Minggu, 19 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                   edohaput

kedelapanpuluhdua

Tepat hari Kamis Wage, dan malam nanti adalah malam Jumat Kliwon. Menik memenuhi janjinya. Menik Pulang ke desa. Hari ini adalah hari keempatpuluh dari saat meninggalnya kakaknya, Kliwon. Kepulangan Menik ke desa tanpa diantar Gono suaminya. Kecuali Gono harus bekerja, juga karena malam Jumat Kliwon nanti Menik mau punya pekerjaan yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak kedatangannya di rumah, Menik sedikitpun tidak menampakkan muka ramah. Banyak memberengut dan nampak garang. Pak Pedut dan Wakini tidak berani bertanya kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak berbicara. Menik langsung berada di dalam kamar mendiang neneknya, Nyi Ramang.
Menjelang sore mendekati malam aroma dupa kemenyan di bakar sangat menusuk hidung. Aroma ini berasal dari dalam kamar mendiang nenek Menik. Dan Menik sedang berada di dalam kamarnya. Aroma dupa kemenyan dibakar membuat kelimpungan Wakini yang sedang hamil muda. Tetapi Wakini tidak bisa berbuat banyak, kecuali diam dan menahan. Begitu juga pak Pedut hanya diam seribu basa. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga apa yang dilakukan Menik di dalam kamar mendiang neneknya. Sebenarnya pak Pedut tidak asing lagi dengan aroma dupa kemenyan yang dibakar. Sejak Nyi Ramang masih hidup pak Pedut selalu mencium aroma ini. Hanya saja aroma ini sudah sangat lama tidak diciumnya. Kini tiba - tiba terhirup kembali oleh lubang hidungnya. Rupanya Menik sedang melakukan ritual yang dulu sering dilakukan Nyi Ramang. Pak Pedut sangat paham, Meniklah yang mendapat warisan dari Nyi Ramang. Nyi Ramang sangat menyayangi Menik. Dirinya dan Kliwon banyak luput dari perhatian Nyi Ramang. Hanya Meniklah yang selalu berada di dekat Nyi Ramang. Tidak mustahil jika sekarang Meniklah yang serba tahu tentang ilmu yang dimiliki Nyi Ramang.
Matahari telah beberapa waktu lenyap di balik gunung. Malam sudah merambati pedesaan. Gelap memenuhi segala sudut dan penjuru desa. Hanya lampu - lampu panjeran yang kerlap - kerlip di setiap rumah warga. Suasana malam Jumat Kliwon begitu sepi. Kekes, dingin dan tidak ada suara tembang. Pada malam Jumat Kliwon orang memilih berada di rumah, diam dan banyak melakukan ritual do'a - do'a. Ketika hari masih siang banyak warga datang ke kuburan untuk bersih - bersih makam leluhur dan menaburkan bunga di atas gundukan kubur leluhur. Sebagian bunga - bunga dibawa pulang dan ditaburkan di panci yang diisi air. Panci diletakkan di meja, atau dimana saja ditempat yang tidak banyak diterangi lampu. Tidak jarang pula warga membakar dupa kemenyan dan diletakkan di dekat panci bunga.
Menjelang tengah malam Menik keluar kamar dan meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pak Pedut dan Wakini yang telah lelap. Menik berjalan menyusuri jalan dan pematang perasawahan menuju kedung tanpa dibantu sedikitpun cahaya obor. Menik sengaja berjalan di kegelapan. Menik hafal jalan. Menik bagai dituntun berjalan cepat tanpa gontai walaupun berjalan di pematang sawah yang cuma selebar tapak kaki. Jika dilihat orang yang tampak aneh adalah mata Menik yang bercahaya dan menerangi jalan setapak di depannya. 
Menik sampai di tepian kedung. Menik tahu kalau sebentar lagi tengah malam segera akan tiba. Menik segera menelanjangi diri. Tanpa sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Menik telanjang bulat. Jika saja hari terang, akan terlihat postur indah tubuh Menik. Pinggang yang ramping, paha dan betis yang panjang, payudara yang tegak menggunung, wajah yang cantik, dan rambut panjang yang terurai, dan milik Menik yang menggunduk ditumbuhi rambut halus. Hanya saja perut Menik sudah tidak lagi rata. Sedikit membuncit karena Menik sedang mengandung anak Gono. " Nyi aku Menik cucumu datang bersama cucu buyutmu yang masih aku kandung. Ijinkan aku mengambil kembali jimat Kecubung Wulung yang pernah aku buang di tengah kedung ini." Menik dengan bersikap sembah mengatupkan telapak tangan di depan dada sambil mengucapkan kalimat ini. Selesai Menik berucap tiba - tiba datang angin bertiup keras menggoyangkan pepohonan di tepian kedung. Menik tahu dengan pertanda ini. Dikatupkannya kedua pelupuk matanya dan disebutnya nama neneknya betrkali - kali. Tidak berapa lama kemudian ... byaaaar .... air kedung bercahaya sangat terang. Menerangi tubuh Menik yang telanjang. Menik ambyur ke tengah kedung dan menenggelamkan dirinya. Beberapa saat kemudian mucul lagi di permukaan air kedung. Tangan kanannya telah menggenggam batu jimat Kecubung Wulung. Menik minggir dan naik ke tepian kedung. Rambut panjangnya basah lengket di tubuh sebagian menutupi payudaranya. Seandainya saja ada orang melihat akan kaget terhadap perubahan yang terjadi di tubuh Menik. Menik berubah menjadi muda kembali. Wajah cantiknya berubah menjadi wajah perawan belasan tahun. Semua lekuk tubuhnya kembali menjadi muda ranum dan indah, kecuali perutnya yang tetap agak membuncit.
Sebelum selesai Menik kembali mengenakan kainnya air kedung telah menjadi gelap. Dan diahkiri oleh tiupan angin kencang yang berlangsung sesaat. Menik berjalan meninggalkan kedung. Jimat Kecubung Wulung telah berada di bundelan ujung kain bajunya. Menik berjalan cepat. Sorot matanya terang menerani jalan setapak yang dilaluinya. Sendainya saja ada orang melihat Menik pasti orang akan mengira Menik sedang sangat marah. Wajah muda cantiknya tetap dihiasi kemuraman. Dan di dada Menik memang sedang berlangsung nada marah. Nada Geram. Yang akan berujung dimana belum diketahui. 

bersambung .......................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar