak berguna. Miliknya rasanya mengembang dan sangat ngilu gatal geli. Pikiran Parni jadi kacau. Beberapa gelas di tangannya yang habis dicuci berjatuhan di lantai. Suara gelas pecah membuat gaduh suasana. " Ada apa Ni ?" Juragan Rase teriak dari kamar mandi. " Gelas pecah juragan !" Parni menjawab dengan teriak juga. Parni gugup. Dipungutinya pecahan gelas. Sial jarinya tertusuk pecahan gelas. Berdarah. Hanya berbalut handuk di pinggulnya juragan Rase keluar dari kamar mandi dan mendapati Parni sedang memijit - mijit jarinya yang berdarah. Segera digandengnya Parni masuk menuju kamar juragan Rase. Yang terjadi kemudian juragan Rase memberikan obat merah di jari Parni dan membalutnya. Kembali Parni menjadi amat deg - degan ketika melirik yang ada di balik handuk bergerak - gerak. Parni sangat tahu itu mentimun juragan Rase. Selesai membalut juragan Rase tidak melepas tangan Parni. Parni malah dipeluknya. Ketika pelukkannya tidak ditolak Parni, juraga Rase langsung menyerbu. Parni hanya bisa gelagepan ketika bibirnya telah dikuasi oleh bibir juragan Rase. Handuk di pinggul juragan Rase terlepas. Dan tangan Parni tidak sengaja menyentuh mentimun juragan Rase. Parni menjadi hilang kesadaran. Di samping nikmatnya bibir yang dikulum, juga pikirannya sudah pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Dan kerinduannya pada jamahan menjadi semakin menggelegak. Parni dan juragan Rase yang telanjang ambruk di ranjang. Parni menjadi tidak ingat lagi kalau kainnya sudah satu - satu terlepas dari tubuhnya. Yang terasa kemudian hanya hangatnya tubuh juragan Rase yang menempel di tubunya yang sudah setengah telanjang. Yang dirasakan Parni kemudian hanya tubuhnya seluruhnya nikmat. Melayang - layang dan terlupakan segalanya. Sejak sore itulah awal Parni yang kemudian menjadi gula - gula juragan Rase. 
Bau asap dupa kemenyan masih sangat mengganggu hidung juragan Rase. " Ni Kamu membaui kemenyan di bakar ?" Juragan Rase menyari - nyari sumber bau dengan hidungnya dimoncong -moncongkan ke segela arah. " Kok tidak juragan. Aku dak membaui apa - apa kok juragan." Jawab Parni jujur dan hidungnya juga menyoba menyari - nyari bau. " Dak ada bau apa - apa kok juragan." Parni menegaskan sambil melepasi kainnya. Parni menjadi telanjang. Payudaranya tidak kecil tetapi tidak besar juga. Tegak menggunung di dadanya. Puting kecil karena belum pernah disedot bayi. Juragan Rase begitu juga sambil menyari - nyari sumber bau dirinya juga melepasi piyama yang membalut tubuhnya. Parni dan juragan Rase berdiri telanjang. Kemudian mereka berpelukan. Berciuman dan saling meraba. Bau tubuh wangi Parni malam ini tidak dirasakan oleh juragan Rase. Hidungnya amat terganggu bau dupa kemenyan dibakar. Parni dan juragan Rase bergumul di ranjang. Parni yang leher, payudara, dan bibirnya digarap membabi - buta oleh juragan Rase menjadi semakin tidak tahan. Ingin rasanya miliknya segera ditusuk mentimun juragan Rase yang besar dan panjang. Tetapi ketikan tangannya menyoba menyari mentimun juragan Rase, Parni kaget mentimun juragan Rase tetap lemas. " Juragan mentimunnya kok dak tegak ta ?" Parni bertanya disela - sela engahannya. Juragan Rase menghentikan kegiatannya dan memegangi mentimunnya. Digoyang - goyangkannya. Dikocok - kocoknya. Tetap lemas. Dilihatnya tubuh molek telanjang di hadapannya. Dipikirkannya tubuh telanjang ini akan digarapnya. Tidak membuat mentimunnya bereaksi. Parni dimintanya memegang dan menghidupkannya. Beberapa saat tidak berhasil. Bahkan nekat Parni memasukkan mentimun juragan Rase ke dalam mulutnya dan disedot - sedotnya. Tidak berhasil. Mentimun juragan Rase tidak bereaksi malah cenderung mengecil. Yang dirasakan kemudian oleh juragan Rase malah tubuhnyapun melemas tidak berdaya. Kakinya lemas tidak berasa dan tidak bisa digerakkan. " Ni ... aku kenapa ...Ni ... tolong Ni ... aku lemas ...!" Habis berkata begitu juragan Rase hanya bisa ambruk lemas di samping tubuh telanjang Parni yang kecewa. " Juragan ... juragan kenapa ... juragan ... bangun juragan ... juragan ... !" Parni panik. " Aduh ... Ni ... kenapa aku ini. Kakiku Ni ... dak bisa digerakkan ... Ni... toilong ... Ni ... !" Juragan Rase hanya bisa terlentang lemas. Parni hanya bisa panik dan bingung.

bersambung .............



Sabtu, 08 Juni 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                  edohaput 

Kedelapanpuluhempat

Juragan Gogor melepasi kain dan celananya. Hanya kaos singlet saja yang menutupi tubuhnya. Di ranjang telah tergolek perawan baru. Benar - benar perawan. Plencing dan tobil berhasil mencarikan juragannya gula - gula yang sangat muda. Perawan dari tetangga desa. Perawan Marmi ini telah termakan bujuk rayu Plencing dan Tobil. Dan ahkirnya bisa dibawa ke ranjang juragannya. Perawan Marmi belum genap lima belas tahun. Masih sangat muda. Tubuhnya saja yang memang subur sehingga nampak sudah gede. Marmi cantik. berkulit putih. Rambut panjang sebahu, hidung memang tidak mancung, tetapi memiliki bibir tipis dan merah. Perawan Marmi telah tergolek di ranjang dan tubuh telanjangnya masih ditutupi selimut. Dan sebentar lagi selimut pasti akan dibuka juragan Gogor. Dan tubuh telanjang perawan Marmi akan menjadi mainan yang sangat menyenangkan bagi juragan Gogor. Selimut yang menutupi bagian dada perawan Marmi tampak menonjol. Di balik selimut itu pasti ada payudara yang menggunung kecang, ranum dan padat. Buah dada perawan yang pasti puting susunya kecil merah muda. Puting susu yang belum pernah kena lidah. Dan belum pernah digigit - gigit kecil dan juga belum pernah disedot - sedot. Juragan Gogor sebentar lagi pasti akan melakukannya. Dan perawan Marmi pasti akan merintih - rintih. Perawan Marmi menunggu apa yang akan dilakukan juragan yang kemarin lewat Plencing dan Tobil telah memberinya tumpukan uang dan perhiasan. Ada perasaan takut menyelimuti perasaannya ketika lirikan matanya melihat orang yang bertubuh tinggi besar yang sedang bersiap - siap menerkamnya. Manakala teringat Tumpukan uang dan perhiasan yang telah disimpan di rumah, Marmi hilang rasa takut. Pasrah, tubuhnya mau diperbuat apa oleh orang yang matanya selalu menatapnya dan kadang - kadang menyeringaikan senyumnya. 
Plencing dan Tobil yang berada di lantai bawah tepat di bawah lantai dua dimana juragannya segera akan menikmati perawan Marmi, hanya terdiam. Mulutnya terus dan terus mengepulkan asap rokok. Sebentar - sebentar diserutupnya teh panas manis dan kental. Kupingnya di pasang. Tobil dan Plencing ingin mendengar suara yang berasal dari kamar juragannya. Setiap kali juragannya menikmati perawan hasil bujuk rayunya, Plencing dan tobil selalu nguping. Suara ranjang yang gaduh, rintihan dan desahan akan selalu didengarnya. Bahkan kadang Plencing dan Tobil tidak jarang mendengar jeritan dan erangan nikmat yang berasal dari kamar juragannya itu. Kalau sudah sampai demikian Plencing dan Tobil pasti tidak kuasa menahan. Segera mematikan lampu dan mereka sibuk dengan mentimunnya masing - masing. Dan kedua juga melenguh - lenguh, dan membuat suara berderit - derit kursi yang didudukinya. Plencing dan Tobil menunggu suara itu. Suara napasnya ditahan - tahan agar kupingnya bisa mendengar suara dari kamar juraganya. Tidak lama kemudian benar kuping Plencing dan Tobil mendengar rintihan perawan Marmi dan diiringi pula suara ranjang yang kerengket - kerengket. Di bayangan Plencing dan Tobil juragannya pasti sudah mulai bermain dengan tubuh perawan Marmi. Plencing dan Tobil menelengkan kepalanya agar kupingnya mengahadap ke atas ke lantai dua agar bisa semakin mendengar suara - suara yang menyenangkan itu. Bersamaan dengan itu hidung Plencing dan Tobil dikagetkan oleh bau asap dupa kemenyan yang dibakar. Sangat jelas bau dirasakan hidung. Seiring dengan datangnya bau asap dupa kemenyan ada pusaran angin yang tiba - tiba memenuhi ruangan dimana Plencing dan Tobil duduk. Pusaran angin membuyarkan asap rokok yang dikepulkan Plencing dan Tobil. Tobil dan Plencing yang kaget hanya bisa saling bertatap mata dengan penuh tanda tanya. Mulut mereka serasa terkunci. Tiba - tiba seluruh badan terasa dingin dan merinding. Tidak lama bau asap dupa kemenyang dan pusaran angin hilang. Plencing dan Tobil lega. Dipikirannya paling ada tetangga yang sedang membakar asap dupa kemenyan. Itu segera dilupakan Plencing dan Tobil karena suara rintihan dari kamar juragannya semakin jelas. Di pikiran Plencing dan Tobil juragannya pasti sudah di mabuk tubuh perawan Marmi.
Benar, di dalam kamar juragan Gogor sedang memeluk tubuh kecil perawan Marmi. Juragan Gogor dengan beringasnya berganti - ganti melahab bibir, puting susu, dan leher perawan Marmi. Perawan Marmi tidak ingat lagi sedang ada dimana dan sedang apa. Yang dirasakan hanya bibirnya geli enak, buah dadanya disedot - sedot, diremas dan terus diciumi, leher terasa sangat hangat dan geli mana kala bibir dan lidah juragan Gogor sedang ada di sana. Perawan Marmi hanya bisa menggelinjang, merintih keras, dan mendesah lepas tidak tertahan. Lebih - lebih ketika tangan juragan Gogor telah menyibakkan pahanya dan jari - jari juragan Gogor bermain - main di miliknya yang memang belum pernah dibegitukan. Rintingan, desahan, dan erangan perawan Marmi semakin menjadi. Lama juragan Gogor bermain - main dengan tubuh perawan Marmi. Semakin Marmi mendesah dan menggelinjang semakin beringas saja juragan Gogor bermain. Milik perawan Marmi yang dipermainkan jemari juragan Gogor telah banjir dan membasah. Menikmati itu juragan Gogor juga sudah tidak lagi tahan. mentimunnya sudah sangat kaku dan terasa begitu pegal. Tubuh perawan Marmi dilepaskan dari pelukannya. Selimut yang masih sebagian menutupi tubuh telanjang Marmi dilempar ke lantai. Perawan Marmi bulat telanjang telentang kangkang. Juragan Gogor segera menempatkan diri. Tubuh Marmi ditindih. Mentimunnya yang kaku sudah mengarah di selangkangan perawan Marmi. Bersamaan dengan itu tiba - tiba melalui celah mana ada pusaran angin keras masuk ke ruang kamar juragan Gogor. Bau asap dupa kemenyan menyengat dan sangat terasa di hidung juragan Gogor. Barang - barang ringan di kamar juragan Gogor berterbangan dan jatuh membentur lantai. Juragan Gogor kaget, dan menghentikan kegiatannya. Begitu juga perawan Marmi. Kaget dan takut. Sangat singkat pusaran dan bau asap dupa kemenyan berlangsung. Dan segera hilang. Juragan Gogor menduga itu hanya angin yang masuk dari lubang ventilasi. Dan bau asap dupa kemenyan pasti terbawa angin dari rumah tetangga. Kekagetan juragan Gogorpun cepat sirna. Kegiatannya segera dilanjutkan lagi. Dilahabnya lagi bibir perawan Marmi sambil tangan tidak berhenti meremas buah dada kenyal milik perawan. Napas juragan Gogor menderu - deru, mendengus, bagai napas banteng marah. Tetapi alangkah kagetnya juragan Gogor, ketika bermaksud menusukkan mentimunnya di milik Marmi yang masih perawan, ternyata mentimun lemas, dan mengecil. Dipegangnya mentimunnya dan digoyang - goyangkannya. Tetap lemas dan tidak mau kaku. Dirasakannya juga kedua kakinya yang lemas dan tidak mampu menopang pantatnya. Lututnya yang menopang paha dan pinggulnya serasa tak berdaya. Juragan Gogor ambruk menindih tubuh Marmi. Marmi yang tertindih tubuh lemas juragan Gogor menjadi sulit bernapas. Didorong dan ditepiskannya tubuh juragan Gogor dengan sekuat tenaganya, dan Marmi berhasil. Tubuh Juragan Gogor terlentang lemas di ranjang. Marmi hanya bisa dengan heran memandangi tubuh juragan Gogor yang tiba - tiba lemas tidak berdaya. Tangannya menggapai - gapai ingin meraih tubuh Marmi yang telah bangun dari ranjang dan duduk menatapnya. Tangannya juga tidak kuasa diangkatnya. Juragan Gogor tidak mampu menggerakkan tangan dan kakinya. Tubuhnya terlentang lemas di ranjang ditatap Marmi yang kebungungan. " Plencing ... Tobil ... tolong ... tubuhku kenapa ... tolong ...tolong... Cing ... Bil ..." Juragan Gogor keras berteriak. 
Plencing dan Tobil yang memang sedang memasang telinga untuk mendengarkan suara dari kamar , sangat kaget mendengar juragannya berteriak - teriak minta tolong. Dengan sigap dan cepat plencing dan tobil segera naik ke lantai atas, membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan mendapati juragannya terlentang telanjang di ranjang dengan tangan dan kaki yang sudah tidak bisa digerakkan. Pelncing dan Tobil juga mendapati Marmi yang masih telanjang berdiri di pinggir ranjang dengan wajah yang kebingungan. Plencing dan Tobil segera mengangkat tubuh juragannya untuk didudukkan tetapi kembali ambruk dan lemas. " Cing ... Bil ... kenapa aku ini ... Cing ... tolong ... Bil ... kenapa ... aku ... tolong cing ... " Juragan Gogor sangat cemas akan tubuhnya. Setiap kali Plencing dan Tobil berusaha menegakkan tubuh juragannya, setiap kali itu pula tubuh juragannya kembali ambruk tidak berdaya. " Juraga sakit ? Bagaimana rasanya juragan ?" Plencing bertanya dengan nada cemas pula. " Aku tidak merasakan sakit Cing ... tapi aku dak bisa menggerakkan tangan dan kakiku, Cing... tolong Cing ...tolong Bil ... " Dengan nada memelas juragan Gogor minta kepada Plencing dan Tobil yang bingung. 

bersambung .......................



Rabu, 29 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                edohaput

Kedelapanpuluhtiga

Pak Pedut dan Wakini tidak habis pikir. Sejak berada di rumah, Menik jarang keluar kamar. Dari kamarnya terus mengepul asap dupa kemenyan yang aromanya sampai ke rumah tetangga. Menik keluar kamar jika perlu makan dan minum. Menik sangat jarang berbicara dengan pak Pedut dan Wakini. Sebaliknya pak Pedut dan Wakini tidak berani membuka pembicaraan dengan Menik jika tidak sangat perlu atau jika sedang menawarkan meja makan yang sudah siap. Menik begitu berwibawa. Menik begitu menakutkan. Wajah muda cantik Menik belum menampakkan wajah ceria. Jika menatap, sorot matanya menusuk relung kalbu yang ditatap. Dan kalau itu menimpa pak Pedut dan Wakini, mereka hanya bisa buru - buru menunduk atau mengalihkan pandangan. Kalau Wakini memang tidak begitu tahu, tetapi pak Pedut sangat paham kalau tatapan Menik ini adalah tatapan neneknya Menik, Nyi Ramang. Menik sangat mewarisi sifat - sifat Nyi Ramang. 
Wakini dan pak Pedut tidak tahu mengapa Menik pulang dari kota dan kembali tinggal di desa. Dan sejak kembalinya dari kota Menik terus tidak pernah menampakkan wajah sukanya. Menik selalu muram. Hal ini membuat pak Pedut dan wakini menjadi kikuk. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga. Yang ada di pikiran pak Pedut, Menik muram karena kematian Kliwon yang dinilai tidak wajar. Kematian Kliwon yang tiba - tiba dan seperti adanya rekayasa dari orang yang menjahati Kliwon. Menik tidak menerimakan kematian Kliwon kakaknya. Menik sedang berusaha mengetahui mengapa kakaknya meninggal dengan cara demikian. Di pikirannya pak Pedut setengah memastikan, bahwa kemuraman Menik adalah karena meninggalnya Kliwon.
Malam telah bergeser semakin jauh. Udara dingin mulai terasa menusuk - nusuk tulang. Ditambah dengan semilirnya angin gunung yang mampu menerobos celah - celah dinding bambu semakin membuat dinginnya malam. Di kamar wakini pak Pedut sedang mengelus - elus perut Wakini yang semakin membuncit. " Ni ini anakku apa anak Kliwon ya, Ni ?"  Pak Pedut mengelus perut Wakini dan yang setengah telanjang. Karena kain bawah telah lepas dari tubuh Wakini. " Seingatku ini anak bapak. Rasanya Kang Kliwon belum pernah memasukkan ke dalam milikku ini, pak." Wakini menjawab sambil memegangi tangan pak Pedut dan dituntun ke arah miliknya. Tangan pak Pedut yang menyentuh milik Wakini dan merasakan hangat dan sedikit membasah, membuat mentimun pak Pedut kontan bangun. " Ya dah Ni, itu dak perlu dipikirkan kalau ini anak Kliwon ya tetap cucuku, kalau ini anakku berarti adiknya Kliwon." Berkata begitu pak Pedut sambil menekankan telapak tangannya di milik Wakini. Dan membuat Wakini merasakan enak di miliknya. " Pak ... aahh.. !" Wakini mendesah tertahan takut suaranya didengar Menik. Walaupun Wakini telah memperoleh ijin dari Menik untuk mendampingi pak Pedut, tetapi Wakini juga tetap harus menjaga situasi agar tidak semata nekat. Pak Pedut melucuti sarung dan celana kolornya. Melihat keindahan tubuh Wakini pak Pedut memang selalu tidak tahan untuk berlama - lama menahan keinginan. Pak Pedut menempatkan diri di atas tubuh wakini. Dan Wakini siap menerima perlakuan pak Pedut. " Tapi jangan keras - keras pak. Takut didengar Menik, pak. Pelan - pelan saja genjotannya." Bisik Wakini di telinga pak Pedut. " Ni ... " Pak pedut pelahan menyodokkan mentimunnya di milik wakini dan amblas. Keduanya menikmatinya dan tanpa ada kegaduhan seperti biasanya. 
Seiring dengan berjalannya malam, aroma asap dupa kemenyan yang berasal dari kamarnya Menik semakin menusuk hidung. Apa yang dilakukan Menik di dalam kamar tidak ada yang tahu. Juga pak Pedut dan Wakini yang lagi asyik menikmati hubungan sama sekali tidak perduli dengan Menik. Menik sedang melakukan apa pak Pedut dan Wakini tidak mau tahu. 
Di dalam kamar Menik telanjang duduk bersila. Di depan duduknya ada anglo bara api tempat membakar dupa kemenyan dengan asap yang semakin tebal mengepul. Di tangan kanan jimat Kecubung Wulung digenggamannya. Genggaman tangan diposisikan di atas tungku anglo. Mulut Menik berkomat - kamit tidak jelas apa yang sedang diucapkannya. Hanya kata - kata kamu yang diucapkan Menik dengan jelas dan geram. " Kamu .... !!" Genggaman jimat ada di atas anglo tungku. " Kamu ... !! Kamu ... Kamu ... !! " Mata Menik terpejam tetapi mulutnya sangat geram mengucapkan kata - kata kamu. Setelah berbuat demikian tiba - tiba Menik berdiri. Seandainya saja ada orang yang melihat Menik, pasti akan berdecak kagum melihat keindahan tubuh Menik. Tubuh yang kembali muda. Wajah yang sangat cantik. Dan semua lekuk tubuhnya begitu membentuk. " Rasakan ... !! ....Rasakan .... Rasakan.... !! ...Rasakan .... !!" Menik melototkan matanya dan tangannya yang menggenggam jimat Kecubung Wulung ditinjukan ke segela penjuru arah. Seiring dengan apa yang diperbuat Menik, tiba - tiba ada pusaran angin yang bergerak di dalam rumah. Barang - barang yang ringan di dalam rumah tersambar angin dan berjatuhan menimbulkan suara gaduh. 
Pak Pedut dan Wakini yang sebentar lagi akan segera sampai di kenikmatan puncak terkejut dengan kegaduhan yang terjadi di rumah. Pak Pedut segera mencopot mentimun dari milik wakini dan segera mengenakan kain lari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi. Wakini yang kecewa juga segera menyelimuti diri dengan kain jarik dan keluar kamar. Pusaran angin masih berpusing di dalam rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya melongo dan takut. Aroma dupa kemenyan semakin menyengat. Pusaran angin semakin kuat dan tiba - tiba ada suara berderak. Pintu dan jendela rumah terbuka, dan pusaran angin menerobos keluar rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya bisa melongo. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. 

bersambung .............................



 


Minggu, 19 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                   edohaput

kedelapanpuluhdua

Tepat hari Kamis Wage, dan malam nanti adalah malam Jumat Kliwon. Menik memenuhi janjinya. Menik Pulang ke desa. Hari ini adalah hari keempatpuluh dari saat meninggalnya kakaknya, Kliwon. Kepulangan Menik ke desa tanpa diantar Gono suaminya. Kecuali Gono harus bekerja, juga karena malam Jumat Kliwon nanti Menik mau punya pekerjaan yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak kedatangannya di rumah, Menik sedikitpun tidak menampakkan muka ramah. Banyak memberengut dan nampak garang. Pak Pedut dan Wakini tidak berani bertanya kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak berbicara. Menik langsung berada di dalam kamar mendiang neneknya, Nyi Ramang.
Menjelang sore mendekati malam aroma dupa kemenyan di bakar sangat menusuk hidung. Aroma ini berasal dari dalam kamar mendiang nenek Menik. Dan Menik sedang berada di dalam kamarnya. Aroma dupa kemenyan dibakar membuat kelimpungan Wakini yang sedang hamil muda. Tetapi Wakini tidak bisa berbuat banyak, kecuali diam dan menahan. Begitu juga pak Pedut hanya diam seribu basa. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga apa yang dilakukan Menik di dalam kamar mendiang neneknya. Sebenarnya pak Pedut tidak asing lagi dengan aroma dupa kemenyan yang dibakar. Sejak Nyi Ramang masih hidup pak Pedut selalu mencium aroma ini. Hanya saja aroma ini sudah sangat lama tidak diciumnya. Kini tiba - tiba terhirup kembali oleh lubang hidungnya. Rupanya Menik sedang melakukan ritual yang dulu sering dilakukan Nyi Ramang. Pak Pedut sangat paham, Meniklah yang mendapat warisan dari Nyi Ramang. Nyi Ramang sangat menyayangi Menik. Dirinya dan Kliwon banyak luput dari perhatian Nyi Ramang. Hanya Meniklah yang selalu berada di dekat Nyi Ramang. Tidak mustahil jika sekarang Meniklah yang serba tahu tentang ilmu yang dimiliki Nyi Ramang.
Matahari telah beberapa waktu lenyap di balik gunung. Malam sudah merambati pedesaan. Gelap memenuhi segala sudut dan penjuru desa. Hanya lampu - lampu panjeran yang kerlap - kerlip di setiap rumah warga. Suasana malam Jumat Kliwon begitu sepi. Kekes, dingin dan tidak ada suara tembang. Pada malam Jumat Kliwon orang memilih berada di rumah, diam dan banyak melakukan ritual do'a - do'a. Ketika hari masih siang banyak warga datang ke kuburan untuk bersih - bersih makam leluhur dan menaburkan bunga di atas gundukan kubur leluhur. Sebagian bunga - bunga dibawa pulang dan ditaburkan di panci yang diisi air. Panci diletakkan di meja, atau dimana saja ditempat yang tidak banyak diterangi lampu. Tidak jarang pula warga membakar dupa kemenyan dan diletakkan di dekat panci bunga.
Menjelang tengah malam Menik keluar kamar dan meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pak Pedut dan Wakini yang telah lelap. Menik berjalan menyusuri jalan dan pematang perasawahan menuju kedung tanpa dibantu sedikitpun cahaya obor. Menik sengaja berjalan di kegelapan. Menik hafal jalan. Menik bagai dituntun berjalan cepat tanpa gontai walaupun berjalan di pematang sawah yang cuma selebar tapak kaki. Jika dilihat orang yang tampak aneh adalah mata Menik yang bercahaya dan menerangi jalan setapak di depannya. 
Menik sampai di tepian kedung. Menik tahu kalau sebentar lagi tengah malam segera akan tiba. Menik segera menelanjangi diri. Tanpa sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Menik telanjang bulat. Jika saja hari terang, akan terlihat postur indah tubuh Menik. Pinggang yang ramping, paha dan betis yang panjang, payudara yang tegak menggunung, wajah yang cantik, dan rambut panjang yang terurai, dan milik Menik yang menggunduk ditumbuhi rambut halus. Hanya saja perut Menik sudah tidak lagi rata. Sedikit membuncit karena Menik sedang mengandung anak Gono. " Nyi aku Menik cucumu datang bersama cucu buyutmu yang masih aku kandung. Ijinkan aku mengambil kembali jimat Kecubung Wulung yang pernah aku buang di tengah kedung ini." Menik dengan bersikap sembah mengatupkan telapak tangan di depan dada sambil mengucapkan kalimat ini. Selesai Menik berucap tiba - tiba datang angin bertiup keras menggoyangkan pepohonan di tepian kedung. Menik tahu dengan pertanda ini. Dikatupkannya kedua pelupuk matanya dan disebutnya nama neneknya betrkali - kali. Tidak berapa lama kemudian ... byaaaar .... air kedung bercahaya sangat terang. Menerangi tubuh Menik yang telanjang. Menik ambyur ke tengah kedung dan menenggelamkan dirinya. Beberapa saat kemudian mucul lagi di permukaan air kedung. Tangan kanannya telah menggenggam batu jimat Kecubung Wulung. Menik minggir dan naik ke tepian kedung. Rambut panjangnya basah lengket di tubuh sebagian menutupi payudaranya. Seandainya saja ada orang melihat akan kaget terhadap perubahan yang terjadi di tubuh Menik. Menik berubah menjadi muda kembali. Wajah cantiknya berubah menjadi wajah perawan belasan tahun. Semua lekuk tubuhnya kembali menjadi muda ranum dan indah, kecuali perutnya yang tetap agak membuncit.
Sebelum selesai Menik kembali mengenakan kainnya air kedung telah menjadi gelap. Dan diahkiri oleh tiupan angin kencang yang berlangsung sesaat. Menik berjalan meninggalkan kedung. Jimat Kecubung Wulung telah berada di bundelan ujung kain bajunya. Menik berjalan cepat. Sorot matanya terang menerani jalan setapak yang dilaluinya. Sendainya saja ada orang melihat Menik pasti orang akan mengira Menik sedang sangat marah. Wajah muda cantiknya tetap dihiasi kemuraman. Dan di dada Menik memang sedang berlangsung nada marah. Nada Geram. Yang akan berujung dimana belum diketahui. 

bersambung .......................


Rabu, 15 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput


Kedelapanpuluhsatu

sebelas hari sejak kamatian Kliwon, rumah pak Pedut kembali sepi. Menik dan Gono juga telah kembali ke kota lagi. Di rumah tinggal pak Pedut dan Wakini janda Kliwon. Wakini mendapat mandat dari Menik agar tidak pergi kemana - mana. Wakini diminta Menik agar menemani bapaknya. Jika satu hari nanti Wakini berkeinginan untuk nikahan lagi Menik mempersilahkan. Tetapi untuk sementara Wakini harus tinggal bersama pak Pedut. 
Malam dingin sepi. Wakini dan pak Pedut menghangatkan badan di dekat tungku api sambil menunggu air yang dijerang mendidih. " Kamu dapat pesan apa dari Menik, Ni ? Kemarin lusa kok nampaknya Menik sungguh - sungguh banget bicara sama kamu ?" Pak Pedut memasukkan  kayu bakar di lubang tungku sambil melirik Wakini yang jongkok di dekatnya. Wakini yang kain bawahnya sangat kendor membuat mata pak Pedut bisa melihat kedua paha Wakini yang tidak tertutup sempurna bahkan boleh dikatakan sangat terbuka. Dan Wakini sengaja tidak membetulkan kain bawahnya yang kendor dan sengaja membiarkannya karena kain yang kendor membuat dirinya mudah melakukan kegiatan terutama ketika berjongkok di depan tungku. Api tungku yang menyala besar dan berkilat - kilat menimpa kedua paha Wakini yang bersih. " Menik bilang pesan begini pak. Yu kamu jangan tinggalkan bapak. Walaupun kang Kliwon sudah dak ada, kamu harus tetap tinggal di rumah ini menemani bapak. Kasihan bapak sendirian. Suatu saat nanti kalau ada orang yang ingin menikahimu, yu Wakini boleh meninggalkan bapak. Tetapi jangan sekarang. Syukur jika yu Wakini sudah dak ingin lagi nikah, dan tetap setia menemani bapak. Gitu pak pesan Menik. Dan Menik juga bilang kalau nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah ini. Menik mau apa aku tidak tahu, pak." Wakini menyampaikan pesan Menik kepada dirinya kepada pak Pedut. " Terus kamu menyanggupi pesan Menik ta Ni ?" Pak Pedut meraih tangan Wakini yang mempermainkan kayu bakar di tungku. " Dak usah dipesan begitupun aku tetap akan menemani bapak ta..." Wakini menatap mata pak Pedut sambil tersenyum. " Lagi pula aku rasa - rasanya lagi hamil, pak." Kalimat Menik ini mengejutkan pak Pedut. " Jadi ... jadi ... kamu hamil ... ?" Pak pedut menatap Wakini dengan penuh rasa sayang. " Ya pak rasanya aku hamil. Hanya saja aku tidak tahu ini anak kang Kliwon apa anak bapak." Wakini menegakkan dadanya dan mengelus perutnya. Posisi jongkok Wakini yang menegakkan dada dan perut membuat kain yang menutup pahanya semakin tersibak ke arah pangkal paha. Membuat mata pak Pedut melihat pangkal paha Wakini yang tertimpa cahaya api tungku dan tidak dikenakan celana dalam. Mendengar pengakuan Wakini ini tiba - tiba di perasaannya mengalir rasa sayang mendelam terhadap Wakini. " Ni ... " Pak Pedut berdiri dari jongkok. Diraihnya pundak Wakini dan ditariknya dengan lembut. Wakini dibimbing menuju amben dapur. Wakini manut - manut saja. Lembut pak Pedut mendorong dada Wakini agar tidur terlentang di amben. Wakini manut - manut saja. Pak Pedut membuka kain bawah Wakini. Wakini telanjang bagian bawah mulai dari pusar sampai ke ujung kaki. Pak Pedut mengelus perut Wakini. Pak pedut bisa merasakan perut Wakini memang sudah sedikit membuncit. " Ni ..." Tangan pak Pedut yang mengelus perut berjalan ke arah bawah dan menyentuh permukaan milik Wakini. Wakini menyediakan miliknya untuk diraba dengan melebarkan jarak paha. Untuk memberi ruang tangan pak Pedut mencapai miliknya. " Ni ... " Tangan pak Pedut menyentuh milik Wakini. Dan tangan pak Pedut reflek bermain di milik Wakini. " Pak ... aaaah ... " Wakini hanya bisa mendesah. Wakini yang sudah sepuluh hari tidak merasakan sentuhan sangat ingin menikmati sentuhan. Dan memang hanya pak Pedut yang bisa melakukan sentuhan yang membuat dirinya nikmat. " Aku tidak perduli ini anak Kliwon atau anakku, Ni. Anak dalam dalam kandunganmu ini kita akan rawat sebaik - baiknya." Pak Pedut memasukkan jarinya di milik Wakini dan mengutak - utik yang ada di dalamnya. " Pak ... aaaaaahh ..." Wakini hanya bisa begitu dan merapatkan pahanya agar jari pak Padut terjepit miliknya dan bisa semakin dinikmati. Sementara tangannya mebukai kancing - kancing kain atasnya sampai dadanya terbuka. Dan payudaranya yang tidak dikutangi dan kencang menggunung menyembul. Sementara itu pula tangan pak Pedut yang lain telah melepasi kain sarung dan celana kolornya. Pak Pedut telah telanjang bawah dan mentimunnya telah sangat kaku mendongak dan tersentuh paha hangat Wakini. Tiadanya Kliwon membuat pak Pedut semakin leluasa mengusai Wakini. Kini pak Pedut dan Wakini tidak perlu lagi sembunyi - sembunyi di gubuk sawah untuk melakukan hubungan. Wakini dan pak Pedut menjadi sangat leluasa. Wakini yang sudah tidak tahan untuk segera di tindih membuka kangkangan pahanya lebar - lebar. Pak Pedut tahu kalau Wakini sudah sangat menginginkan. Tetapi pak Pedut tidak segera menempatkan dirinya. Pikirannya tiba - tiba terganggu oleh pesan Menik kepada Wakini, jika nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah. Apa yang akan dilakukan Menik pada malam Jumat Kliwon nanti. Akankah Menik berbuat sesuatu terhadap kematian kakaknya yang tidak wajar itu. Tetapi pikiran ini segera lenyap ketika dilihatnya wajah Wakini yang menyiratkan dengan penuh harap agar segera ditindih. Pak Pedut tidak tega melihat Wakini yang sudah sangat menunggu. Maka segera ditempatkan dirinya. Dengan penuh rasa sayang pak Pedut mendorongkan mentimunnya. Wakini menatap mata pak Pedut yang menyorotkan rasa cinta kasihnya pada dirinya. Wakini merasakan itu. Wakini begitu bahagia. Dan perasaan ini semakin membuat dirinya bisa menikmati yang dilakukan pak Pedut. Pak pedut telah tidak sabar lagi untuk menyedot buah dada Wakini. Mencium bibir Wakini. Memeluk erat tubuh Wakini. Dan sebentar kemudian yang terdengar hanya desahan dan geraman serta kecipak paha beradu, buah dada dan leher yang dicupang - cupang, dan derit serta derak amben dapur yang bergoyang - goyang. 

bersambung .....................

Sabtu, 11 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                 edohaput


Kedelapanpuluh

Gudel, pak Blengur dan beberapa perjaka desa menyusur kali. Perjalanan menyusur kali dimulai dari pinggir kuburan. Berjalan ke arah utara menuju hutan. Semakin jauh melangkah semakin sulit jalan ditempuh karena banyak terhalang semak gerumbul yang lebat tumbuh liar. Gudel menemukan tanda - tanda telapak kaki yang merusak rumput liar. " Kang Blengur bukankah rumput - rumput ini ambruk karena terinjak kaki ?" Gudel berhenti melangkah. Semua melihat rumputan yang tidak lagi pada posisi semestinya. Sangat jelas kalau rumputan itu terinjak - injak kaki oleh lebih dari dua orang. Mata Gudel mengamati. " Kang, langkah itu turun ke kali, kesana kang. Itu lihat, lumut - lumut di batu itu terkelupas !" Teriak salah satu perjaka sambil menunjuk - nunjuk ke arah bebatuan berlumut di kali. Tidak lagi berkata - kata Gudel, pak Blengur diikuti para perjaka segera turun ke kali mengikuti bekas telapak kaki. Guguran daun dan ranting patah yang terserak menghentikan langkah Gudel, pak Blengur dan para perjaka. Mereka dengan sengaja mendongakkan wajah mencari dari mana guguran daun dan ranting patah berasal. Mereka terkesiap, terpekik, dan surut mundur beberapa langkah. Jantung berdegup keras, mata seolah tidak percaya, Kliwon tergantung di sebuah dahan pohon dengan leher terjerat seutas tali, tali yang biasanya oleh warga digunakan untuk menambat kerbau. 
Geger desa tidak terelakkan. Warga yang mendengar kejadian yang menimpa Kliwon segera berbodong menuju rumah Kliwon, terutama para perempuannya. Banyak juga warga terutama para perjaka dan para lelaki berlarian menuju kali. Mereka ingin melihat dan akan mengusung jasad Kliwon untuk dibawa pulang ke rumah.
Hari yang cerah sumringah, yang malamnya digelar keramaian di rumah Tumi, berubah menjadi hari yang kelam. Hari yang kelabu. Hari yang haru biru. Hari yang geger.  Hari yang penuh tangisan. Warga sangat menyesali kejadian yang menimpa Kliwon. Warga hanya bisa bertanya - tanya. Mengapa Kliwon yang telah banyak menolong orang tiba - tiba tertimpa kejadian yang membuatnya meninggal dunia. Mengapa kliwon yang santun dan tidak suka banyak bicara tiba - tiba jasadnya tergantung di dahan pohon di kali. Kliwon bunuh diri ? Tidak. Karena telah ditemukan di dekat jasad Kliwon tergantung, telapak - telapak kaki orang yang lebih dari dua orang. Kliwon pasti diperdaya orang. Tetapi siapan orang yang tega memperdaya Kliwon ? Warga hanya bisa mengait - ngaitkan kematian Kliwon dengan kematian yu Jumprit. Mengapa orang yang justru telah banyak berbuat baik dicedarai. Ada apa di desa ini. Mengapa demikian. 
Menjelang sore dengan diantar ratusan pelayat dari warga desa dan para warga desa tetangga jenasah Kliwon dikuburkan di kuburan belakang desa. Pak Blengur dan para perjaka desa menutup liang lahat yang di dalamnya ada jasad Kliwon, menjelang matahari tenggelam. Pak Blengur bekerja dengan tidak banyak bicara. Dipikirannya sangat menyesalkan kejadian yang menimpa Kliwon. Tidak seharusnya ada orang yang tega berbuat demikian.
Tumi dan Gudel pengantin baru menjadi orang yang kemudian sangat sibuk membantu keluarga pak Pedut. Tamu pelayat yang harus disuguh gupuhi, dan diterima sebagaimana mestinya menjadi pekerjaan Tumi dan Gudel.  Wakini hanya bisa terus menangis. Menangisi suaminya yang tidak dinyana dan tidak disangka secepat ini meninggalkan dirinya. Pak Pedut hanya bisa duduk, tercenung, dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. 
Sejak kedatangannya dari kota saat jasad Kliwon belum dibawa ke kuburan Menik mengunci mulut. Tidak satupun sapaan dijawabnya. Tidak satupun pertanyaan warga dijawab Menik. Menik cemberut. Menik tidak menampakkan wajah cerah sedikitpun. Orang - orangpun menjadi takut kepada Menik. Menik begitu memberengut. Menik tidak berbicara kepada siapapun. Warga yang biasa dekat dengan Menik hanya bisa bertanya mengapa Menik bersikap demikian. Wajah Menik nampak sebagai orang yang sedang marah besar. Gudelpun yang dulu pernah sangat akrab dengan Menik tidak berani juga mendekati Menik yang tampak begitu muram durja. Gudel hanya bisa menduga - duga apa yang sebenarnya ada di pikiran Menik. Belum pernah Gudel menyaksikan wajah Menik yang demikian marah. Gudel tidak berani mendekati Menik. Gudel tidak berani menatap mata Menik. Gudel hanya dengan cara melirik saja ketika ingin melihat wajah Menik. Menik yang cantik di mata Gudel berubah menjadi Menik yang angker. Bahkan Gudel melihat di wajah Menik gambaran wajah Nyi Ramang nenek Menik. Katika mata Gudel menyaksikan itu, Gudel tidak lagi - lagi berani melirikan bola matanya ke arah Menik. Gudel begitu merinding. 
Tumi yang biasanya berani dekat dengan Menik tidak bisa berbuat banyak. Tumi juga takut kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak sedikitpun matanya menatap dirinya. Jangankan menatap, melirik dirinya saja tidak. Tumi teringat ketika dulu para perawan termasuk Menik menelanjangi diri di kedung. Bercengkerama saling pegang payudara. Dan saling raba yang ada di bawah pusar. Dan kalau sudah sampai begitu mereka pada tertawa cekikikan. Bahkan adan yang tidak malu - malu mendesah dan ingin miliknya terus diraba. Dan Tumilah perawan yang paling suka nakal. Milik siapa saja digasak tanpa ampun. Tumi tidak segan - segan mencengkeram payudara perawan dan nekat menggigit putingnya. Dan perawan yang menerima perlakuan nakal Tumi ini hanya bisa menjerit - njerit dan timbul tenggelam di air kedung. Tidak jarang pula Tumi menakali teman perawannya dengan menyodokan sabun ke milik teman perawannya. Dan yang diperlakukan begitu hanya bisa teriak - teriak karen Tumi sangat nekat melakukannya. Dan hanya Meniklah yang tidak bisa dinakali Tumi. Selain karena Menik tidak pernah mandi telanjang, juga karena Menik selalu menghindar ketika Tumi datang mau menakalinya. Tetapi satu saat pernah juga Menik kecolongan miliknya bisa diraba Tumi saat dirinya sedang menyabun tubuhnya tiba - tiba Tumi menubruk dirinya dan memasukkan tangannya di kain bawahnya yang sudah melorot. Dan ketika Menik membalas perbuatan Tumi justru Tumi menyediakan miliknya untuk dinakali. Dan Tumi menikmati. Dan Menikpun melayani kesukaan Tumi.
Warga dekat, orang jauh terus berdatangan silih berganti melayat dan menyampaikan rasa bela sungkawa dan juga bermaksud ingin mengerti apa penyebab kematian Kliwon  dengan cara yang tidak wajar. Sampai dengan saat malam doa akan digelar pelayat tidak berhenti berdatangan.

bersambung ..........................










Rabu, 01 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput


Ketujuhpuluhsembilan

Langkah Gudel terhenti sejenak. Dipandanginya onggokkan batu - batu nisan di kuburan. Mata Gudel menebar pandang ke sekeliling. Kuburan tampak bersih terawat. Tumbuhan kemuning tertata rapi, berjenis - jenis kemuning dengan daun yang bentuk berbeda dan warna berbeda. Tetapi semua daun kemuning dihiasi warna kuning yang dominan. Tidak ada rumput liar yang tumbuh di sela - sela batu nisan. Pohon kamboja berbunga putih, ungu, merah, sedang mekar - mekarnya. Bertebaran luruhan bunga kamboja masih terlihat di pagi ini. Wanginya bunga kamboja adalah aroma khas kuburan. Kuburan tampak sangat terpelihara. Rupanya pak Blengur sebagai juru kunci kuburan tidak pernah malas merawat. 
Mata Gudel tertumbuk dengan rumah pak Blengur di tepi kuburan. Rumah kecil dengan taman asri di depan rumah. Pintu masih tertutup rapat. Dipikiran Gudel pak Blengur masih belum terjaga dari tidurnya. Gudel melangkah mendekati rumah pak Blengur dengan melompati batu - batu nisan yang ada. Sampai di depan pintu yang masih tertutup Gudel kaget. Karena mendengar suara rintihan seorang perempuan dari dalam rumah pak Blengur. Rintihan yang setelah oleh Gudel didengar dengan cara menempelkan telinga di pintu, ternyata rintihan seorang perempuan yang mendesah. Gudel surut kebelakang beberapa langkah. Ada apa di rumah pak Blengur. Pagi - pagi begini ada suara desahan perempuan. Gudel maju lagi beberapa langkah dan mencoba menempelkan matanya di celah dinding bambu. Gudel sangat kaget. Dilihatnya dari lubang intipnya, mbok Semi yang telanjang sedang ditindih tubuh pak Blengur yang juga telanjang. Kedua kaki mbok Semi melingkar di pinggul pak Blengur dan terus bergerak - gerak, dan kedua tangannya meremas, menjambak rambut pak Blengur yang gondrong karena jarang di cukur. Sementara itu juga dilihat oleh satu mata Gudel pak Blengur terus menggerakkan pantat naik turun, maju mundur, dengan interval yang pendek dan cepat. Yang terdengar di telinga Gudel bukan lagi rintihan dan desahan dari mbok Semi, melainkan jeritan - jeritan mbok Semi yang nekat dikeluarkan dari mulut tanpa takut - takut dan malu - malu. Barangkali mbok Semi berpikir ini kuburan, tidak mungkin ada seorangpun sepagi ini datang ke kuburan. Sehingga mbok semi nekat dan leluasa menjerit mengekpresikan kenikmatannya ketika terus digenjot pak Blengur. Suara deru napas pak Blengur juga begitu jelas di telanga Gudel. Tak urung itu semua membuat milik Gudel menggeliat dan tiba - tiba kaku. Gudel ingat Tumi. Rasanya Gudel ingin segera meninggalkan kuburan dan rumah pak Blengur berlari pulang dan segera akan memeluk Tumi. Niatnya diurungkan karena ia pagi ini harus bertemu pak Blengur yang mungkin tahu tentang Kliwon. Dan anehnya ada rasa enggan Gudel melepas mata dari lubang intip. Matanya malah diposisi - posisikan agar pandangannya semakin memperoleh ruang. Sejurus kemudian Gudel melihat pak Blengur terkejang dan melenguh keras bak harimau sedang menangkap mangsa. Sedangkan mbok Semi yang ada di bawah tubuh pak Blengur bagai cacing kena panas. Kedua kakinya terjulur kejang, dan bergerak membuat tikar pandan bergeresek keras. Sentakan - sentakan kedua makhluk yang sedang nikmat sampai di puncak ini membuat amben bambu berderak, berderit, dan bergoyang. Tidak lama kemudian mata Gudel menyaksikan keduanya lunglai dan terengah - engah. Gudel surut kebelakang menjauh dari rumah pak Blengur. Gudel bersembunyi di balik batu nisan. Gudel tahu pasti sebentar kemudian mbok semi akan meninggalkan rumah pak Blengur.
Betul apa yang disangkakan Gudel. Tidak lama kemudian mbok Semi keluar dari rumah pak Blengur dan bergegas meninggalkan rumah pak Blengur mengambil jalan setapak di tepi kali. Nampak kain mbok Semi dikenakan dengan tidak rapi. Sambil bergegas berjalan mbok Semi nampak membetulkan kainnya agar terlihat rapi. 
Beberapa saat kemudian Gudel muncul dari persembunyian dan melangkah ke rumah pak Blengur dengan melangkahi batu - batu nisan. Gudel mengetuk pintu. " Sapa ?" Suara dari dalam rumah menyapa. " Aku Gudel kang Blengur !" Gudel menjawab sapaan pak Blengur. " Masuk Del ...!" Pak Blengur minta Gudel membuka pintu. Gudel masuk rumah pak Blengur. Yang terlihat di mata Gudel amben yang berantakan. Tikar pandan melenceng - lenceng dari semestinya. Bantal terletak di sudut. Pak Blengur telanjang dada dan hanya memakai sarung. Celana kolor pak Blengur masih belum sempat dikenakan dan terserak di lantai tanah. Melihat itu semua Gudel hanya bisa tersenyum dalam hati. " Pagi - pagi begini menemui aku ada orang meninggal ya, sapa Del ?" Pak Blengur mengambil celana kolor di lantai tanah dan dikenakan. Lagi - lagi Gudel hanya bisa tersenyum dalam hati. " Dak kang, dak ada orang meninggal, kang." Gudel memberi keterangan. " Lalu ada apa ?" Pak Blengur selesai mengenakan celana kolor duduk diamben dengan bersila. Gudel memposisikan duduk di tepi amben yang tikarnya belum pas dipasang. " Kang Kliwon semalam dari rumah Tumi dak pulang ke rumah, kang. Aku takut terjadi apa - apa pada kang Kliwon. Jangan - jangan kejadian yang menimpa yu Jumprit terjadi pada kang Kliwon. Aku kesini barangkali kang Blengur punya sisik melik, kang." Gudel memberi keterangan. Pak Blengur mengerinyitkan dahi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Diam. Pandangan matanya menerawang. Gudel hanya bisa menunggu apa yang akan diperbuat pak Blengur. Pak Blengur beranjak dari amben, menuju ruang rumah belakang, dan  kembali membawa sepasang serandal. " Ini aku temukan tadi malam sepulang aku nonton ledhek di rumah Tumi, Del ! Ini aku temukan di jalan masuk kuburan. Aku pulang dari pesta pernikahanmu sudah cukup larut, Del." Pak Blengur menunjukkan sepasang sandal kulit. Gudel kaget. Gudel tahu itu sandal Kliwon. Gudel deg - degan. Jantungnya berdegup. Pikiran jangan - jangan terbukti. Mulut Gudel seperti terkunci. Gudel hanya bisa menatap sepasang sandal. Setelah beberapa saat Gudel baru bisa bersuara : " Itu sandal kang Kliwon, kang Blengur. Duh jangan - jangan ... " Kalimat Gudel  berhenti disini. " Ini sandal Kliwon, Del ?" Wajah Pak Blengur menjadi semakin tegang. Di pikiran pak Blengur terbersit apa yang telah dialaminya dulu. Menemukan sepasang sandal yu Jumprit dan berahkir dengan ditemukannya jasad yu Jumprit yang diperdaya orang. Tak urung pak Blengurpun menjadi deg - degan. " Dah gini saja, Del. Kamu pulang. Ajak beberapa perjaka. Nanti kita susuri kali. Duh ... jangan - jangan .... " Pak Blengur berhenti berkata dan pandangan matanya kosong menerawang. Gudel cabut dari duduk dan segera meninggalkan pak Blengur yang bengong.

bersambung ..........................


Selasa, 30 April 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput 


Ketujuhpuluhdelapan

Pagi datang belum sempurna. Udara gunung masih begitu dingin. Desa masih diselimuti kabut. Jarak pandang pendek karena kabut tebal belum bisa dikalahkan oleh matahari yang baru muncul separo dari balik gunung. Wakini berlari ke arah rumah Tumi. Kainnya dicincingkan sebatas paha agar larinya bisa lebih cepat karena tidak terhalang kain yang dikenakan sampai sebatas di bawah lutut. Wakini berlari membawa kecemasannya. Semalam Kliwon suaminya yang jagong di rumah Tumi tidak pulang ke rumah.  Wakini tahu kalau suaminya suka dengan tontonan tayuban ledhek. Maka semalam Wakini pulang ke rumah lebih dahulu meninggalkan Kliwon yang masih akan menunggu tayuban digelar di panggung di halaman rumah Tumi. Sampai di rumah saking penatnya Wakini langsung ambruk dan ketiduran. Wakini terbangun tidak menemukan suaminya di sampingnya. Dicari seisi rumah Kliwon tidak berada. Sudah jadi kebiasaan Kliwon kalau malam harinya terjaga, pagi harinya terlambat bangun. Pak Pedutpun yang semalam juga hadir sebentar di rumah Tumi tidak melihat Kliwon pulang ke rumah. Pak Pedut yang juga ketiduran kaget ketika Wakini menanyakan keberadaan Kliwon. Wakini was - was. Jangan - jangan suaminya ketiduran di rumah Tumi. Tetapi tiddak mungkin, karena itu bukan sifat Kliwon. Kliwon tidak pernah pergi menginap. Pergi jauhpun Kliwon akan berusaha pulang walau sampai di rumah harus larut malam. Ketidak pulangan Kliwon pagi ini membuat Wakini cemas.
Di rumah Tumi sepi. Ada beberapa perjaka yang masih ketiduran di kursi dekat panggung yang semalam digunakan menggelar acara tayub. Tumi langsung menerobos masuk rumah. Celingukan barang kali suaminya ketiduran di rumah Tumi. Tidak ada. Wakini langsung ke dapur. Ada dua perempuan yang sibuk dengan tungku api. Wakini mendekati kamar Tumi.  Mengetuk. Tumi dan Gudel terbangun. Tumi hanya berselimut kain. Gudel bertelanjang dada. Rupanya semalam sehabis berkegiatan Tumi dan Gudel belum sempat mengenakan kainnya masing - masing. Tumi dan Gudel kaget Wakini datang pagi - pagi. " Ada apa yu ? Yu Wakini jangan pagi - pagi dah keseni bantu - bantu. Nanti siang saja, Yu. Dak papa. Kasihan yu Wakini. Ngantuk - ngantuk dah mau bantu kerja beres - beres." Gudel mengucek matanya yang masih merah karena kantuk. " Dak, dik Gudel. Aku mau nanyakan kang Kliwon. Semalam kang Kliwon tidak pulang ke rumah. Mungkin dik Gudel tahu dimana kang Kliwon." Wakini menyampaikan kalimatnya dengan nada cemas. " Aduh Ni, aku dan kang Gudel ya dak tahu. Lha semalam ketika turun dari pelaminan aku dan kang Gudel langsung masuk kamar. Ya baru ini aku dan kang Gudel bangun, Ni." Tumi menjawab dan mata merahnya dibuka - buka untuk menatap Wakini yang cemas. " Dah yu wakini pulang saja dulu. Nanti aku tanyakan ke orang - orang." Gudel meninggalkan Tumi dan Wakini di depan pintu kamar menuju belakang rumah untuk membersihkan badan. " Ya dah Tum. Aku tak pulang dulu. Tolong ya Tum, dik Gudel nanti yang nanyakan Kang Kliwon pada orang - orang." Berkata begitu wakini bergegas meninggalkan Tumi yang menjawab permintaannya : " Ya ... ya Ni, dak usah kawatir." Mata Tumi yang kantuk membuntuti langkah Wakini yang tergesa. 
Gudel membangunkan para perjaka yang ketiduran di kursi dekat panggung. Para perjaka terbangun dan malu.  " Semalam ada yang melihat kang Kliwon ?" Gudel mengansurkan rokok kepada para perjaka yang ogah - ogahan bangun. Seorang perempuan datang membawa bergelas - gelas teh panas. " Ni pada Minum, biar matanya melek." Perempuan ini meletakan teh dan makanan di meja. " Ya tu diminum. Terima kasih ya. Dah pada bantu - bantu aku." Gudel duduk di kursi. Para perjaka tanpa ini itu segera menyaut minuman menyerutupnya dan segera menyulut rokok pemberian Gudel dan tampak sekali menikmati asap rokok yang dikepulkan dari mulut dan hidungnya. " Semalam Kang Kliwon meninggalkan sini tengah malam, kang Gudel." Seorang perjaka memberi keterangan. " Ya betul kang. Tengah malam lebih sedikit." Perjaka yang lain menyambung. " Kang Kliwon cuma duduk - duduk kok kang. Kang Kliwon tidak ikut nyawer ledhek." Perjaka yang lain lagi menyambung. Gudel hanya mengerinyitkan dahi. " Dah pada diminum. Nanti siang tolong ya, bantu diberesi. Bentar lagi pada makan, tu dah dimasakkan soto sama sambel biar kantuknya ilang." berkata  begitu Gudel meninggalkan para perjaka yang menikmati rokok dan teh kental manis.
" Tum kabar dari Yu Wakini tadi yang bilang kang Kliwon semalam tidak pulang ke rumah kok membuat aku jadi deg - degan. Ada apa ya, Tum ?" Gudel membantu Tumi mengenakan kain. Tumi selesai mandi. Di kamar masih telanjang. Gudel mengelus tubuh Tumi dan membantu mengenakan kain di tubuh Tumi. Sempat pula sedetik Gudel mengagumi tubuh Tumi. Dan ingin rasanya memeluknya. Mengapa tubuh istrinya sangat berbeda dengan ketika waktu menjadi pacarnya. Kenapa justru sekarang malah tubuh Tumi begitu muda. Begitu ranum. Semua kencang padat. Payudaranya begitu menggunung kecang padat kenyal seperti milik perawan belasan tahun. Semalam tubuh Tumi yang sekarang telah menjadi isterinya, telah dibuatnya terkejang - kejang, karena tangannya yang terus menggerayangi milik Tumi yang mudah geli. Semalam Tumi telah dibuatnya terpuas - puas. Dibuatnya merintih - rintih nikmat. Dibuat mendesah - desah ketika sampai. Dan dirinya juga sangat menikmati. Karena tubuh Tumi bak tubuh perawan muda yang sangat menyenangkan diraba, diremas, dikilik dan diciumi. Ingin rasanya Gudel melakukan lagi kegiatan seperti semalam. Tetapi pikirannya terganggu oleh adanya berita Kliwon tidak pulang ke rumah.  " Kok aku ya juga kawatir banget dan cemas ya, kang. Perasaanku jadi dak enak. Ada apa ya, kang. Mudah - mudahan dak terjadi apa - apa pada diri kang Kliwon." Wakini berkata jujur kepada Gudel tentang perasaannya. " Dah, kalau gitu aku pamit. Pagi ini aku tak mencari kang Kliwon. Perasaanku dak enak banget, Tum." Gudel berganti kain dan segera meninggalkan Tumi yang masih sibuk mengenakan kain. " Ya kang, bantu Wakini menemukan kang Kliwon. Ah ada - ada saja." Wakini mengiyakan permintaan Gudel. Yang mungkin sudah tidak didengar Gudel karena Gudel bergegas  meninggalkan Tumi di kamar.  
Langkah Gudel dituntun oleh perasaan dan dugaan yang ada dipikirannya. Gudel menuju kuburan yang berada di belakang desa. Tujuan Gudel ingin menemui pak Blengur. Gudel berprasangka jelek. Jangan - jangan Kliwon diperdaya orang. Dulu ketika yu Jumprit mati diperdaya orang pak Blengurlah yang menemukan petunjuk. Dituntun oleh perasaannya yang was - was tidak ada lain pak blengurlah yang menjadi tujuan langkah kaki Gudel. Gudel harap - harap cemas. Gudel berharap pak Blengur tidak menemukan petunjuk seperti ketika yu Jumprit hilang. Kalau pak Blengur ada petunjuk tentang Kliwon, jangan - jangan Kliwon juga diperdaya orang. Dulu yu Jumprit hilang dan ditemukan sudah tidak bernyawa ketika ada keramain di rumah pak Lurah. Kini Kliwon hilang ketika ada keramaian yang memeriahkan malam pernikahannya dengan Tumi. Gudel terus was - was. jantungnya berdegup keras. Dipikirannya hanya ada, jangan - jangan. Jangan - jangan ....

bersambung ................
 

Senin, 29 April 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput 


Ketujuhpuluhtujuh

Kegiatan perhelatan pernikahan Tumi dengan Gudel sampai di puncaknya. Sejak sore tamu - tamu yang berdatangan silih berganti. Kesibukan di rumah Tumi menjadi luar biasa sibuk. Wakini dibantu perawan - perawan desa sangat cekatan melayani tamu - tamu yang datang menyumbang. Para perjaka yang sejak tiga hari sebelum hari puncak hari ini disibukan dengan berbagai persiapan termasuk mendirikan panggung hiburan Ledhek Tayub yang akan digelar, juga masih terus bergiat membantu demi lancarnya perhelatan. Candaria para perawan dan para perjaka menambah suasana ceria dan gembira di rumah Tumi. 
Seiring dengan merangkaknya malam, suara gamelan yang ditabuh mendayu, semakin membuat suasana semarak. Tumi yang didandani bak bidadari membuat kagum orang. Tumi tampak begitu cantik, muda dan bercahaya. Tumi duduk di pelaminan bersama Gudel yang juga didandani ala raja jawa. Tumi dan Gudel bak raja dan ratu yang sedang bertemu dengan rakyatnya. Tumi sangat mengumbar senyum cantiknya ketika menerima salam selamat dari para tamu. Begitu juga Gudel tampak sangat bangga bisa bersanding dengan Tumi yang malam ini kecantikannya mucul dengan sangat bercahaya. 
Juragan Gogor yang duduk di antara para tamu yang lain, menyaksikan kecantikan Tumi menjadi sangat geram. Berkali - kali hanya bisa menatap Tumi sambil menelan ludah. Tumi yang didandani ala perawan jawa dengan model pakaian yang hanya menutup separo dadanya, membuat mata juragan Gogor tidak lepas menatapnya. Khayalan juragan gogor melayang - layang, membayangkan tubuh Tumi dapat dikuasainya. Sesekali juragan Gogor menderakkan giginya tanda jengkel dan marah. Mengapa dirinya tidak mampu menggagalkan pernikahan Tumi. Lain lagi dengan juragan Rase yang tampak nelangsa. Sorot matanya lesu. Mengapa dirinya yang kaya raya ini ternyata tidak bisa memiliki perawan secantik Tumi. Dan yang lebih menyakitkan dirinya ternyata Tumi tetap tidak bisa berpisah dengan Gudel perjaka melarat yang hanya mengandalkan tubuhnya yang besar dan kekar. 
Gamelan terus bertalu - talu. Suara pesinden yang merdu merayu membuat suasana malam menjadi semakin semarak. Tarian - tarian Tradisional di gelar untuk menyemarakkan malam dan menjadi hiburan bagi para tamu. 
Malam semakin merangkak jauh. Tumi dan Gudel sudah tidak lagi ada di pelaminan. Para tamu terutama para perempuan sudah meninggalkan rumah Tumi. Tetap tinggal para lelaki dan para perjaka yang menantikan acara Tayub digelar. Termasuk juragan Gogor dan juragan Rase, masih tetap tinggal. 
Munculnya Ledhek di panggung membuat para perjaka mulai merangsek maju mendekati panggung. Tidak ketinggalan para lelaki juga merangsek maju pindah duduk di kursi yang ditata dekat panggung. Juragan Gogor dan juragan Rase menempati deretan kursi terdepan. Gamelan beritme galak dan centhil mengiringi lenggak - lenggok Ledhek yang gerakkannya sangat mengundang birahi lelaki. Pantat di naik - naikkan dan dimegal - megolkan. Dada yang begitu membusung disodor - sodorkan. Wajah yang dirias menor disedia - sediakan untuk di tumbuk hidung lelaki. Dua orang Ledhek cantik dan bahenol telah berada di atas panggung dengan lenggak - lenggoknya yang menantang. Orang yang paling tidak tahan untuk segera naik kepanggung untuk melakukan saweran terhadap Ledhek adalah juragan Gogor. Dengan gagahnya juragan Gogor menaikki tangga naik ke panggung dan segera berjoget bersama Ledhek. Tepuk tangan meriah dari para perjaka mengiringi awal juragan Gogor berjoget. Mata juragan Gogor tidak lepas dari dada - dada besar Ledhek. Dan tangan juragan Gogor tidak tahan untuk tidak usil. Sambil berjoget juragan Gogor terus menyawer. Uang saweran diselipkan di dada - dada Ledhek. Dan saat itu juga tangan juragan Gogor tidak bisa tidak usil mencolek - colek buah dada Ledhek. Dan Ledhek - Ledhek tidak menolak bahkan menyedia - sediakan dadanya dicolek - colek karena uang sawera juragan Gogor sangat menguntungkan. Para penonton hanya bisa menelan ludah dan ngiler menyaksikan ulah juragan Gogor. Juragan Gogor di panggung bersama Ledhek - Ledhek cantik membuat juragan Gogor melupakan Tumi yang sedari tadi sangat dikagumi dan digerami. 
Juragan Rase yang mentimunnya menggeliat - geliat di dalam celana menyaksikan ulah juragan Gogor terhadap Ledhek, tdak tahan untuk tidak segera naik panggung. Juragan Rase juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan juragan Gogor. Bahkan juraga Rase berani semakin nekat dengan menyenggol - senggolkan mentimun yang kaku di dalam celana ke pantat Ledhek. Dari balik tirai muncul lagi Ledhek cantik muda dan tidak kalah bahenolnya. Di panggung ada tiga ledhek. Seorang perjaka yang selama sebulan mengumpulkan uang agar bisa di panggung dan nyawer Ledhek naik panggung. Sorak sorai menggema. Gamelan semakin galak dan semakin centhil. Ledhek semakin menggoda. Suasana birahi tak terelakkan. Para perjaka yang tidak berduit hanya bisa berada di bawah panggung sambil memegangi mentimunnya yang berontak. 

Di dalam kamar Tumi telah melepasi kainnya. Tumi telah setengah telanjang. Demikian juga Gudel. Gudel kali ini berbeda dengan Gudel yang dulu yang tidak menyukai Tumi. Sejak sembuh dari sakitnya dulu, apalagi sejak tubuh Tumi kembali kemudaannya Gudel yang mengagumi Tumi. Gudel tidak tahan untuk tidak segera memeluk Tubuh Tumi yang muda, padat dan sintal. " Tum aku sayang kamu ... Tum ... " Hanya itu yang diucapkan Gudel. Selebihnya Gudel segera memeluk Tumi, dan mencium bibir Tumi yang masih bergincu merah dengan semangat birahinya. Tangan Gudel dengan tidak sabar melepasi kain yang tersisa di tubuh Tumi. Tumi telanjang. Gudel dengan gemasnya meremas dada Tumi yang sangat padat kenyal dan menggemaskan. Gudel tidak habis pikir mengapa tubuh Tumi begitu ranum. Berbeda ketika dulu - dulu ketika dirinya pernah menggerayangi tubuh Tumi. Tumi hanya bisa menggelinjang dan menikmati keganasan Gudel yang birahinya meledak - ledak. Tumi dan Gudel bergumul saling tindih, saling goyang, dan saling mendesah dan melenguh. Ranjang berderak - derak dan awut - awutan karena cinta kasih mereka sedang beradu dan memuncak. Napas - napas mereka yang menderu, kecipak paha yang saling beradu, jeritan dan lenguhan, tertindih suara gamelan galak yang mengiri lenggoknya Ledhek yang sedang disawer dan dinakali. 

bersambung ...............

 
 

Sabtu, 20 April 2013

Cubung Wulung

                                                                                                  edohaput


Ketujuhpuluhenam

Siang cerah. Di rumah Tumi ramai orang. Mereka sedang mempersiapkan uba rampe tarub untuk perlehatan pernikahan Tumi dengan Gudel. Para perjaka desa sibuk menata halaman, menghias rumah, dan ada juga yang sibuk dengan hewan - hewan yang akan disembelih. Para perawan sibuk di dapur mengepulkan asap dapur. Ada juga yang perawan - perawan yang sibuk membuat hiasan dari janur untuk penghias pelaminan pengantin. 
Wakini menjadi orang yang sangat sibuk. Karena dirinya dimintai tolong oleh Tumi untuk menjadi orang nomor satu  untuk urusan perhelatan  mantu ini. Wakini menjadi orang yang banyak mengatur segela sesuatu yang berhubungan dengan perhelatan. Mulai dari urusan dapur sampai urusan tamu - tamu yang bakal datang menjadi tanggung jawab Wakini. Wakini tiba - tiba menjadi orang penting untuk urusan ngunduh mantunya Tumi.
Para perempuan tetangga jauh tetangga dekat berbodong - bondong berdatangan dengan digendongannya ada tenggok yang berisi bahan mentah untuk disumbangkan ke keluarga Tumi. Bentuk kerukunan saling sumbang di desa masih sangat kental dan menjadi kewajiban warga. Plencing dan Tobil datang menuntun seekor sapi dari juragan Gogor untuk di sumbangkan. Juragan Rase bersama para pembantunya datang menuntun beberapa ekor kambing.Persiapan perehelatan pesta mantu menjadi sangat ramai orang. Celoteh para perawan yang menggoda para perjaka menjadi hiasan suasana tarub di hari cerah yang menyenangkan.
Genjik yang datang ikut tarub menjadi perhatian para perawan. Genjik yang hanya mengenakan kaos pendek tanpak begitu kekar. Tubuhnya yang tinggi tegap berkeringat karena dirinya mendapat pekerjaan angkat - angkat barang dan memotong - motong kayu bakar. Otot - otot lengannya tanpak begitu menonjol. Dada bidangnya yang sedikit terbuka menjadi lirikan para perawan. Genjik yang rambutnya sedikit gondrong tidak tahu kalau dirinya banyak diperhatikan dan dilirik mata para perawan. 
Wuli mendekati Genjik yang sedang mengelap keringat di dahi dengan punggung tangannya. " Kang minta tolong bisa ?" Wuli menatap tajam mata Genjik. " Minta tolong apa ?" Genjik juga menatap mata Wuli yang tinggi tubuhnya hanya sepundaknya. " Tu janurnya kurang. Kang Genjik bisa manjat pohon kelapa ta, kang ?" Wuli menoleh ke arah para perawan yang lagi pada sibuk dengan janur, dan diikuti pandangan mata Genjik yang juga melihat para perawan yang  sedang merangkai janur sebagai hiasan di pelaminan nanti. " Lho itu janurnya masih banyak banget, Wul ?" Genjik melihat tumpukan janur yang memang masih banyak. " Kurang kang itu nanti. Tambah saja beberapa pelepah, kang ! Ya kang ya ... " Wuli berubah menjadi manja di depan Genjik. " Ya ... dah ... ayo !" Genjik membungkuk mengambil parang dan mengikuti langkah Wuli keluar dari kerumunan orang yang sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan Wuli dan Genjik. " Ngambil dimana Wul janurnya ?" Genjik terus melangkah mengikuti langkah Wuli. " Di belakang rumahku saja kang, yang pohonya pendek - pendek." Wuli menjawab tanpa menoleh ke Genjik yang berjalan di belakangnya. 
Beberapa pelapah janur berhasil diambil Genjik dari pohon kelapa. Sementara itu Wuli sibuk di dapur rumahnya menyiapkan minum untuk Genjik. " Kang masuk rumah dulu, kang. Minum !" Wuli berdiri di pintu dapur yang menghubungkan dapur dengan belakang rumah. " Ah dak usah Wul. Aku dak haus." Jawab Genjik pendek sambil menyeret pelepah janur. " Tu ada growol lho kang. Growolnya anget." Wuli ngeyel agar Genjik masuk rumah. Mendengar ada growol Genjik jadi kepingin. Genjik ragu. " Dah ayo ... !" Wuli mendekati Genjik dan menarik tangan Genjik diajak masuk rumah. Genjik tidak bisa menolak. " Lho kok sepi Wul ? Kemama bapak sama mbokmu ?" Genjik memperhatikan dalam rumah yang sepi. " Lho gimana ta kang Genjik ini. Ya simbok dan bapak ada di rumah Tumi ta. Dah duduk, tu diminum ati - ati panas. Growolnya dimakan. Tunggu aku mau mandi dulu." Berkata begitu Wuli berlalu dan menuju tempat mandi di dekat dapur yang hanya ditutup anyaman bambu. Genjik bisa melihat tubuh Wuli yang mulai tidak tertutup kain karena satu - satu dilepasi dari celah - celeh gedhek bambu yang dianyam jarang. Genjik tidak perduli. Hanya sebentar saja melirik. Genjik lebih tertarik growolnya yang dilumati parutan kelapa muda. Genjik malah sibuk makan Growol dan tidak ingat kalau Wuli sudah telanjang dan sebenarnya bisa nampak dari celah gedhek. Suara guyuran air dan kecipak tangan Wuli yang menggosok tubuhnya tidak terdengar oleh Genjik, karena dikalahkan oleh gurihnya growol di mulutnya. 
Wuli selesai mandi. Tubuh telanjangnya hanya dibalut pakai handuk yang cupet. Paha putihnya sangat nampak. Dan payudaranya hanya separo yang tertutup haduk. Wuli duduk duduk di amben di depan Genjik duduk. Genjik kaget karena bisa melihat jelas tubuh Wuli. Duduknya Wuli seenaknya sehingga pahanya terbuka dan Genjik bisa melihat milik Wuli yang rambutnya tipis. " Lho kok malah duduk ta Wul. Dah cepet kainnya dipakai !" Genjik tetap menatap milik Wuli yang sengaja oleh Wuli semakin ditampakkan. " Ah kang Genjik ini. Aku juga mau minum dulu." Wuli semakin berulah. Handuk kendor dan melorot. Payudaranya semakin nampak di mata Genjik. Genjik menelan ludah dan matanya beralih pandang ke buah dada Wuli yang tidak begitu besar tetapi nampak menggunung kencang. " Kang kamu kok dak nikah - nikah ta kang. Takut perawan ya ?" Wuli mulai memancing suasana. " Ah mana ada perawan yang mau sama aku. Bekas pembunuh. Dan pernah berbuat jahat." Genjik menjawab jujur. " Lho itu kan dulu kang. Sekarang kang Genjik kan orang baik." Wuli berulah semakin nekat dari duduknya. Lututnya ditekuk ke atas. Seluruh selangkangan Wuli jelas nampak di mata Genjik. Sekali lagi Genjik menelan ludah. Dan mentimunnya yang di dalam celana menggeliat mendesak bagian depan celananya. " Dah sana cepet pakai kain. Jangan gitu ah, Wul !" Genjik bingung antara sikap Wuli begini dan mengapa Wuli nekat saja di depannya. " Kenapa kang. Kepingin ?" Wuli semakin nekat bicaranya. " Kalau kepingin ya ayo kang ! Aku layani !" Wuli bangkit dari duduk dan menarik tangan Genjik. Seperti kena setrum Genjik hanya manut saja mengikuti tarikan tangan Wuli menuju ke kamar. " Wul ... Wul ... lho ... Wul ...!" Genjik masih bingung. Tetapi di pikirannya juga sudah dipenuhi rasa ingin. 
Wuli ketika melihat Genjik saat memotong - motong kayu dengan kapak tiba - tiba darahnya menjadi mengalir deras. Kekokohan Genjik di mata Wuli menimbulkan rangsangan yang tak terbendung. Wuli mencari akal bagaimana caranya supaya bisa dekat Genjik dan bisa mengajak Genjik. Wuli menemukan cara dan alasan. Janur kurang. Genjik dimintai tolong menambah pelepah daun. Wuli berhasil. 
Di dalam kamar. Handuk wuli terlepas. Wuli telanjang bulat. Tangan wuli tanpa ragu - ragu meraih tangan Genjik dan dibimbing ditempelkan di miliknya. " Jangan Wul. Jangan ... jangan. Kamu masih perawan, Wul. Perawanmu untuk suamimu, Wul." Genjik mengingatkan Wuli di sela - sela napasnya yang tak urung memburu. " Dak kang aku dah dak perawan lagi. Perawanku dah diambil sama juragan Rase." Wuli jujur. Mendengar pengakuan Wuli Genjik kaget. Tetapi kekagetnya hanya berlangsung beberapa detik. Mengetahui Wuli sudah tidak perawan Genjik menjadi tidak lagi merasa kasihan terhadap Wuli. Tangannya yang sudah menempel di milik Wuli segera beraksi. Wuli mendesah. Genjik memeluk Wuli dan otak Genjik sudah dipenuhi birahi. Genjik dengan ganas segera menciumi payudara, bibir, dan leher Wuli. 
Wuli yang sudah lama tidak lagi diundang ke rumah juragan Rase menjadi sangat rindu dan sangat ketagihan. Melihat besar dan berototnya tubuh Genjik wuli menjadi sangat terangsang. Wuli dan Genjik yang telah kesetanan jatuh di amben kamar. Mereka segera bergumul. Dengan kakinya Wuli telah berhasil memelorotkan celana kolor Genjik. Mentimun Genjik mencuat mendongak. Sempat Wuli melihat milik Genjik. Wuli menjadi sangat bernafsu. " Kang ayo kang ... aku dah dak tahan. Kang ... ayo ... !" Wuli mengangkat - angkat pantatnya. Dan membuka kangkangannya lebar - lebar. Genjik segera menempatkan diri. Menempelkan mentimunnya di milik Wuli dan didorongnya kuat. " Aaaaaahhh ... kang ... aahhh ... enak banget, kang !" Wuli kemudian memejamkan mata menikmati mentimun Genjik yang terus menyodok - nyodoknya. 

bersambung ...................