Rabu, 29 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                edohaput

Kedelapanpuluhtiga

Pak Pedut dan Wakini tidak habis pikir. Sejak berada di rumah, Menik jarang keluar kamar. Dari kamarnya terus mengepul asap dupa kemenyan yang aromanya sampai ke rumah tetangga. Menik keluar kamar jika perlu makan dan minum. Menik sangat jarang berbicara dengan pak Pedut dan Wakini. Sebaliknya pak Pedut dan Wakini tidak berani membuka pembicaraan dengan Menik jika tidak sangat perlu atau jika sedang menawarkan meja makan yang sudah siap. Menik begitu berwibawa. Menik begitu menakutkan. Wajah muda cantik Menik belum menampakkan wajah ceria. Jika menatap, sorot matanya menusuk relung kalbu yang ditatap. Dan kalau itu menimpa pak Pedut dan Wakini, mereka hanya bisa buru - buru menunduk atau mengalihkan pandangan. Kalau Wakini memang tidak begitu tahu, tetapi pak Pedut sangat paham kalau tatapan Menik ini adalah tatapan neneknya Menik, Nyi Ramang. Menik sangat mewarisi sifat - sifat Nyi Ramang. 
Wakini dan pak Pedut tidak tahu mengapa Menik pulang dari kota dan kembali tinggal di desa. Dan sejak kembalinya dari kota Menik terus tidak pernah menampakkan wajah sukanya. Menik selalu muram. Hal ini membuat pak Pedut dan wakini menjadi kikuk. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga. Yang ada di pikiran pak Pedut, Menik muram karena kematian Kliwon yang dinilai tidak wajar. Kematian Kliwon yang tiba - tiba dan seperti adanya rekayasa dari orang yang menjahati Kliwon. Menik tidak menerimakan kematian Kliwon kakaknya. Menik sedang berusaha mengetahui mengapa kakaknya meninggal dengan cara demikian. Di pikirannya pak Pedut setengah memastikan, bahwa kemuraman Menik adalah karena meninggalnya Kliwon.
Malam telah bergeser semakin jauh. Udara dingin mulai terasa menusuk - nusuk tulang. Ditambah dengan semilirnya angin gunung yang mampu menerobos celah - celah dinding bambu semakin membuat dinginnya malam. Di kamar wakini pak Pedut sedang mengelus - elus perut Wakini yang semakin membuncit. " Ni ini anakku apa anak Kliwon ya, Ni ?"  Pak Pedut mengelus perut Wakini dan yang setengah telanjang. Karena kain bawah telah lepas dari tubuh Wakini. " Seingatku ini anak bapak. Rasanya Kang Kliwon belum pernah memasukkan ke dalam milikku ini, pak." Wakini menjawab sambil memegangi tangan pak Pedut dan dituntun ke arah miliknya. Tangan pak Pedut yang menyentuh milik Wakini dan merasakan hangat dan sedikit membasah, membuat mentimun pak Pedut kontan bangun. " Ya dah Ni, itu dak perlu dipikirkan kalau ini anak Kliwon ya tetap cucuku, kalau ini anakku berarti adiknya Kliwon." Berkata begitu pak Pedut sambil menekankan telapak tangannya di milik Wakini. Dan membuat Wakini merasakan enak di miliknya. " Pak ... aahh.. !" Wakini mendesah tertahan takut suaranya didengar Menik. Walaupun Wakini telah memperoleh ijin dari Menik untuk mendampingi pak Pedut, tetapi Wakini juga tetap harus menjaga situasi agar tidak semata nekat. Pak Pedut melucuti sarung dan celana kolornya. Melihat keindahan tubuh Wakini pak Pedut memang selalu tidak tahan untuk berlama - lama menahan keinginan. Pak Pedut menempatkan diri di atas tubuh wakini. Dan Wakini siap menerima perlakuan pak Pedut. " Tapi jangan keras - keras pak. Takut didengar Menik, pak. Pelan - pelan saja genjotannya." Bisik Wakini di telinga pak Pedut. " Ni ... " Pak pedut pelahan menyodokkan mentimunnya di milik wakini dan amblas. Keduanya menikmatinya dan tanpa ada kegaduhan seperti biasanya. 
Seiring dengan berjalannya malam, aroma asap dupa kemenyan yang berasal dari kamarnya Menik semakin menusuk hidung. Apa yang dilakukan Menik di dalam kamar tidak ada yang tahu. Juga pak Pedut dan Wakini yang lagi asyik menikmati hubungan sama sekali tidak perduli dengan Menik. Menik sedang melakukan apa pak Pedut dan Wakini tidak mau tahu. 
Di dalam kamar Menik telanjang duduk bersila. Di depan duduknya ada anglo bara api tempat membakar dupa kemenyan dengan asap yang semakin tebal mengepul. Di tangan kanan jimat Kecubung Wulung digenggamannya. Genggaman tangan diposisikan di atas tungku anglo. Mulut Menik berkomat - kamit tidak jelas apa yang sedang diucapkannya. Hanya kata - kata kamu yang diucapkan Menik dengan jelas dan geram. " Kamu .... !!" Genggaman jimat ada di atas anglo tungku. " Kamu ... !! Kamu ... Kamu ... !! " Mata Menik terpejam tetapi mulutnya sangat geram mengucapkan kata - kata kamu. Setelah berbuat demikian tiba - tiba Menik berdiri. Seandainya saja ada orang yang melihat Menik, pasti akan berdecak kagum melihat keindahan tubuh Menik. Tubuh yang kembali muda. Wajah yang sangat cantik. Dan semua lekuk tubuhnya begitu membentuk. " Rasakan ... !! ....Rasakan .... Rasakan.... !! ...Rasakan .... !!" Menik melototkan matanya dan tangannya yang menggenggam jimat Kecubung Wulung ditinjukan ke segela penjuru arah. Seiring dengan apa yang diperbuat Menik, tiba - tiba ada pusaran angin yang bergerak di dalam rumah. Barang - barang yang ringan di dalam rumah tersambar angin dan berjatuhan menimbulkan suara gaduh. 
Pak Pedut dan Wakini yang sebentar lagi akan segera sampai di kenikmatan puncak terkejut dengan kegaduhan yang terjadi di rumah. Pak Pedut segera mencopot mentimun dari milik wakini dan segera mengenakan kain lari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi. Wakini yang kecewa juga segera menyelimuti diri dengan kain jarik dan keluar kamar. Pusaran angin masih berpusing di dalam rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya melongo dan takut. Aroma dupa kemenyan semakin menyengat. Pusaran angin semakin kuat dan tiba - tiba ada suara berderak. Pintu dan jendela rumah terbuka, dan pusaran angin menerobos keluar rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya bisa melongo. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. 

bersambung .............................



 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar