Senin, 28 Januari 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput

Kelimapuluhlima

Kliwon tidak berani menatap mata adiknya. Karena kalau sedang serius atau ada sedikit saja kemarahan sorot mata menik persis seperti sorot mata mendiang neneknya. Kliwon hanya bisa tertunduk. Ada rasa takut menghadapi adiknya yang duduk dihadapannya. Kliwon begitu merasakan akan ada sesuatu yang penting akan dikatakan adiknya kepada dirinya. Kliwon menunggu Menik berucap. Sesekali diliriknya tubuh adiknya sebatas leher ke bawah. Kliwon tidak ada keberanian melirik wajah menik. " Kang besuk aku dah mau berangkat ke kota ikut kang Gono. Akan lama aku bisa kembali ke desa. Aku titip bapak. Yu Jinem dah bersedia ikut berada di keluarga kita. Jaga baik - baik jangan sampai yu Jinem sakit hati. Perlakukan yu Jinem dengan baik. Anggap yu Jinem seperti keluarga sendiri. Jangan perlakukan yu Jinem sebagai pembantu. Aku dah ngomong banyak sama yu Jinem, mudah - mudah yu Jinem yang sudah lama menjanda itu, akan segera mau diperistri bapak. Bapak juga dah setuju kalau yang mau membantu keluarga kita itu yu Jinem. Bahkan bapak dah ngomong kalau yu Jinem mau, bapak akan segera menikahinya. Maka kang, jaga baik - baik yu Jinem." Menik berhenti bicara dan matanya tidak lepas terus menatap Gono yang tertunduk. Gono hanya bisa sesekali mengisap rokoknya dan mempermainkan rokok di jarinya." Kang ... sekarang ini dah saatnya aku ngomong terus terang sama kang Kliwon. Jimat akik Kecubung Wulung peninggalan nenek kita sebenarnya selama ini ada di aku. Tetapi sekarang sudah aku kembalikan di tempatnya." Menik kembali berhenti bicara. Sengaja dilakukan Menik. Menik ingin tahu reaksi kakaknya. Betul, mendengar kalimat yang baru saja diucapkan adiknya ini menjadikan Kliwon kaget. Kliwon mendongakkan wajah. Tetapi buru - buru Kiliwon menunduk dalam - dalam ketika matanya melihat sorot mata Menik yang benar - benar mewakili sorot mata mendiang Nyi Ramang. Kliwon sangat takut. " Jimat itu ada di tengah - tengah kedung, kang. Tetapi jangan coba - coba kang Kliwon berusaha mengambilnya. Tidak mungkin bisa. Justru sesuatu akan terjadi pada diri kang Kliwon kalau kang Kliwon nekat." Menik menghentikan kalimatnya lagi. Kliwon merinding mendengar kalimat Menik ini. Kliwon jadi menunduk semakin dalam. Malah - malah menghisap rokok yang dijarinyapun Kliwon tidak berani. Dibiarkan rokok berasap dijarinya. " Kang Kliwon dah melakukan perbuatan yang dak terampuni. Karena jimat itu, dan karena kang Kliwon ingin kaya mendadak, kang Kliwon telah nekat berbuat keji dan kejam. Hanya aku yang tahu kekejian yang dilakukan kang Kliwon. Ingat itu kang. maka jangan coba - coba menemukan jimat itu kalau kang Kliwon ingin selamat." Mendengar kalimat terahkir yang diucapkan Menik dengan nada yang persis seperti nada neneknya jika sedang berbicara membuat Kliwon menggigil. Tidak terasa air matanya mengaliri pipinya. Campur aduk perasaan meliputi suasana hati Kliwon. Menyesal, takut, merasa sangat berdosa, dan seperti ada sesuatu yang menghunjam - hujam alam pikirnya. Kliwon terisak dan air matanya deras mengalir. " Menyesal kemudian memang tidak ada gunanya kang. Welingku saja mulai sekarang relakan jimat itu. Dan jangan katakan omongan aku ini kepada siapa saja. Hanya untuk diri kang Kliwon. Setiap malam Jumat Kliwon datanglah kang Kliwon ke kedung. Beberapa saat air kedung akan bercahaya. Pada saat itu kang Kliwon boleh mengambil segayung air kedung. Jika satu saat ada orang datang minta tolong pada kang Kliwon berikan air itu. Lakukan itu kang, untuk menebus kesalahan kang Kliwon." Menik mengahkiri kalimatnya dan berdiri dari duduk. Kliwon bukan melihat Menik, tetapi Kliwon melihat neneknya sedang berdiri dihadapannya. Kliwon bangkit dari duduk dan segera bersimpuh memeluk kaki Menik. Tangisnya meledak. 
Pak Pedut yang mendengar semua yang diomongkan Menik, keluar dari kamar karena mendengar tangis Kliwon menjadi. Pak Pedut menyasikan Kliwon lagi bersimpuh memeluk kaki neneknya. Pak Pedut sangat kaget. Menik benar - benar menyerupai mendiang mboknya, Nyi Ramang. Sorot mata Menik yang bercahaya, tubuh Menik yang berdiri sangat berwibawa, dan sekeliling tubuh Menik yang terang bagai diguyur sinar matahari siang, membuat pak Pedut tidak bisa berbuat lain daripada segera bersimpuh di lantai tanah kemudian bersujud. 
Menik mengelus rambut kepala Kliwon. Kemudian melepaskan diri dari pelukan Kliwon di kakinya dan segera meninggalkan Kliwon dan pak Pedut. Sepeninggal Menik yang kemudian berjalan ke rumah induk dan masuk ke kamarnya, tiba - taba suasana dapur kembali temaram. Lampu minyak yang berkerlap - kerlip tertiup angin malam menyadarkan pak Pedut dan Kliwon. Kedua hanya bisa saling memandang. Sorot mata pak Pedut menyiratkan sangat menyalahkan Kliwon. Sangat menyesalkan Kliwon. Malam ini pak Pedut menjadi tahu kalau Kliwon sudah berbuat sangat kejam. Dan seperti kata menik tadi, perbuatan Kliwon tidak terampuni. Sangat berat Kliwon harus menebus perbuatannya. Sementara sorot mata Kliwon menyiratkan minta diampuni oleh bapaknya atas perbuatan yang sudah dilakukannya. Kliwon sangat tahu kalau perbuatannya telah membuat sangat kecewa bapaknya. Kliwon sangat takut dengan sorot mata bapaknya yang nampak bagai memarahinya. Kliwon merasakan sorot mata bapaknya bagai pisau tajam menghujam pada ulu hatinya. Kliwon hanya bisa mengurai air mata.
Malam semakin merangkak jauh. Udara dingin merasuki pedesaan. Diluar gerimis mulai mulai menjadi hujan disertai angin yang cukup kencang.

bersambung .................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar