Senin, 18 Februari 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                edohaput 


Keenampuluh

Kabar tentang kesembuhan Gudel dari sakitnya cepat menyebar. Setiap ada warga bergerombol ngobrol, topik pembicaraan yang terdengar adalah kesembuhan Gudel. Dan yang paling menjadi topik hangat adalah kesembuhan Gudel ini adalah berkat pertolongan Kliwon. Warga sungguh kaget dan hampir - hampir tidak percaya Kliwon bisa berbuat layaknya mendiang neneknya. Bisa berbuat seperti mendiang yu Jumprit. Yang bisa menyembuhkan orang dari sakitnya seketika. Dari mulut Tumilah kabar kesembuhan Gudel dan kebisaan Kliwon ini menjadi cepat menyebar. Dengan mata kepalanya sendiri Tumi menyaksikan bagaimana Kliwon memaksa Gudel meminum air. Tumi juga melihat dengan sangat kaget ketika Kliwon mengguyurkan air di tubuh Gudel, dan seperti orang yang tidak sedang sakit Gudel langsung bangun dan minta diberi makan. Dan yang paling membuat Tumi terheran - heran dan sangat senang adalah karena sejak Kliwon menyembuhkannya, Gudel tidak lagi teringat Menik. Gudel telah benar - benar melupakan Menik. Perhatian Gudel hanya tertuju pada Tumi. Mulut Gudel yang ketika sakit selalu komat - kamit menyebut nama Menik, sekarang tidak lagi. Tumi sangat senang. Tumi sangat bangga. Dirinya telah menjadi perawan satu - satunya yang disukai Gudel. 
Berkembang di benak warga kini jimat Kecubung Wulung telah berpindah lagi ke tangan Kliwon. Dulu jimat di tangan Nyi Ramang. Kemudian di tangan yu Jumprit. Yu Jumprit mati secara mengenaskan dan belum pernah diketahui siapa yang memperdaya yu Jumprit. Kini jimat di tangan Kliwon. Warga mulai menduga. Kliwon memegangi jimat karena diperoleh dengan cara membunuh yu Jumprit. Warga menjadi sangat gembira karena jimat sudah berada di tempatnya lagi, dan mereka tidak akan menemui kesulitan jika satu saat ada yang menderita sakit. Dibalik itu warga juga menganggap Kliwon sebagai orang yang kejam. Karena telah tega membunuh yu Jumprit demi mengembalikan jimat ke tangan yang tepat. Di mata warga, Kliwon berada di antara sebagai orang yang sangat berguna dan sebagai orang yang sangat menjijikan. Warga tidak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi. 
Rumah pak Pedut kembali menjadi ramai. Banyak orang datang meminta pertolongan. Kliwon melaksanakan sumpahnya. Sisa hidupnya akan diabdikan untuk orang lain. Untuk sesama. Desa kembali semarak. Warga berangsur melupakan kematian yu Jumprit. Kliwon menjadi orang yang sangat dibutuhkan. 

Malam gerimis. Kabut tebal menyelimuti desa. Tumi yang sejak sore mengamati rumah pak Pedut, melihat suasana desa dan jalanan sangat sepi, segera membungkus tubuhnya dengan kain sarung setengah berlari menerobos tebalnya kabut. Tumi sangat senang, lampu minyak ruangan tamu rumah pak pedut telah dipadamkan. Itu berarti sudah tidak ada lagi tamu yang datang minta ditolong Kliwon. Tanpa ragu - ragu lagi Tumi segera mendekati pintu dapur dan segera mengetuk. Tumi tahu kebiasaan Kliwon sejak banyak orang meminta tolong, jarang tidur sore - sore. Kliwon banyak terjaga sampai malam. Tumi juga tahu kalau Kliwon pada malam - malam terjaganya, Kliwon banyak berada di dapur untuk menjerang air atau sekedar menghangatkan tubuh di dekat tungku api. " Siapa ... ?" Benar juga dugaan Tumi. Kliwon masih terjaga di dapur. " Aku kang, aku Tumi !" Tumi menjawab keras namun ditahan agar tidak didengar tetangga. Tumi memperoleh pintu dan segera melepas kain sarung yang membungkus dirinya dan segera duduk di amben dapur. " Ada apa Tum, sakit ?" Sapa Kliwon pendek. " Dak kang, aku dak sakit." Tumi membuka bungkusan daun pisang. " Ini lho kang aku membuat kue tawonan. Sengaja aku buat untuk kang Kliwon. Gurih banget lho kang. Gulanya sengaja aku pakai gula aren biar enaknya legit banget." Bungkusan daun pisang terbuka dan kue tawonan terlihat di mata Kliwon. Kliwon menelan ludah. Karena kue tawonan adalah kue kesukaannya. " Ah kamu ini repot - repot saja, Tum." Kliwon basa - basi dan segera menuang teh panas dan membawanya ke amben. " Minum, Tum. Biar badan anget." Kliwon menyodorkan gelas berisi teh manis panas. " Kebetulan ini baru saja aku buat. Nih ... minum !" Kliwon juga segera duduk di amben. " Yang benar ada apa Tum, malam - malam datang." Kliwon memasukkan kue tawonan ke mulut. " Ada perlu kang. Masak dak ada perlu aku datang malam - malam gini." Tumi menyerutup teh panas . Bibirnya yang tersentuh gelas pelan - pelan menyerutup teh dan menimbulkan bunyi. " Penting ?" Kliwon juga menyerutup teh untuk mendorong kue tawonan yang ada di mulut agar mudah ditelan. " Penting ya penting, dak ya dak kang. Tapi bagi aku ya penting kang." Tumi memperbaiki posisi duduknya, agar seluruh pantatnya berada di amben. " Lho kok ... ?" Kalimat Kliwon terputus karena kue tawonan hampir saja membuatnya tersedak. " Iya kang bagiku kedatanganku ini penting, tapi mungkin dak penting bagi kang Kliwon." Tumi berhenti bicara karena kembali bibirnya disentuhkan gelas teh. " Gini kang. Karena kang Kliwon sudah menyembuhkan kang Gudel, dan kang Gudel juga sudah tidak lagi teringat Menik, aku sangat gembira. Dan malam ini aku sengaja datang dan memilih malam yang sepi, untuk berterima kasih kepada kang Kliwon.  Kang malam ini aku ingin menyerahkan tubuh ini untuk kang Kliwon sebagai ucapan terima kasih, kang." Tumi tanpa ragu - ragu dan nekat menggeser duduknya dan menempel di bahu Kliwon. Kliwon kaget. Kaget dengan ucapan Tumi dan juga kaget karena Tumi tiba - tiba menempel di bahunya. Hidung Kliwon menghirup wanginya melati dari rambut Tumi. Belum hilang dari kagetnya yang pertama, Kliwon sudah lagi dikagetkan oleh tangannya yang ditarik Tumi dan kemudian tahu - tahu sudah menempel di dada Tumi. " Kang ... " Tumi nenekankan tangan Kliwon di dadanya. Kliwon marasakan tonjolan dada Tumi yang hanya dilapisi kain tipis dan tidak dikutangi. Tangan Kliwon di dada Tumi tidak bereaksi. Kliwon malah tiba - tiba gemetar. Jantung deg - degan keras. Pikirannya kacau, dan hilang kesadaran. 
Kliwon perjaka penakut. Perjaka yang tidak pernah bergaul dengan perawan. Perjaka yang tidak berani menatap perawan. Perjaka yang tidak berolok - olok jika bertemu perawan. Perjaka yang punya keinginan tetapi tidak pernah berani mengutarakan. Perjaka yang hanya bisa berangan - angan, dan sangat tidak percaya diri untuk mewujudkannya. Perawan Wakini yang ada dipikirannya pun tidak pernah didekatinya. Karena takut. Sebenarnya Kliwon adalah perjaka normal. Hanya saja hatinya ciut ketika berhadapan dengan perawan. Terhadap Wakini yang ada di hatinya saja Kliwon hanya berani melirik, tanpa berani menatap. Jika berpapasan dengan Wakini di jalan atau dimana saja malah jantungnya dulu yang berdegup dan membuatnya gugup dan ahkirnya diam tidak menyapa. Wakini menjadi teman khayalnya ketika susah tidur. Wakinilah yang terbawa dalam mimpinya. 
" Tum ... " Suara kliwon berat, susah keluar dan parau. Napasnya memburu. Degup jantung tidak terkendali. Membuat Kliwon tersengal. " Kang aku pasrah kang. Ini sebagai ucapan terima kasih." Tumi memeluk Kliwon dan meraih tangan Kliwon yang lain dan menempatkannya di selangkangannya yang tidak ada celana dalam. Tangan Kliwon menyentuh sesuatu yang belum pernah disentuhnya. Tumi menjepit tangan Kliwon dengan merapatkan pahanya. Sehingga tangan Kliwon merasakan kehangatan paha Tumi dan menyentuh juga rambut bawah milik Tumi. " Lakukan kang. Aku siap. Dan aku sangat ingin." Tumi mendekatkan bibirnya ke bibir Kliwon. Desah napas wangi dan hangat dari mulut Tumi sangat terasa di wajah dan di hidung Kliwon. Tumi sedikit menggoyang pantat dan memaju - majukannya, sehingga tangan Kliwon yang terjepit di selangkangan Tumi menjadi semakin bisa terpepet ke arah milik Tumi. Tumi menginginkan Klwon merabanya, mengelusnya, atau bahkan mengiliknya. Tetapi justru tangan Kliwon menjadi gemetar. Tangan Kliwon tidak bereaksi seperti yang diharapakan Tumi. " Piye ta kang. Mbok diraba kang, ayo kang, dielus ... " Tumi meminta. Lagi - lagi Kliwon tidak bereaksi. Malah keringatnya mulai membasahi tubuhnya. Tumi menempelkan dadanya yang payudaranya sudah terbebas dari kain yang menutupinya. Menggosok - gosokkan di dada Kliwon. Kliwon melihat buah dada Tumi yang dihisai banyak tahi lalat lembut kecil - kecil. Kliwon ada hasrat juga untuk memegang dan meremas. Tetapi satu tangan ada diselangkangan Tumi dan gemetar dan satu tangan lagi menyangga tubuhnya yang dilendeti Tumi. Kliwon hanya memandangi dengan rasa kagum akan keindahan payudara Tumi. Tumi menegakkan tubuh Kliwon dan meraih tangan Kliwon dan ditempelkan di buah dadanya. " Remas, kang...ayo ... kang ..jangan hanya dipandang..." Tangan Kliwon yang ada di payudara Tumi juga lagi - lagi tidak bereaksi. Hanya napasnya saja yang terus memburu dan badanya gemetar. Tumi Gemas. Dengan nekat sarung Kliwon ditarik hingga lepas, dan tangan Tumi segera masuk ke celana kolor Kliwon. Tumi mendapati mentimun Kliwon sangat kaku. Tidak sebesar milik Gudel, dan juga tidak sebesar milik juragan Gogor dan juragan Rase. Tetapi milik Kliwon ini terasa lebih panjang dan ujung yang menggelembung. Tumi memeganginya. Tumi menggerak - gerakkannya. Kliwon merasakan hangatnya dan lembutnya telapak tangan Tumi. Kliwon tidak tahan. Kliwon menggeliat dan menubruk tubuh Tumi. Tumi merasakan ada cairan hangat kental licin mengguyur telapak tangannya. Kliwon menggeram dan tubuhnya jatuh di atas tubuh Tumi yang ambruk. " Kang Kliwon ini gimana ta kok malah di tumpahkan di tangan ?" Tumi kecewa. Tubuh Kliwon lemas dan segera terlentang di amben. Tumi memberengut dan segera membenahi kainnya yang tidak teratur. 

bersambung .............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar