Rabu, 29 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                                edohaput

Kedelapanpuluhtiga

Pak Pedut dan Wakini tidak habis pikir. Sejak berada di rumah, Menik jarang keluar kamar. Dari kamarnya terus mengepul asap dupa kemenyan yang aromanya sampai ke rumah tetangga. Menik keluar kamar jika perlu makan dan minum. Menik sangat jarang berbicara dengan pak Pedut dan Wakini. Sebaliknya pak Pedut dan Wakini tidak berani membuka pembicaraan dengan Menik jika tidak sangat perlu atau jika sedang menawarkan meja makan yang sudah siap. Menik begitu berwibawa. Menik begitu menakutkan. Wajah muda cantik Menik belum menampakkan wajah ceria. Jika menatap, sorot matanya menusuk relung kalbu yang ditatap. Dan kalau itu menimpa pak Pedut dan Wakini, mereka hanya bisa buru - buru menunduk atau mengalihkan pandangan. Kalau Wakini memang tidak begitu tahu, tetapi pak Pedut sangat paham kalau tatapan Menik ini adalah tatapan neneknya Menik, Nyi Ramang. Menik sangat mewarisi sifat - sifat Nyi Ramang. 
Wakini dan pak Pedut tidak tahu mengapa Menik pulang dari kota dan kembali tinggal di desa. Dan sejak kembalinya dari kota Menik terus tidak pernah menampakkan wajah sukanya. Menik selalu muram. Hal ini membuat pak Pedut dan wakini menjadi kikuk. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga. Yang ada di pikiran pak Pedut, Menik muram karena kematian Kliwon yang dinilai tidak wajar. Kematian Kliwon yang tiba - tiba dan seperti adanya rekayasa dari orang yang menjahati Kliwon. Menik tidak menerimakan kematian Kliwon kakaknya. Menik sedang berusaha mengetahui mengapa kakaknya meninggal dengan cara demikian. Di pikirannya pak Pedut setengah memastikan, bahwa kemuraman Menik adalah karena meninggalnya Kliwon.
Malam telah bergeser semakin jauh. Udara dingin mulai terasa menusuk - nusuk tulang. Ditambah dengan semilirnya angin gunung yang mampu menerobos celah - celah dinding bambu semakin membuat dinginnya malam. Di kamar wakini pak Pedut sedang mengelus - elus perut Wakini yang semakin membuncit. " Ni ini anakku apa anak Kliwon ya, Ni ?"  Pak Pedut mengelus perut Wakini dan yang setengah telanjang. Karena kain bawah telah lepas dari tubuh Wakini. " Seingatku ini anak bapak. Rasanya Kang Kliwon belum pernah memasukkan ke dalam milikku ini, pak." Wakini menjawab sambil memegangi tangan pak Pedut dan dituntun ke arah miliknya. Tangan pak Pedut yang menyentuh milik Wakini dan merasakan hangat dan sedikit membasah, membuat mentimun pak Pedut kontan bangun. " Ya dah Ni, itu dak perlu dipikirkan kalau ini anak Kliwon ya tetap cucuku, kalau ini anakku berarti adiknya Kliwon." Berkata begitu pak Pedut sambil menekankan telapak tangannya di milik Wakini. Dan membuat Wakini merasakan enak di miliknya. " Pak ... aahh.. !" Wakini mendesah tertahan takut suaranya didengar Menik. Walaupun Wakini telah memperoleh ijin dari Menik untuk mendampingi pak Pedut, tetapi Wakini juga tetap harus menjaga situasi agar tidak semata nekat. Pak Pedut melucuti sarung dan celana kolornya. Melihat keindahan tubuh Wakini pak Pedut memang selalu tidak tahan untuk berlama - lama menahan keinginan. Pak Pedut menempatkan diri di atas tubuh wakini. Dan Wakini siap menerima perlakuan pak Pedut. " Tapi jangan keras - keras pak. Takut didengar Menik, pak. Pelan - pelan saja genjotannya." Bisik Wakini di telinga pak Pedut. " Ni ... " Pak pedut pelahan menyodokkan mentimunnya di milik wakini dan amblas. Keduanya menikmatinya dan tanpa ada kegaduhan seperti biasanya. 
Seiring dengan berjalannya malam, aroma asap dupa kemenyan yang berasal dari kamarnya Menik semakin menusuk hidung. Apa yang dilakukan Menik di dalam kamar tidak ada yang tahu. Juga pak Pedut dan Wakini yang lagi asyik menikmati hubungan sama sekali tidak perduli dengan Menik. Menik sedang melakukan apa pak Pedut dan Wakini tidak mau tahu. 
Di dalam kamar Menik telanjang duduk bersila. Di depan duduknya ada anglo bara api tempat membakar dupa kemenyan dengan asap yang semakin tebal mengepul. Di tangan kanan jimat Kecubung Wulung digenggamannya. Genggaman tangan diposisikan di atas tungku anglo. Mulut Menik berkomat - kamit tidak jelas apa yang sedang diucapkannya. Hanya kata - kata kamu yang diucapkan Menik dengan jelas dan geram. " Kamu .... !!" Genggaman jimat ada di atas anglo tungku. " Kamu ... !! Kamu ... Kamu ... !! " Mata Menik terpejam tetapi mulutnya sangat geram mengucapkan kata - kata kamu. Setelah berbuat demikian tiba - tiba Menik berdiri. Seandainya saja ada orang yang melihat Menik, pasti akan berdecak kagum melihat keindahan tubuh Menik. Tubuh yang kembali muda. Wajah yang sangat cantik. Dan semua lekuk tubuhnya begitu membentuk. " Rasakan ... !! ....Rasakan .... Rasakan.... !! ...Rasakan .... !!" Menik melototkan matanya dan tangannya yang menggenggam jimat Kecubung Wulung ditinjukan ke segela penjuru arah. Seiring dengan apa yang diperbuat Menik, tiba - tiba ada pusaran angin yang bergerak di dalam rumah. Barang - barang yang ringan di dalam rumah tersambar angin dan berjatuhan menimbulkan suara gaduh. 
Pak Pedut dan Wakini yang sebentar lagi akan segera sampai di kenikmatan puncak terkejut dengan kegaduhan yang terjadi di rumah. Pak Pedut segera mencopot mentimun dari milik wakini dan segera mengenakan kain lari keluar kamar ingin tahu apa yang terjadi. Wakini yang kecewa juga segera menyelimuti diri dengan kain jarik dan keluar kamar. Pusaran angin masih berpusing di dalam rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya melongo dan takut. Aroma dupa kemenyan semakin menyengat. Pusaran angin semakin kuat dan tiba - tiba ada suara berderak. Pintu dan jendela rumah terbuka, dan pusaran angin menerobos keluar rumah. Pak Pedut dan Wakini hanya bisa melongo. Tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. 

bersambung .............................



 


Minggu, 19 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                   edohaput

kedelapanpuluhdua

Tepat hari Kamis Wage, dan malam nanti adalah malam Jumat Kliwon. Menik memenuhi janjinya. Menik Pulang ke desa. Hari ini adalah hari keempatpuluh dari saat meninggalnya kakaknya, Kliwon. Kepulangan Menik ke desa tanpa diantar Gono suaminya. Kecuali Gono harus bekerja, juga karena malam Jumat Kliwon nanti Menik mau punya pekerjaan yang tidak boleh diketahui orang lain. Sejak kedatangannya di rumah, Menik sedikitpun tidak menampakkan muka ramah. Banyak memberengut dan nampak garang. Pak Pedut dan Wakini tidak berani bertanya kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak berbicara. Menik langsung berada di dalam kamar mendiang neneknya, Nyi Ramang.
Menjelang sore mendekati malam aroma dupa kemenyan di bakar sangat menusuk hidung. Aroma ini berasal dari dalam kamar mendiang nenek Menik. Dan Menik sedang berada di dalam kamarnya. Aroma dupa kemenyan dibakar membuat kelimpungan Wakini yang sedang hamil muda. Tetapi Wakini tidak bisa berbuat banyak, kecuali diam dan menahan. Begitu juga pak Pedut hanya diam seribu basa. Pak Pedut hanya bisa menduga - duga apa yang dilakukan Menik di dalam kamar mendiang neneknya. Sebenarnya pak Pedut tidak asing lagi dengan aroma dupa kemenyan yang dibakar. Sejak Nyi Ramang masih hidup pak Pedut selalu mencium aroma ini. Hanya saja aroma ini sudah sangat lama tidak diciumnya. Kini tiba - tiba terhirup kembali oleh lubang hidungnya. Rupanya Menik sedang melakukan ritual yang dulu sering dilakukan Nyi Ramang. Pak Pedut sangat paham, Meniklah yang mendapat warisan dari Nyi Ramang. Nyi Ramang sangat menyayangi Menik. Dirinya dan Kliwon banyak luput dari perhatian Nyi Ramang. Hanya Meniklah yang selalu berada di dekat Nyi Ramang. Tidak mustahil jika sekarang Meniklah yang serba tahu tentang ilmu yang dimiliki Nyi Ramang.
Matahari telah beberapa waktu lenyap di balik gunung. Malam sudah merambati pedesaan. Gelap memenuhi segala sudut dan penjuru desa. Hanya lampu - lampu panjeran yang kerlap - kerlip di setiap rumah warga. Suasana malam Jumat Kliwon begitu sepi. Kekes, dingin dan tidak ada suara tembang. Pada malam Jumat Kliwon orang memilih berada di rumah, diam dan banyak melakukan ritual do'a - do'a. Ketika hari masih siang banyak warga datang ke kuburan untuk bersih - bersih makam leluhur dan menaburkan bunga di atas gundukan kubur leluhur. Sebagian bunga - bunga dibawa pulang dan ditaburkan di panci yang diisi air. Panci diletakkan di meja, atau dimana saja ditempat yang tidak banyak diterangi lampu. Tidak jarang pula warga membakar dupa kemenyan dan diletakkan di dekat panci bunga.
Menjelang tengah malam Menik keluar kamar dan meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Pak Pedut dan Wakini yang telah lelap. Menik berjalan menyusuri jalan dan pematang perasawahan menuju kedung tanpa dibantu sedikitpun cahaya obor. Menik sengaja berjalan di kegelapan. Menik hafal jalan. Menik bagai dituntun berjalan cepat tanpa gontai walaupun berjalan di pematang sawah yang cuma selebar tapak kaki. Jika dilihat orang yang tampak aneh adalah mata Menik yang bercahaya dan menerangi jalan setapak di depannya. 
Menik sampai di tepian kedung. Menik tahu kalau sebentar lagi tengah malam segera akan tiba. Menik segera menelanjangi diri. Tanpa sehelai benangpun menempel di tubuhnya. Menik telanjang bulat. Jika saja hari terang, akan terlihat postur indah tubuh Menik. Pinggang yang ramping, paha dan betis yang panjang, payudara yang tegak menggunung, wajah yang cantik, dan rambut panjang yang terurai, dan milik Menik yang menggunduk ditumbuhi rambut halus. Hanya saja perut Menik sudah tidak lagi rata. Sedikit membuncit karena Menik sedang mengandung anak Gono. " Nyi aku Menik cucumu datang bersama cucu buyutmu yang masih aku kandung. Ijinkan aku mengambil kembali jimat Kecubung Wulung yang pernah aku buang di tengah kedung ini." Menik dengan bersikap sembah mengatupkan telapak tangan di depan dada sambil mengucapkan kalimat ini. Selesai Menik berucap tiba - tiba datang angin bertiup keras menggoyangkan pepohonan di tepian kedung. Menik tahu dengan pertanda ini. Dikatupkannya kedua pelupuk matanya dan disebutnya nama neneknya betrkali - kali. Tidak berapa lama kemudian ... byaaaar .... air kedung bercahaya sangat terang. Menerangi tubuh Menik yang telanjang. Menik ambyur ke tengah kedung dan menenggelamkan dirinya. Beberapa saat kemudian mucul lagi di permukaan air kedung. Tangan kanannya telah menggenggam batu jimat Kecubung Wulung. Menik minggir dan naik ke tepian kedung. Rambut panjangnya basah lengket di tubuh sebagian menutupi payudaranya. Seandainya saja ada orang melihat akan kaget terhadap perubahan yang terjadi di tubuh Menik. Menik berubah menjadi muda kembali. Wajah cantiknya berubah menjadi wajah perawan belasan tahun. Semua lekuk tubuhnya kembali menjadi muda ranum dan indah, kecuali perutnya yang tetap agak membuncit.
Sebelum selesai Menik kembali mengenakan kainnya air kedung telah menjadi gelap. Dan diahkiri oleh tiupan angin kencang yang berlangsung sesaat. Menik berjalan meninggalkan kedung. Jimat Kecubung Wulung telah berada di bundelan ujung kain bajunya. Menik berjalan cepat. Sorot matanya terang menerani jalan setapak yang dilaluinya. Sendainya saja ada orang melihat Menik pasti orang akan mengira Menik sedang sangat marah. Wajah muda cantiknya tetap dihiasi kemuraman. Dan di dada Menik memang sedang berlangsung nada marah. Nada Geram. Yang akan berujung dimana belum diketahui. 

bersambung .......................


Rabu, 15 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput


Kedelapanpuluhsatu

sebelas hari sejak kamatian Kliwon, rumah pak Pedut kembali sepi. Menik dan Gono juga telah kembali ke kota lagi. Di rumah tinggal pak Pedut dan Wakini janda Kliwon. Wakini mendapat mandat dari Menik agar tidak pergi kemana - mana. Wakini diminta Menik agar menemani bapaknya. Jika satu hari nanti Wakini berkeinginan untuk nikahan lagi Menik mempersilahkan. Tetapi untuk sementara Wakini harus tinggal bersama pak Pedut. 
Malam dingin sepi. Wakini dan pak Pedut menghangatkan badan di dekat tungku api sambil menunggu air yang dijerang mendidih. " Kamu dapat pesan apa dari Menik, Ni ? Kemarin lusa kok nampaknya Menik sungguh - sungguh banget bicara sama kamu ?" Pak Pedut memasukkan  kayu bakar di lubang tungku sambil melirik Wakini yang jongkok di dekatnya. Wakini yang kain bawahnya sangat kendor membuat mata pak Pedut bisa melihat kedua paha Wakini yang tidak tertutup sempurna bahkan boleh dikatakan sangat terbuka. Dan Wakini sengaja tidak membetulkan kain bawahnya yang kendor dan sengaja membiarkannya karena kain yang kendor membuat dirinya mudah melakukan kegiatan terutama ketika berjongkok di depan tungku. Api tungku yang menyala besar dan berkilat - kilat menimpa kedua paha Wakini yang bersih. " Menik bilang pesan begini pak. Yu kamu jangan tinggalkan bapak. Walaupun kang Kliwon sudah dak ada, kamu harus tetap tinggal di rumah ini menemani bapak. Kasihan bapak sendirian. Suatu saat nanti kalau ada orang yang ingin menikahimu, yu Wakini boleh meninggalkan bapak. Tetapi jangan sekarang. Syukur jika yu Wakini sudah dak ingin lagi nikah, dan tetap setia menemani bapak. Gitu pak pesan Menik. Dan Menik juga bilang kalau nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah ini. Menik mau apa aku tidak tahu, pak." Wakini menyampaikan pesan Menik kepada dirinya kepada pak Pedut. " Terus kamu menyanggupi pesan Menik ta Ni ?" Pak Pedut meraih tangan Wakini yang mempermainkan kayu bakar di tungku. " Dak usah dipesan begitupun aku tetap akan menemani bapak ta..." Wakini menatap mata pak Pedut sambil tersenyum. " Lagi pula aku rasa - rasanya lagi hamil, pak." Kalimat Menik ini mengejutkan pak Pedut. " Jadi ... jadi ... kamu hamil ... ?" Pak pedut menatap Wakini dengan penuh rasa sayang. " Ya pak rasanya aku hamil. Hanya saja aku tidak tahu ini anak kang Kliwon apa anak bapak." Wakini menegakkan dadanya dan mengelus perutnya. Posisi jongkok Wakini yang menegakkan dada dan perut membuat kain yang menutup pahanya semakin tersibak ke arah pangkal paha. Membuat mata pak Pedut melihat pangkal paha Wakini yang tertimpa cahaya api tungku dan tidak dikenakan celana dalam. Mendengar pengakuan Wakini ini tiba - tiba di perasaannya mengalir rasa sayang mendelam terhadap Wakini. " Ni ... " Pak Pedut berdiri dari jongkok. Diraihnya pundak Wakini dan ditariknya dengan lembut. Wakini dibimbing menuju amben dapur. Wakini manut - manut saja. Lembut pak Pedut mendorong dada Wakini agar tidur terlentang di amben. Wakini manut - manut saja. Pak Pedut membuka kain bawah Wakini. Wakini telanjang bagian bawah mulai dari pusar sampai ke ujung kaki. Pak Pedut mengelus perut Wakini. Pak pedut bisa merasakan perut Wakini memang sudah sedikit membuncit. " Ni ..." Tangan pak Pedut yang mengelus perut berjalan ke arah bawah dan menyentuh permukaan milik Wakini. Wakini menyediakan miliknya untuk diraba dengan melebarkan jarak paha. Untuk memberi ruang tangan pak Pedut mencapai miliknya. " Ni ... " Tangan pak Pedut menyentuh milik Wakini. Dan tangan pak Pedut reflek bermain di milik Wakini. " Pak ... aaaah ... " Wakini hanya bisa mendesah. Wakini yang sudah sepuluh hari tidak merasakan sentuhan sangat ingin menikmati sentuhan. Dan memang hanya pak Pedut yang bisa melakukan sentuhan yang membuat dirinya nikmat. " Aku tidak perduli ini anak Kliwon atau anakku, Ni. Anak dalam dalam kandunganmu ini kita akan rawat sebaik - baiknya." Pak Pedut memasukkan jarinya di milik Wakini dan mengutak - utik yang ada di dalamnya. " Pak ... aaaaaahh ..." Wakini hanya bisa begitu dan merapatkan pahanya agar jari pak Padut terjepit miliknya dan bisa semakin dinikmati. Sementara tangannya mebukai kancing - kancing kain atasnya sampai dadanya terbuka. Dan payudaranya yang tidak dikutangi dan kencang menggunung menyembul. Sementara itu pula tangan pak Pedut yang lain telah melepasi kain sarung dan celana kolornya. Pak Pedut telah telanjang bawah dan mentimunnya telah sangat kaku mendongak dan tersentuh paha hangat Wakini. Tiadanya Kliwon membuat pak Pedut semakin leluasa mengusai Wakini. Kini pak Pedut dan Wakini tidak perlu lagi sembunyi - sembunyi di gubuk sawah untuk melakukan hubungan. Wakini dan pak Pedut menjadi sangat leluasa. Wakini yang sudah tidak tahan untuk segera di tindih membuka kangkangan pahanya lebar - lebar. Pak Pedut tahu kalau Wakini sudah sangat menginginkan. Tetapi pak Pedut tidak segera menempatkan dirinya. Pikirannya tiba - tiba terganggu oleh pesan Menik kepada Wakini, jika nanti bertemu dengan malam Jumat Kliwon Menik akan pulang ke rumah. Apa yang akan dilakukan Menik pada malam Jumat Kliwon nanti. Akankah Menik berbuat sesuatu terhadap kematian kakaknya yang tidak wajar itu. Tetapi pikiran ini segera lenyap ketika dilihatnya wajah Wakini yang menyiratkan dengan penuh harap agar segera ditindih. Pak Pedut tidak tega melihat Wakini yang sudah sangat menunggu. Maka segera ditempatkan dirinya. Dengan penuh rasa sayang pak Pedut mendorongkan mentimunnya. Wakini menatap mata pak Pedut yang menyorotkan rasa cinta kasihnya pada dirinya. Wakini merasakan itu. Wakini begitu bahagia. Dan perasaan ini semakin membuat dirinya bisa menikmati yang dilakukan pak Pedut. Pak pedut telah tidak sabar lagi untuk menyedot buah dada Wakini. Mencium bibir Wakini. Memeluk erat tubuh Wakini. Dan sebentar kemudian yang terdengar hanya desahan dan geraman serta kecipak paha beradu, buah dada dan leher yang dicupang - cupang, dan derit serta derak amben dapur yang bergoyang - goyang. 

bersambung .....................

Sabtu, 11 Mei 2013

Cubung Wulung

                                                                                                 edohaput


Kedelapanpuluh

Gudel, pak Blengur dan beberapa perjaka desa menyusur kali. Perjalanan menyusur kali dimulai dari pinggir kuburan. Berjalan ke arah utara menuju hutan. Semakin jauh melangkah semakin sulit jalan ditempuh karena banyak terhalang semak gerumbul yang lebat tumbuh liar. Gudel menemukan tanda - tanda telapak kaki yang merusak rumput liar. " Kang Blengur bukankah rumput - rumput ini ambruk karena terinjak kaki ?" Gudel berhenti melangkah. Semua melihat rumputan yang tidak lagi pada posisi semestinya. Sangat jelas kalau rumputan itu terinjak - injak kaki oleh lebih dari dua orang. Mata Gudel mengamati. " Kang, langkah itu turun ke kali, kesana kang. Itu lihat, lumut - lumut di batu itu terkelupas !" Teriak salah satu perjaka sambil menunjuk - nunjuk ke arah bebatuan berlumut di kali. Tidak lagi berkata - kata Gudel, pak Blengur diikuti para perjaka segera turun ke kali mengikuti bekas telapak kaki. Guguran daun dan ranting patah yang terserak menghentikan langkah Gudel, pak Blengur dan para perjaka. Mereka dengan sengaja mendongakkan wajah mencari dari mana guguran daun dan ranting patah berasal. Mereka terkesiap, terpekik, dan surut mundur beberapa langkah. Jantung berdegup keras, mata seolah tidak percaya, Kliwon tergantung di sebuah dahan pohon dengan leher terjerat seutas tali, tali yang biasanya oleh warga digunakan untuk menambat kerbau. 
Geger desa tidak terelakkan. Warga yang mendengar kejadian yang menimpa Kliwon segera berbodong menuju rumah Kliwon, terutama para perempuannya. Banyak juga warga terutama para perjaka dan para lelaki berlarian menuju kali. Mereka ingin melihat dan akan mengusung jasad Kliwon untuk dibawa pulang ke rumah.
Hari yang cerah sumringah, yang malamnya digelar keramaian di rumah Tumi, berubah menjadi hari yang kelam. Hari yang kelabu. Hari yang haru biru. Hari yang geger.  Hari yang penuh tangisan. Warga sangat menyesali kejadian yang menimpa Kliwon. Warga hanya bisa bertanya - tanya. Mengapa Kliwon yang telah banyak menolong orang tiba - tiba tertimpa kejadian yang membuatnya meninggal dunia. Mengapa kliwon yang santun dan tidak suka banyak bicara tiba - tiba jasadnya tergantung di dahan pohon di kali. Kliwon bunuh diri ? Tidak. Karena telah ditemukan di dekat jasad Kliwon tergantung, telapak - telapak kaki orang yang lebih dari dua orang. Kliwon pasti diperdaya orang. Tetapi siapan orang yang tega memperdaya Kliwon ? Warga hanya bisa mengait - ngaitkan kematian Kliwon dengan kematian yu Jumprit. Mengapa orang yang justru telah banyak berbuat baik dicedarai. Ada apa di desa ini. Mengapa demikian. 
Menjelang sore dengan diantar ratusan pelayat dari warga desa dan para warga desa tetangga jenasah Kliwon dikuburkan di kuburan belakang desa. Pak Blengur dan para perjaka desa menutup liang lahat yang di dalamnya ada jasad Kliwon, menjelang matahari tenggelam. Pak Blengur bekerja dengan tidak banyak bicara. Dipikirannya sangat menyesalkan kejadian yang menimpa Kliwon. Tidak seharusnya ada orang yang tega berbuat demikian.
Tumi dan Gudel pengantin baru menjadi orang yang kemudian sangat sibuk membantu keluarga pak Pedut. Tamu pelayat yang harus disuguh gupuhi, dan diterima sebagaimana mestinya menjadi pekerjaan Tumi dan Gudel.  Wakini hanya bisa terus menangis. Menangisi suaminya yang tidak dinyana dan tidak disangka secepat ini meninggalkan dirinya. Pak Pedut hanya bisa duduk, tercenung, dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan. 
Sejak kedatangannya dari kota saat jasad Kliwon belum dibawa ke kuburan Menik mengunci mulut. Tidak satupun sapaan dijawabnya. Tidak satupun pertanyaan warga dijawab Menik. Menik cemberut. Menik tidak menampakkan wajah cerah sedikitpun. Orang - orangpun menjadi takut kepada Menik. Menik begitu memberengut. Menik tidak berbicara kepada siapapun. Warga yang biasa dekat dengan Menik hanya bisa bertanya mengapa Menik bersikap demikian. Wajah Menik nampak sebagai orang yang sedang marah besar. Gudelpun yang dulu pernah sangat akrab dengan Menik tidak berani juga mendekati Menik yang tampak begitu muram durja. Gudel hanya bisa menduga - duga apa yang sebenarnya ada di pikiran Menik. Belum pernah Gudel menyaksikan wajah Menik yang demikian marah. Gudel tidak berani mendekati Menik. Gudel tidak berani menatap mata Menik. Gudel hanya dengan cara melirik saja ketika ingin melihat wajah Menik. Menik yang cantik di mata Gudel berubah menjadi Menik yang angker. Bahkan Gudel melihat di wajah Menik gambaran wajah Nyi Ramang nenek Menik. Katika mata Gudel menyaksikan itu, Gudel tidak lagi - lagi berani melirikan bola matanya ke arah Menik. Gudel begitu merinding. 
Tumi yang biasanya berani dekat dengan Menik tidak bisa berbuat banyak. Tumi juga takut kepada Menik yang sejak kedatangannya tidak sedikitpun matanya menatap dirinya. Jangankan menatap, melirik dirinya saja tidak. Tumi teringat ketika dulu para perawan termasuk Menik menelanjangi diri di kedung. Bercengkerama saling pegang payudara. Dan saling raba yang ada di bawah pusar. Dan kalau sudah sampai begitu mereka pada tertawa cekikikan. Bahkan adan yang tidak malu - malu mendesah dan ingin miliknya terus diraba. Dan Tumilah perawan yang paling suka nakal. Milik siapa saja digasak tanpa ampun. Tumi tidak segan - segan mencengkeram payudara perawan dan nekat menggigit putingnya. Dan perawan yang menerima perlakuan nakal Tumi ini hanya bisa menjerit - njerit dan timbul tenggelam di air kedung. Tidak jarang pula Tumi menakali teman perawannya dengan menyodokan sabun ke milik teman perawannya. Dan yang diperlakukan begitu hanya bisa teriak - teriak karen Tumi sangat nekat melakukannya. Dan hanya Meniklah yang tidak bisa dinakali Tumi. Selain karena Menik tidak pernah mandi telanjang, juga karena Menik selalu menghindar ketika Tumi datang mau menakalinya. Tetapi satu saat pernah juga Menik kecolongan miliknya bisa diraba Tumi saat dirinya sedang menyabun tubuhnya tiba - tiba Tumi menubruk dirinya dan memasukkan tangannya di kain bawahnya yang sudah melorot. Dan ketika Menik membalas perbuatan Tumi justru Tumi menyediakan miliknya untuk dinakali. Dan Tumi menikmati. Dan Menikpun melayani kesukaan Tumi.
Warga dekat, orang jauh terus berdatangan silih berganti melayat dan menyampaikan rasa bela sungkawa dan juga bermaksud ingin mengerti apa penyebab kematian Kliwon  dengan cara yang tidak wajar. Sampai dengan saat malam doa akan digelar pelayat tidak berhenti berdatangan.

bersambung ..........................










Rabu, 01 Mei 2013

Cubung Wulung 

                                                                                               edohaput


Ketujuhpuluhsembilan

Langkah Gudel terhenti sejenak. Dipandanginya onggokkan batu - batu nisan di kuburan. Mata Gudel menebar pandang ke sekeliling. Kuburan tampak bersih terawat. Tumbuhan kemuning tertata rapi, berjenis - jenis kemuning dengan daun yang bentuk berbeda dan warna berbeda. Tetapi semua daun kemuning dihiasi warna kuning yang dominan. Tidak ada rumput liar yang tumbuh di sela - sela batu nisan. Pohon kamboja berbunga putih, ungu, merah, sedang mekar - mekarnya. Bertebaran luruhan bunga kamboja masih terlihat di pagi ini. Wanginya bunga kamboja adalah aroma khas kuburan. Kuburan tampak sangat terpelihara. Rupanya pak Blengur sebagai juru kunci kuburan tidak pernah malas merawat. 
Mata Gudel tertumbuk dengan rumah pak Blengur di tepi kuburan. Rumah kecil dengan taman asri di depan rumah. Pintu masih tertutup rapat. Dipikiran Gudel pak Blengur masih belum terjaga dari tidurnya. Gudel melangkah mendekati rumah pak Blengur dengan melompati batu - batu nisan yang ada. Sampai di depan pintu yang masih tertutup Gudel kaget. Karena mendengar suara rintihan seorang perempuan dari dalam rumah pak Blengur. Rintihan yang setelah oleh Gudel didengar dengan cara menempelkan telinga di pintu, ternyata rintihan seorang perempuan yang mendesah. Gudel surut kebelakang beberapa langkah. Ada apa di rumah pak Blengur. Pagi - pagi begini ada suara desahan perempuan. Gudel maju lagi beberapa langkah dan mencoba menempelkan matanya di celah dinding bambu. Gudel sangat kaget. Dilihatnya dari lubang intipnya, mbok Semi yang telanjang sedang ditindih tubuh pak Blengur yang juga telanjang. Kedua kaki mbok Semi melingkar di pinggul pak Blengur dan terus bergerak - gerak, dan kedua tangannya meremas, menjambak rambut pak Blengur yang gondrong karena jarang di cukur. Sementara itu juga dilihat oleh satu mata Gudel pak Blengur terus menggerakkan pantat naik turun, maju mundur, dengan interval yang pendek dan cepat. Yang terdengar di telinga Gudel bukan lagi rintihan dan desahan dari mbok Semi, melainkan jeritan - jeritan mbok Semi yang nekat dikeluarkan dari mulut tanpa takut - takut dan malu - malu. Barangkali mbok Semi berpikir ini kuburan, tidak mungkin ada seorangpun sepagi ini datang ke kuburan. Sehingga mbok semi nekat dan leluasa menjerit mengekpresikan kenikmatannya ketika terus digenjot pak Blengur. Suara deru napas pak Blengur juga begitu jelas di telanga Gudel. Tak urung itu semua membuat milik Gudel menggeliat dan tiba - tiba kaku. Gudel ingat Tumi. Rasanya Gudel ingin segera meninggalkan kuburan dan rumah pak Blengur berlari pulang dan segera akan memeluk Tumi. Niatnya diurungkan karena ia pagi ini harus bertemu pak Blengur yang mungkin tahu tentang Kliwon. Dan anehnya ada rasa enggan Gudel melepas mata dari lubang intip. Matanya malah diposisi - posisikan agar pandangannya semakin memperoleh ruang. Sejurus kemudian Gudel melihat pak Blengur terkejang dan melenguh keras bak harimau sedang menangkap mangsa. Sedangkan mbok Semi yang ada di bawah tubuh pak Blengur bagai cacing kena panas. Kedua kakinya terjulur kejang, dan bergerak membuat tikar pandan bergeresek keras. Sentakan - sentakan kedua makhluk yang sedang nikmat sampai di puncak ini membuat amben bambu berderak, berderit, dan bergoyang. Tidak lama kemudian mata Gudel menyaksikan keduanya lunglai dan terengah - engah. Gudel surut kebelakang menjauh dari rumah pak Blengur. Gudel bersembunyi di balik batu nisan. Gudel tahu pasti sebentar kemudian mbok semi akan meninggalkan rumah pak Blengur.
Betul apa yang disangkakan Gudel. Tidak lama kemudian mbok Semi keluar dari rumah pak Blengur dan bergegas meninggalkan rumah pak Blengur mengambil jalan setapak di tepi kali. Nampak kain mbok Semi dikenakan dengan tidak rapi. Sambil bergegas berjalan mbok Semi nampak membetulkan kainnya agar terlihat rapi. 
Beberapa saat kemudian Gudel muncul dari persembunyian dan melangkah ke rumah pak Blengur dengan melangkahi batu - batu nisan. Gudel mengetuk pintu. " Sapa ?" Suara dari dalam rumah menyapa. " Aku Gudel kang Blengur !" Gudel menjawab sapaan pak Blengur. " Masuk Del ...!" Pak Blengur minta Gudel membuka pintu. Gudel masuk rumah pak Blengur. Yang terlihat di mata Gudel amben yang berantakan. Tikar pandan melenceng - lenceng dari semestinya. Bantal terletak di sudut. Pak Blengur telanjang dada dan hanya memakai sarung. Celana kolor pak Blengur masih belum sempat dikenakan dan terserak di lantai tanah. Melihat itu semua Gudel hanya bisa tersenyum dalam hati. " Pagi - pagi begini menemui aku ada orang meninggal ya, sapa Del ?" Pak Blengur mengambil celana kolor di lantai tanah dan dikenakan. Lagi - lagi Gudel hanya bisa tersenyum dalam hati. " Dak kang, dak ada orang meninggal, kang." Gudel memberi keterangan. " Lalu ada apa ?" Pak Blengur selesai mengenakan celana kolor duduk diamben dengan bersila. Gudel memposisikan duduk di tepi amben yang tikarnya belum pas dipasang. " Kang Kliwon semalam dari rumah Tumi dak pulang ke rumah, kang. Aku takut terjadi apa - apa pada kang Kliwon. Jangan - jangan kejadian yang menimpa yu Jumprit terjadi pada kang Kliwon. Aku kesini barangkali kang Blengur punya sisik melik, kang." Gudel memberi keterangan. Pak Blengur mengerinyitkan dahi. Wajahnya berubah menjadi tegang. Diam. Pandangan matanya menerawang. Gudel hanya bisa menunggu apa yang akan diperbuat pak Blengur. Pak Blengur beranjak dari amben, menuju ruang rumah belakang, dan  kembali membawa sepasang serandal. " Ini aku temukan tadi malam sepulang aku nonton ledhek di rumah Tumi, Del ! Ini aku temukan di jalan masuk kuburan. Aku pulang dari pesta pernikahanmu sudah cukup larut, Del." Pak Blengur menunjukkan sepasang sandal kulit. Gudel kaget. Gudel tahu itu sandal Kliwon. Gudel deg - degan. Jantungnya berdegup. Pikiran jangan - jangan terbukti. Mulut Gudel seperti terkunci. Gudel hanya bisa menatap sepasang sandal. Setelah beberapa saat Gudel baru bisa bersuara : " Itu sandal kang Kliwon, kang Blengur. Duh jangan - jangan ... " Kalimat Gudel  berhenti disini. " Ini sandal Kliwon, Del ?" Wajah Pak Blengur menjadi semakin tegang. Di pikiran pak Blengur terbersit apa yang telah dialaminya dulu. Menemukan sepasang sandal yu Jumprit dan berahkir dengan ditemukannya jasad yu Jumprit yang diperdaya orang. Tak urung pak Blengurpun menjadi deg - degan. " Dah gini saja, Del. Kamu pulang. Ajak beberapa perjaka. Nanti kita susuri kali. Duh ... jangan - jangan .... " Pak Blengur berhenti berkata dan pandangan matanya kosong menerawang. Gudel cabut dari duduk dan segera meninggalkan pak Blengur yang bengong.

bersambung ..........................