Sabtu, 20 April 2013

Cubung Wulung

                                                                                                  edohaput


Ketujuhpuluhenam

Siang cerah. Di rumah Tumi ramai orang. Mereka sedang mempersiapkan uba rampe tarub untuk perlehatan pernikahan Tumi dengan Gudel. Para perjaka desa sibuk menata halaman, menghias rumah, dan ada juga yang sibuk dengan hewan - hewan yang akan disembelih. Para perawan sibuk di dapur mengepulkan asap dapur. Ada juga yang perawan - perawan yang sibuk membuat hiasan dari janur untuk penghias pelaminan pengantin. 
Wakini menjadi orang yang sangat sibuk. Karena dirinya dimintai tolong oleh Tumi untuk menjadi orang nomor satu  untuk urusan perhelatan  mantu ini. Wakini menjadi orang yang banyak mengatur segela sesuatu yang berhubungan dengan perhelatan. Mulai dari urusan dapur sampai urusan tamu - tamu yang bakal datang menjadi tanggung jawab Wakini. Wakini tiba - tiba menjadi orang penting untuk urusan ngunduh mantunya Tumi.
Para perempuan tetangga jauh tetangga dekat berbodong - bondong berdatangan dengan digendongannya ada tenggok yang berisi bahan mentah untuk disumbangkan ke keluarga Tumi. Bentuk kerukunan saling sumbang di desa masih sangat kental dan menjadi kewajiban warga. Plencing dan Tobil datang menuntun seekor sapi dari juragan Gogor untuk di sumbangkan. Juragan Rase bersama para pembantunya datang menuntun beberapa ekor kambing.Persiapan perehelatan pesta mantu menjadi sangat ramai orang. Celoteh para perawan yang menggoda para perjaka menjadi hiasan suasana tarub di hari cerah yang menyenangkan.
Genjik yang datang ikut tarub menjadi perhatian para perawan. Genjik yang hanya mengenakan kaos pendek tanpak begitu kekar. Tubuhnya yang tinggi tegap berkeringat karena dirinya mendapat pekerjaan angkat - angkat barang dan memotong - motong kayu bakar. Otot - otot lengannya tanpak begitu menonjol. Dada bidangnya yang sedikit terbuka menjadi lirikan para perawan. Genjik yang rambutnya sedikit gondrong tidak tahu kalau dirinya banyak diperhatikan dan dilirik mata para perawan. 
Wuli mendekati Genjik yang sedang mengelap keringat di dahi dengan punggung tangannya. " Kang minta tolong bisa ?" Wuli menatap tajam mata Genjik. " Minta tolong apa ?" Genjik juga menatap mata Wuli yang tinggi tubuhnya hanya sepundaknya. " Tu janurnya kurang. Kang Genjik bisa manjat pohon kelapa ta, kang ?" Wuli menoleh ke arah para perawan yang lagi pada sibuk dengan janur, dan diikuti pandangan mata Genjik yang juga melihat para perawan yang  sedang merangkai janur sebagai hiasan di pelaminan nanti. " Lho itu janurnya masih banyak banget, Wul ?" Genjik melihat tumpukan janur yang memang masih banyak. " Kurang kang itu nanti. Tambah saja beberapa pelepah, kang ! Ya kang ya ... " Wuli berubah menjadi manja di depan Genjik. " Ya ... dah ... ayo !" Genjik membungkuk mengambil parang dan mengikuti langkah Wuli keluar dari kerumunan orang yang sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan Wuli dan Genjik. " Ngambil dimana Wul janurnya ?" Genjik terus melangkah mengikuti langkah Wuli. " Di belakang rumahku saja kang, yang pohonya pendek - pendek." Wuli menjawab tanpa menoleh ke Genjik yang berjalan di belakangnya. 
Beberapa pelapah janur berhasil diambil Genjik dari pohon kelapa. Sementara itu Wuli sibuk di dapur rumahnya menyiapkan minum untuk Genjik. " Kang masuk rumah dulu, kang. Minum !" Wuli berdiri di pintu dapur yang menghubungkan dapur dengan belakang rumah. " Ah dak usah Wul. Aku dak haus." Jawab Genjik pendek sambil menyeret pelepah janur. " Tu ada growol lho kang. Growolnya anget." Wuli ngeyel agar Genjik masuk rumah. Mendengar ada growol Genjik jadi kepingin. Genjik ragu. " Dah ayo ... !" Wuli mendekati Genjik dan menarik tangan Genjik diajak masuk rumah. Genjik tidak bisa menolak. " Lho kok sepi Wul ? Kemama bapak sama mbokmu ?" Genjik memperhatikan dalam rumah yang sepi. " Lho gimana ta kang Genjik ini. Ya simbok dan bapak ada di rumah Tumi ta. Dah duduk, tu diminum ati - ati panas. Growolnya dimakan. Tunggu aku mau mandi dulu." Berkata begitu Wuli berlalu dan menuju tempat mandi di dekat dapur yang hanya ditutup anyaman bambu. Genjik bisa melihat tubuh Wuli yang mulai tidak tertutup kain karena satu - satu dilepasi dari celah - celeh gedhek bambu yang dianyam jarang. Genjik tidak perduli. Hanya sebentar saja melirik. Genjik lebih tertarik growolnya yang dilumati parutan kelapa muda. Genjik malah sibuk makan Growol dan tidak ingat kalau Wuli sudah telanjang dan sebenarnya bisa nampak dari celah gedhek. Suara guyuran air dan kecipak tangan Wuli yang menggosok tubuhnya tidak terdengar oleh Genjik, karena dikalahkan oleh gurihnya growol di mulutnya. 
Wuli selesai mandi. Tubuh telanjangnya hanya dibalut pakai handuk yang cupet. Paha putihnya sangat nampak. Dan payudaranya hanya separo yang tertutup haduk. Wuli duduk duduk di amben di depan Genjik duduk. Genjik kaget karena bisa melihat jelas tubuh Wuli. Duduknya Wuli seenaknya sehingga pahanya terbuka dan Genjik bisa melihat milik Wuli yang rambutnya tipis. " Lho kok malah duduk ta Wul. Dah cepet kainnya dipakai !" Genjik tetap menatap milik Wuli yang sengaja oleh Wuli semakin ditampakkan. " Ah kang Genjik ini. Aku juga mau minum dulu." Wuli semakin berulah. Handuk kendor dan melorot. Payudaranya semakin nampak di mata Genjik. Genjik menelan ludah dan matanya beralih pandang ke buah dada Wuli yang tidak begitu besar tetapi nampak menggunung kencang. " Kang kamu kok dak nikah - nikah ta kang. Takut perawan ya ?" Wuli mulai memancing suasana. " Ah mana ada perawan yang mau sama aku. Bekas pembunuh. Dan pernah berbuat jahat." Genjik menjawab jujur. " Lho itu kan dulu kang. Sekarang kang Genjik kan orang baik." Wuli berulah semakin nekat dari duduknya. Lututnya ditekuk ke atas. Seluruh selangkangan Wuli jelas nampak di mata Genjik. Sekali lagi Genjik menelan ludah. Dan mentimunnya yang di dalam celana menggeliat mendesak bagian depan celananya. " Dah sana cepet pakai kain. Jangan gitu ah, Wul !" Genjik bingung antara sikap Wuli begini dan mengapa Wuli nekat saja di depannya. " Kenapa kang. Kepingin ?" Wuli semakin nekat bicaranya. " Kalau kepingin ya ayo kang ! Aku layani !" Wuli bangkit dari duduk dan menarik tangan Genjik. Seperti kena setrum Genjik hanya manut saja mengikuti tarikan tangan Wuli menuju ke kamar. " Wul ... Wul ... lho ... Wul ...!" Genjik masih bingung. Tetapi di pikirannya juga sudah dipenuhi rasa ingin. 
Wuli ketika melihat Genjik saat memotong - motong kayu dengan kapak tiba - tiba darahnya menjadi mengalir deras. Kekokohan Genjik di mata Wuli menimbulkan rangsangan yang tak terbendung. Wuli mencari akal bagaimana caranya supaya bisa dekat Genjik dan bisa mengajak Genjik. Wuli menemukan cara dan alasan. Janur kurang. Genjik dimintai tolong menambah pelepah daun. Wuli berhasil. 
Di dalam kamar. Handuk wuli terlepas. Wuli telanjang bulat. Tangan wuli tanpa ragu - ragu meraih tangan Genjik dan dibimbing ditempelkan di miliknya. " Jangan Wul. Jangan ... jangan. Kamu masih perawan, Wul. Perawanmu untuk suamimu, Wul." Genjik mengingatkan Wuli di sela - sela napasnya yang tak urung memburu. " Dak kang aku dah dak perawan lagi. Perawanku dah diambil sama juragan Rase." Wuli jujur. Mendengar pengakuan Wuli Genjik kaget. Tetapi kekagetnya hanya berlangsung beberapa detik. Mengetahui Wuli sudah tidak perawan Genjik menjadi tidak lagi merasa kasihan terhadap Wuli. Tangannya yang sudah menempel di milik Wuli segera beraksi. Wuli mendesah. Genjik memeluk Wuli dan otak Genjik sudah dipenuhi birahi. Genjik dengan ganas segera menciumi payudara, bibir, dan leher Wuli. 
Wuli yang sudah lama tidak lagi diundang ke rumah juragan Rase menjadi sangat rindu dan sangat ketagihan. Melihat besar dan berototnya tubuh Genjik wuli menjadi sangat terangsang. Wuli dan Genjik yang telah kesetanan jatuh di amben kamar. Mereka segera bergumul. Dengan kakinya Wuli telah berhasil memelorotkan celana kolor Genjik. Mentimun Genjik mencuat mendongak. Sempat Wuli melihat milik Genjik. Wuli menjadi sangat bernafsu. " Kang ayo kang ... aku dah dak tahan. Kang ... ayo ... !" Wuli mengangkat - angkat pantatnya. Dan membuka kangkangannya lebar - lebar. Genjik segera menempatkan diri. Menempelkan mentimunnya di milik Wuli dan didorongnya kuat. " Aaaaaahhh ... kang ... aahhh ... enak banget, kang !" Wuli kemudian memejamkan mata menikmati mentimun Genjik yang terus menyodok - nyodoknya. 

bersambung ...................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar