Sabtu, 11 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                 edohaput


Kedelapanpuluh

Gudel, pak Blengur dan beberapa perjaka desa menyusur kali. Perjalanan menyusur kali dimulai dari pinggir kuburan. Berjalan ke arah utara menuju hutan. Semakin jauh melangkah semakin sulit jalan ditempuh karena banyak terhalang semak gerumbul yang lebat tumbuh liar. Gudel menemukan tanda - tanda telapak kaki yang merusak rumput liar. " Kang Blengur bukankah rumput - rumput ini ambruk karena terinjak kaki ?" Gudel berhenti melangkah. Semua melihat rumputan yang tidak lagi pada posisi semestinya. Sangat jelas kalau rumputan itu terinjak - injak kaki oleh lebih dari dua orang. Mata Gudel mengamati. " Kang, langkah itu turun ke kali, kesana kang. Itu lihat, lumut - lumut di batu itu terkelupas !" Teriak salah satu perjaka sambil menunjuk - nunjuk ke arah bebatuan berlumut di kali. Tidak lagi berkata - kata Gudel, pak Blengur diikuti para perjaka segera turun ke kali mengikuti bekas telapak kaki. Guguran daun dan ranting patah yang terserak menghentikan langkah Gudel, pak Blengur dan para perjaka. Mereka dengan sengaja mendongakkan wajah mencari dari mana guguran daun dan ranting patah berasal. Mereka terkesiap, terpekik, dan surut mundur beberapa langkah. Jantung berdegup keras, mata seolah tidak percaya, Kliwon tergantung di sebuah dahan pohon dengan leher terjerat seutas tali, tali yang biasanya oleh warga digunakan untuk menambat kerbau. 
Geger desa tidak terelakkan. Warga yang mendengar kejadian yang menimpa Kliwon segera berbodong menuju rumah Kliwon, terutama para perempuannya. Banyak juga warga terutama para perjaka dan para lelaki berlarian menuju kali. Mereka ingin melihat dan akan mengusung jasad Kliwon untuk dibawa pulang ke rumah.
Hari yang cerah sumringah, yang malamnya digelar keramaian di rumah Tumi, berubah menjadi hari yang kelam. Hari yang kelabu. Hari yang haru biru. Hari yang geger.  Hari yang penuh tangisan. Warga sangat menyesali kejadian yang menimpa Kliwon. Warga hanya bisa bertanya - tanya. Mengapa Kliwon yang telah banyak menolong orang tiba - tiba tertimpa kejadian yang membuatnya meninggal dunia. Mengapa kliwon yang santun dan tidak suka banyak bicara tiba - tiba jasadnya tergantung di dahan pohon di kali. Kliwon bunuh diri ? Tidak. Karena telah ditemukan di dekat jasad Kliwon tergantung, telapak - telapak kaki orang yang lebih dari dua orang. Kliwon pasti diperdaya orang. Tetapi siapan orang yang tega memperdaya Kliwon ? Warga hanya bisa mengait - ngaitkan kematian Kliwon dengan kematian yu Jumprit. Mengapa orang yang justru telah banyak berbuat baik dicedarai. Ada apa di desa ini. Mengapa demikian. 
Menjelang sore dengan diantar ratusan pelayat dari warga desa dan para warga desa tetangga jenasah Kliwon dikuburkan di kuburan belakang desa. Pak Blengur dan para perjaka desa menutup liang lahat yang di dalamnya ada jasad Kliwon, menjelang matahari tenggelam. Pak Blengur bekerja dengan tidak banyak bicara. Dipikirannya sangat menyesalkan kejadian yang menimpa Kliwon. Tidak seharusnya ada orang yang tega berbuat demikian.
Tumi dan Gudel pengantin baru menjadi orang yang kemudian sangat sibuk membantu keluarga pak Pedut. Tamu pelayat yang harus disuguh gupuhi, dan diterima sebagaimana mestinya menjadi pekerjaan Tumi dan Gudel.  Wakini hanya bisa terus menangis. Menangisi suaminya yang tidak dinyana dan tidak disangka secepat ini meninggalkan dirinya. Pak Pedut hanya bisa duduk, tercenung, dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. 
Sejak kedatangannya dari kota saat jasad Kliwon belum dibawa ke kuburan Menik mengunci mulut. Tidak satupun sapaan dijawabnya. Tidak satupun pertanyaan warga dijawab Menik. Menik cemberut. Menik tidak menampakkan wajah cerah sedikitpun. Orang - orangpun menjadi takut kepada Menik. Menik begitu memberengut. Menik tidak berbicara kepada siapapun. Warga yang biasa dekat dengan Menik hanya bisa bertanya mengapa Menik bersikap demikian. Wajah Menik nampak sebagai orang yang sedang marah besar. Gudelpun yang dulu pernah sangat akrab dengan Menik tidak berani juga mendekati Menik yang tampak begitu muram durja. Gudel hanya bisa menduga - duga apa yang sebenarnya ada di pikiran Menik. Belum pernah Gudel menyaksikan wajah Menik yang demikian marah. Gudel tidak berani mendekati Menik. Gudel tidak berani menatap mata Menik. Gudel hanya dengan cara melirik saja ketika ingin melihat wajah Menik. Menik yang cantik di mata Gudel berubah menjadi Menik yang angker. Bahkan Gudel melihat di wajah Menik gambaran wajah Nyi Ramang nenek Menik. Katika mata Gudel menyaksikan itu, Gudel tidak lagi - lagi berani melirikan bola matanya ke arah Menik. Gudel begitu merinding. 
Tumi yang biasanya berani dekat dengan Menik tidak bisa berbuat banyak. Tumi juga takut kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak sedikitpun matanya menatap dirinya. Jangankan menatap, melirik dirinya saja tidak. Tumi teringat ketika dulu para perawan termasuk Menik menelanjangi diri di kedung. Bercengkerama saling pegang payudara. Dan saling raba yang ada di bawah pusar. Dan kalau sudah sampai begitu mereka pada tertawa cekikikan. Bahkan adan yang tidak malu - malu mendesah dan ingin miliknya terus diraba. Dan Tumilah perawan yang paling suka nakal. Milik siapa saja digasak tanpa ampun. Tumi tidak segan - segan mencengkeram payudara perawan dan nekat menggigit putingnya. Dan perawan yang menerima perlakuan nakal Tumi ini hanya bisa menjerit - njerit dan timbul tenggelam di air kedung. Tidak jarang pula Tumi menakali teman perawannya dengan menyodokan sabun ke milik teman perawannya. Dan yang diperlakukan begitu hanya bisa teriak - teriak karen Tumi sangat nekat melakukannya. Dan hanya Meniklah yang tidak bisa dinakali Tumi. Selain karena Menik tidak pernah mandi telanjang, juga karena Menik selalu menghindar ketika Tumi datang mau menakalinya. Tetapi satu saat pernah juga Menik kecolongan miliknya bisa diraba Tumi saat dirinya sedang menyabun tubuhnya tiba - tiba Tumi menubruk dirinya dan memasukkan tangannya di kain bawahnya yang sudah melorot. Dan ketika Menik membalas perbuatan Tumi justru Tumi menyediakan miliknya untuk dinakali. Dan Tumi menikmati. Dan Menikpun melayani kesukaan Tumi.
Warga dekat, orang jauh terus berdatangan silih berganti melayat dan menyampaikan rasa bela sungkawa dan juga bermaksud ingin mengerti apa penyebab kematian Kliwon  dengan cara yang tidak wajar. Sampai dengan saat malam doa akan digelar pelayat tidak berhenti berdatangan.

bersambung ..........................










Tidak ada komentar:

Posting Komentar