Kamis, 27 Juni 2013

Cubung Wulung

                                                                                                     edohaput


Kedelapanpuluhenam

Pagi sudah sempurna. Matahari sudah tampak sempurna di atas gunung. Hangatnya panas matahari mulai bisa menghapus kabut yang masih menyelimuti desa. Udara masih terasa dingin. Namun hangat matahari sudah bisa dirasakan oleh warga yang bekerja di sawah dan perladangan. Embun masih menempel di dedaunan. Dan berangsur menguap seiring matahari yang mulai bersinar putih, tidak lagi berwarna kuning seperti saat merekah di punggung gunung. 
Di rumah Menik. Plencing dan Tobil bersimpuh dan berkali - kali bersujut dan memegangi kaki Menik yang berdiri terpaku. Wajah Menik nampak sekali kalau sedang marah. Mukanya memerah. Matanya tajam menatap Plencing dan Tobil yang bersimpuh sambil bersujut - sujut memegangi kaki Menik. " Ampun Nik...ampun. Ampuni aku dan kang Tobil. Jangan  hukum kami, Nik. Aku tobat, Nik. Tobat." Kata Plencing sambil bersujut - sujut di kaki Menik. Derai air mata ketakutan Plencing tidak terbendung. Plencing menangis dan berkata terbata - bata. " Nik aku mengaku bersalah. Aku sangat berdosa, Nik. Aku tobat. Ampuni aku, Nik. Ampuni .... Nik." Tobil juga berbuat sama seperti yang dilakukan Plencing. Tobil juga menangis di kaki menik. Tangisan takut tobil bahkan lebih keras dari tangisan Plencing. " Jangan hukum kami, Nik. Jangan siksa kami, Nik. Aku tobat. Nik .... " Plencing terus bersujut - sujut di kaki Menik sambil terus menangis. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut ketika mata mereka menatap mata menik. Mata yang berubah menjadi merah bercahaya. Tobil dan Plencing tidak lagi melihat sosok Menik melainkan yang ada di hadapan mereka adalah sosok Nyi Ramang yang sangat berwibawa dan menakutkan. Yang dilakukan kemudian oleh Tobil dan Plencing bersujut di kaki Menik yang nampak seolah Nyi Ramang. Tobil dan Plencing menjadi semakin takut. Tobil dan Plencing takut kena hukuman dari Menik atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Plencing dan Tobil sangat sadar apa yang telah dilakukannya sangat tidak terampuni. Perbuatannya sangat keji dan tidak akan bisa diterima oleh siapapun. Badan Tobil dan Plencing menjadi semakin gemetar ketika menik masih tetap berdiri terpaku tanpa mau bicara menanggapi permohonan ampun dari Tobil dan Plencing. Tangis penyesalan dan ketakutan Tobil dan Plencing terdengar semakin menjadi. Ahkirnya Menik bicara : " Baiklah kalian aku ampuni !" Belum selesai Menik bicara Tobil dan Plencing bersujut mencium kaki Menik. " Terima kasih, Nik.... terima kasih ... aku diampuni." Plencing bersujut sambil mencium kaki Menik. Demiki juga yang dilakukan Tobil. " Kang Tobil dan Kang Plencing harus meninggalkan desa ini. Silakan mau pergi kemana. Dan jangan menginjakkan kaki lagi di desa ini sebelum anak yang aku kandung ini nanti berumur sepuluh tahun !" Ucap Menik sambil menunjuk perutnya yang membuncitnya sudah begitu besar. " Trima kasih Nik aku dan kang Tobil akan pergi dari desa ini, asal tidak kau hukum yang membuat kami menderita. Terima kasih Nik ... terima kasih." Plencing dan Tobil menyembah - nyembah Menik. " Jika kang Tobil dan kang Plencing melanggar ini, kang Tobil dan kang Plencing akan menderita lumpuh badan !" Menik Memelototi Tobil dan Plencing. " Nik aku tidak akan melanggar apa yang kamu suruhkan ke aku dan kang Tobil, Nik. Aku bersumpah !" Plencing mendongak melihat wajah Menik yang masih tetap kelihatan merah karena marah. " Benar Nik, lebih baik kami pergi dari desa ini daripada kamu beri hukuman. Aku bersumpah tidak akan kembali ke desa ini seperti apa katamu." Tobil juga memberanikan diri melihat wajah Menik. " Nik ... kapan kami harus meninggalkan desa Nik ?" Plencing sudah berani duduk tegak dan memandang wajah Menik. " Sebelum matahari tepat di atas kepala kang Tobil dan kang Plencing, kang Tobil dan kang Plencing harus sudah berada di luar batas desa. Jika tidak kang Tobil dan Kang Plencing akan menderita seperti juragan Rase dan juragan Gogor !" Menik tetap memelototi Tobil dan Plencing yang terus tetap ketakutan. " Kalau begitu aku pamit Nik !" Plencing berdiri dan membungkuk - bungkuk di hadapan Menik. Dan diikuti tindakan serupa oleh Tobil. 
Tobil dan Plencing berlari meninggalkan rumah Menik menuju rumah masing - masing. Tobil dan Plencing sadar hari sudah semakin siang. Jika terlambat pergi dan matahari telah berada di atas kepala mereka takut akan menderita lumpuh. Di rumah masing - masing tobil dan Plencing hanya bisa mengumpulkan beberapa kain dan segera dibungkus dengan taplak meja dan segera berlari menuju gapura desa. Tobil dan Plencing terengah - engah dan mereka bertemu di tapal batas desa. " Kang ayo kita terus berlari sejauh - jauhnya dari desa. Ayo kang ! Aku takut !" Plencing menarik narik tangan Tobil yang masih terengah - engah napasnya tersengal. " Kemana kita Cing ? Sudah kesana ke arah kota ! Ayo kang ... !" Plencing menunjuk jalan ke kota. 
Plencing dan Tobil terus berlari seperti maling dikejar warga. Orang yang melihat kelakuan Tobil dan Plencing hanya bisa bertanya - tanya. Ada apa kedua orang ini. Plencing dan Tobil ingin hari ini harus berada sejauh - jauhnya dari desa. Mereka takut dengan bau asap dupa kemenyan yang dibakar. Setelah benar - benar bau dupa kemenyan yang dibakar tidak lagi tercium di hidung Plencing dan Tobil mereka berhenti berlari. " Kita sudah jauh kang. Dan kang Tobil juga dak baui dupa kemenyang lagi ta kang ?" Tobil mengangguk sambil terus terengah. Rasa haus di kerongkongan begitu terasa. "Cing aku haus banget !" Tobil memandang sekeliling. Tidak ada orang berjualan. Hari sudah sore. Matahari sudah sangat miring ke barat. " Kita turun ke kali itu saja kang. Minum dan mandi !" Plencing melangkah ke kali diikuti Tobil. Tobil dan Plencing langsung membungkuk di pinggir kali dan minum air kali sepuasnya. Tobil dan Plencing mandi air kali. Penat dan haus berangsur hilang. Tetapi laparnya perut tidak ketulungan. Plencing dan Tobil kembali ke jalan. Bingung. Mau kemana. Rasa lapar sangat terasa. " Kemana tujuan kita sekarang Cing ?" Tobil  tampak sangat sangat bingung. " Kemana ya kang ?" Plencing celingukan. " Kita ke rumah di pinggir jalan itu kang. Siapa tahu kita dapat pertolongan. Sebentar lagi malam. Kita harus dapat tumpangan tempat kita tidur." Plencing terus mengawasi rumah di pinggir jalan yang pintunya sedikit terbuka. " Ya sudah ayo kita coba." Tobil langsung menarik tangan Plencing.
Tobil dan Plencing memperoleh pertolongan dari yang empunya rumah yang ternyata bernama Temuni. Temuni seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Temuni hidup sendiri di rumah besar walaupun sederhana. Temuni mengurusn sawah ladang sendiri sepeninggal suaminya. Hari bertambah tahun berganti Temuni semakin tidak mampu mengurusi sawah ladangnya. Gayung bersambut Plencing dan Tobil pengangguran yang sedang bingung bertemu dengan Temuni yang butuh tenaga untuk mengurus sawah ladangnya. 
Tobil sendawa pertanda perutnya kenyang. Plencing dan Tobil mendapat makanan yang cukup untuk mengenyangkan perutnya dari Temuni. Plencing tersenyum lega temannya bisa kenyang. " Jadi dik Tobil dan dik Plencing ini bersedia ta membantu aku mengurus ladang ?" Temuni bertanya lagi kepadaTobil dan Plencing. Tadi sudah beberapa kali pertanyaan ini disampaikan ke Tobil dan Plencing yang juga sudah disanggupi. Temuni segera akrab dengan Tobil dan Plencing. Temuni merasa kasihan terhadap keduanya. Cerita jujur yang disampaikan Plencing kepada Temuni mengapa dirinya sampai pergi dari desa dipercaya Temuni. " Sanggup, yu. Sangat sanggup. Bekerja apa saja aku dan kang Tobil ini akan sanggup dan sangat bersedia asal bisa mendapat tempat berteduh." Plencing meyakinkan Temuni. " Ya sudah kalau begitu. Sekarang sana di Tobil sama dik Plencing tidur. Mau tidur di kamar itu juga boleh. Itu kamar kosong." Temuni minta Tobil dan Plencing istirahat. Temuni tahu kalau kedua tamunya yang cepat diakrapi ini sangat kelelahan. 
Begitu kepala diletakan, Tobil langsung mendengkur. Karena kekenyangan dan capainya membawanya  mudah tidur. Plencing masih duduk sambil merokok. Plencing merenung. Mengingat - ingat sejarah yang bisa membawanya bertemu dengan Temuni. Pikiran Plencing melayang. Yu Temuni janda. Dan dirinya tinggal bersama janda. Apa yang akan terjadi nanti. Yu Temuni walau sudah cukup usia tetapi masih nampak padat tubuhnya. Wajahnya bersih. Kulitnya memang banyak terbakar matahari, tetapi tidak ada kerutan - kerutan. Semua masih nampak kencang. Pikiran nakal Plencing menghinggapi angannya. Dirinya pasti akan memperoleh yang tidak pernah didapatkan di desa. Di desa Plencing hanya sibuk menyiapkan gula - gula buat juragannya. Sekarang Plencing sudah terlepas dari juragannya yang sekarang menderita lumpuh. Plencing berharap dirinya akan mendapatkan kesenangan dengan yu Temuni. Temuni yang masih nampak segar dan padat. 

bersambung .................
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar