Senin, 18 Maret 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                       edohaput


Keenampuluhtujuh

Siang tengah hari. Matahari panas. Tetapi karena udara gunung, panas matahari kurang terasa di tubuh pak Pedut yang telanjang dada. Pak Pedut mencuci badan di parit yang berair bening. Dadanya dibasahi air dingin. Keringat yang sedari pagi membasahi tubuhnya dibasuh air. Pak Pedut beristirahat di pematang sawah yang ditumbuhi rumput. Pohon turi rimbun yang tumbuh subur di pematang sawah menjadi tempat berteduh bagi pak Pedut dikala beristirahat dari kerja di sawah. Pak Pedut menunggu kedatangan Wakini yang setiap siang selalu datang membawa kiriman makan siang. Sambil mengipasi badan dengan capingnya, pak Pedut melongokkan kepala ke kejauhan dimana pematang sawah yang sering dilewati Wakini. Pak Pedut lega karena Wakini datang. Rasa haus dan laparnya akan segera terobati. 
Wakini meletakkan kiriman di pematang. Wakini cemberut. Wakini tidak menyapa pak Pedut seperti biasanya. Wakini diam, sambil menuang teh di gelas dan membuka bungkusan makan siang pak Pedut. Wakini tidak menyilahkan pak Pedut untuk segera menyantap makan siang. Wakini  kemudian duduk diam di pematang. Wajahnya menunduk, dan tangannya mempermainkan rumput yang ada di pematang. 
Pak Pedut memandangi Wakini. Pak Pedut melihat kecantikan Wakini yang tampak lebih cantik dari hari - hari sebelumnya. Menantunya ini di mata pak Pedut siang ini tampak begitu muda. Mukanya lebih bercahaya. Kulitnya nampak lebih bersih dan kencang. Kenapa Wakini berbeda. Wakini yang cemberut tetap tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Di mata pak Pedut Wakini nampak lebih muda lima tahun dari hari - hari sebelumnya. Wakini nampak begitu ranum. " Ni ... kok dak seperti biasanya, ta ? Kok cemberut ada apa ? Biasanya murah senyum. Biasanya langsung menawarkan makan sama bapakmu ini. Kok sekarang malah cemberut. Sedang dak enak hati sama Kliwon ya ?" Pak Pedut menyapa Wakini sambil tertawa dan terus menatap Wakini yang duduk di dekatnya. " Jengkel sama kang Kliwon, pak ! Masak kang Kliwon tu bisa mengobati orang, mengobati diri sendiri dak bisa." Wakini menjawab kalimat mertuanya dengan nada jengkel. " Lho memangnya Kliwon sakit, Ni ?" Pak Pedut menyerutup teh dan memasukkan growol bergula kelapa di mulut. " Gini lho pak. Sejak malam pertama sampai saat ini kang Kliwon selalu membuat aku kecewa. Setiap kali berhubungan, kang Kliwon selalu dak tahan, pak. Belum semenit kang Kliwon dah keluar. Aku belum apa - apa kang Kliwon dah rampung. Belum digerakkan sedikitpun, pak. Kang Kliwon dah dak tahan lalu ngejang - ngejang. Habis keluar terus lemes dan mengecil, pak." Wakini tetap memberengut dan tetap menundukkan wajah melihat rumputan di kakinya yang hanya bersandal jepit. " O ... itu ... " Pak Pedut kemudian diam dan mulutnya terus mengunyah makanan dengan sesekali menyerutup teh. Pikiran pak Pedut melayang ke malam - malam sebelum siang ini. Dirinya selalu mendengar Wakini uring - uringan. Jadi uring - uringannya Wakini itu karena dikecewakan Kliwon. Pak Pedut tidak mengira kalau Kliwon anaknya memiliki penyakit gampang selesai saat berhubungan dengan isteri. Pak Pedut tidak juga mengira tubuh sehat anaknya ternyata tidak sehat di tempat tidur. Pak Pedut geli juga melihat Wakini cemberut. Tetapi terbersit juga rasa kasihannya. Wakini yang kecewa pasti pikirannya jadi galau. Wakini pasti menjadi mudah marah, karena otot - otot dan saraf di tubuhnya menjadi kaku karena birahinya tidak terlampiaskan. Pak Pedut teringat mendiang isterinya yang selalu tersenyum puas setelah selesai berhubungan dengan dirinya. Pak Pedut juga ingat mendiang yu Jumprit yang menggelinjang - gelinjang ketika ditindihnya. Dan yu Jumprit selalu pulas tertidur setelah hubungan selesai. Dan di wajah yu Jumprit tampak sekali lega. Pak Pedut menjadi paham, betapa merananya Wakini, karena tidak bisa merasakan seperti mendiang isterinya, atau mendiang yu Jumprit.
Pak Pedut segera menghentikan makan dan minumnya. Berdiri dan menarik tangan Wakini. " Pak ... !" Wakini kaget. " Dah ... ayo ... !" Pak pedut menarik Wakini yang tiba - tiba manut. Pak Pedut membawa Wakini ke tengah ladang yang tumbuh tanaman jagung. " Pak ... " Wakini mulai tahu maksud mertuanya ini. Pak Pedut segera melapas kain sarungnya dan dibentangkan di antara pohon jagung yang sudah meninggi dan rimbun. Pak Pedut yang telanjang dada tinggal hanya memakai celana kolor. " Lepas kain bawahmu Ni, dan telentang saja di atas sarung !" Pak Pedut membantu melepas kain bawah Wakini. " Pak ... " Napas Wakini mendebur. Wakini menjadi tahu maksud pak Pedut. Wakini manut - manut saja ketika kain bawahnya dilepas. Wakini yang sianhg ini kebetulan tidak memakai celana dalam, langsung bisa terlihat milik Wakini yang lebat tertutup rambut. " Tiduran telentang, Ni ... " Pak Pedut lembut mendorong dan menelentangkan tubuh wakini yang separo telanjang. Pak Pedut yang berjongkok di samping tubuh Wakini yang menunggu segera memelorotkan celana kolornya. Wakini melhat mentimun pak Pedut yang sudah mendongak kaku, besar. Pak Pedut segera rebah miring di samping Wakini yang telentang kangkang. Tangan pak Pedut segera meraba milik Wakini. Dan jari - jarinya segera bermain di milik Wakini. Pak Pedut sangat berpengalaman memainkan jari di milik mendiang isterinya dan mendiang yu Jumprit. Sebentar saja Wakini telah dibuat melenguh- lenguh nikmat. Wakini membuka kain yang menutupi dadanya. Payudaranya segera menyembul. Pak Pedut terkagum - kagum dengan buah dada Wakini. Begitu menggunung tegak berdiri. Buah dada yang padat. Wajah pak Pedut turun mendekat ke payudara dan mulutnya segera berada di puting susu Wakini. Pak Pedut sangat kaget. Payudara wakini sangat padat, kenyal, dan kencang. Wakini semakin melenguh. Di bawah miliknya terus di guyer jari, di atas payudaranya disedot - sedot mulut. " Pak ... aku ... dah ... dak tahan,  aaahhh.. pak... " Kaki Wakini membuat pohon - pohon jagung menjadi bergoyang - goyang. Pak Pedut yang memang ingin membuat menantunya ini bisa menikmati kepuasan segera menempatkan pinggulnya di antara paha Wakini yang telah mengakang. Pak Pedut perlahan menempelkan ujung mentimunnya ke bibir milik Wakin yang telah membuka dan basah. " Pak ... jangan seperti kang Kliwon ...ya pak ya ... " Memelas Wakini meminta. Pak Pedut mengangguk sambil mendorong mentimunnya menekan milik Wakini dan segera amblas di kedalaman milik Wakini. Wakini mengangakan mulutnya, matanya terbeliak memandang pak Pedut, dan desahannya tidak kuasa di tahan. " Aaaaahhhh ... pak ... " Wakini menutup matanya. Pak Pedut memeluk tubuh Wakini. Mulutnya di buah dada, dan pantatnya mulai maju mundur untuk memasuk keluarkan mentimunnya di milik Wakini. Mula - mula perlahan, semakin lama intervalnya semakin pendek dan cepat. Wakini terus meronta nikmat di pelukan pak Pedut. Tiba - tiba kaki mengejang, menendang - nendang, kemudian pahanya menjepit pantat pak Pedut. Dan tidak kuasa Wakini menahan jeritnya. " Aaaauggghhh ... paaaaak ... !" Wakini menggelinjang hebat. Tahu Wakini sedang sampai pak Pedut semakin ganas memompakan mentimunnya. Wakini yang sebentar kemudian lunglai terus tanpa henti digenjot. Dan genjotan pak Pedut semakin menggila. Lagi - lagi tubuh Wakini mengejang. Pantatnya dinaik - naikkan. Dan tanpa sadar tangan Wakini telah menjabak - jambak rabut pak Pedut. Tahu Wakini sampai di puncak lagi pak Pedut tanpa ampun menyodokkan mentimunnya dalam - dalam dan dengan pantatnya memutar - mutar mentimunnya di milik Wakini yang entah seperti apa rupanya karena sedang mengalami kenikmatan yang tiada tandingnya. Tangan Wakini yang menjambak rambut pak Pedut beralih memegangi pohon jagung. Dan tanpa sadar Wakini telah membuat pohon jagung tercabut dari tanah. " Paaaaaaakkk ... !" Wakini kemudian lunglai. Pak Pedut semakin mempercepat sodokkannya. Pak pedut yang memang ingin membuat Wakini puas, ingin sekali Wakini berulang - ulang sampai. Tetapi sempitnya milik Wakini membuat pak Pedut tidak juga bisa menahan lebih lama. Pak Pedut merasakan milik Wakini sangat luar biasa. Sempit, sangat menjepit, dan di dalamnya sangat hangat dan menggigit - gigit dan menyedot nyedot. Juga lenguhan - lenguhan Wakini yang begitu seru membuat dirinya menjadi semakin bernafsu. Pak Pedut tidak tahan. Pak Pedut menekankan mentimunnya dalam - dalam, dan memeluk kuat tubuh Wakini. Kakinya berkelonjotan merusak tanaman jagung di kiri kanan. Pak Pedut mengguyurkan cairan kental lelakinya di kedalam milik Wakini." Niiiii.........." Wakini terbeliak. Dan menggoyangkan pantatnya. Wakini ingin membalas kenikmatan yang telah diberikan mertuanya. Wakini yang merasakan kedutan mentimun mertuanya dan di kedalaman miliknya ada keleler - keleler cairan hangat mengguyur, kembali menjadi tidak tahan untuk lagi - lagi sampai. Wakini memeluk erat tubuh pak Pedut. " Paaaaaaaakkk ..... !" Tanaman jagung bergoyang - goyang dan menimbulkan suara krosak - krosak. 

bersambung ................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar