Senin, 03 September 2012



Cubung Wulung

                                                                                                               edohaput


Keenambelas

Malam berikutnya juragan Rase sengaja mendatangi rumah pak Pedut lebih awal. Juragan Rase kawatir kalau datang seperti kemarin malam, siisi rumah  sudah pada tidur, sehingga ia takut akan mengganggu pak Pedut jika - jika malam ini juga sedang bersama yu Jumprit lagi.
" Ada perlu penting, mas Rase ? " Kata sambutan pak Pedut kepada juragan Rase setelah duduk di kursi rotan. Pak Pedut terpaksa menambah kata mas untuk menyebut juragan Rase. Kecuali untuk menghormati orang kaya, juga karena Rase dulu dengan Rase sekarang memang sudah berbeda. Dulu pak Pedut untuk memanggil Rase tidak perlu ada tambahan mas.  " Ah tidak lik ... hanya kepingin ngobrol saja sama lik Pedut. Sudah lama kan kita tidak ngobrol - ngobrol ? " Juragan Rase menjawab sambutan pak Pedut. " Lha iya ta ... sejak kamu jadi juragan, trus kamu jadi lupa aku ". Pak Pedut sambil tertawa lebar. " Ah ... ya tidak ta lik. Cuma saja memang sejak Nyi Ramang sakit kemudian meninggal aku jarang datang. Pertama aku tidak tega melihat Nyi Ramang tergeletak lemah, kedua aku memang sibuk berdagang, lik ". Jawab juragan Rase yang dibuat - buat. " Sudahlah dak apa - apa. Oh ... ya... terima kasih bantuanmu. Dua ekor sapi bantuanmu sudah disembelih kemarin pada peringatan hari keempatpuluh meninggalnya simbok ". Pak Pedut renyah dan sangat familier menerima juragan Rase. Kecuali pak Pedut sudah sangat dekat dengan Rase, juga karena memang Rase dulu banyak membantu Nyi Ramang mengobati orang ketika Nyi Ramang masih bugar. Bahkan dulu hari - harinya Rase habis di rumah pak Pedut. "Begini lik, kedatanganku ke sini dak lain dan dak bukan cuma mau tanya sama lik Pedut. Itu jimat Nyi Ramang apa sudah dirawat baik - baik sama lik Pedut ? Aku cuma kawatir lik Pedut menyia - nyiakan jimat itu. Banyak orang sudah pada bertanya - tanya lho lik. Sebagai pengganti Nyi Ramang sekarang siapa. Sekarang banyak warga yang bingung. Kepada siapa mau minta tolong. Kalau kemarin - kemarin ketika Nyi Ramang sakit tua, orang - orang pada maklum. Tetapi sekarang mereka pada bertanya. Kapan lik Pedut mau menggantikan Nyi Ramang menolong orang ". Panjang juragan Rase kepada pak Pedut. Pak Pedut Mengerinyitkan dahi kemudian menatap Juragan Rase yang terdiam menunggu jawaban. Pak Pedut terdiam. Kemudian malah menyulut rokok. Dan menghempaskan asap ke langit - langit rumah. Pak Pedut harus berkata apa kepada Juragan Rase. " Lho kok malah legok - legok seperti orang bingung ta lik ? " Juragan Rase berganti yang menatap pak Pedut. Juragan Rase sangat ingin pak Pedut segera menggantikan Nyi Ramang. Tetapi kalau pak Pedut tidak bisa melakukan itu juragan Rase merasa bisa dan mau menggantikan Nyi Ramang. Ia sudah sangat tahu bagaimana harus memperlakukan jimat Nyi Ramang. Bahkan juragan Rase pernah diberitahu Nyi Ramang bagaimana cara memperlakukan dan merawat jimat itu. Juragan Rase merasa pantas memiliki jimat itu. Selain ia lebih tahu tentang jimat itu dari pada orang lain, juga ia sangat ingin merawat jimat itu sebaik - baiknya karena jimat itu telah pula  menjadikannya juragan kaya. Juragan Rase sangat memercayai apa yang dikatakan hatinya. Jimat itu telah membantu memperlancar ia memperoleh untung.
Menik membawa teh dan tempe goreng. " Belum tidur ? " Juragan Rase menyapa Menik yang meletakkan gelas teh dan sepiring tempe goreng di depannya. " Belum, kang. Kang Rase sehat ? " Menik menjawab sapaan Juragan Rase sambil tersenyum. Sesaat Juragan rase terkesiap. Matanya menatap Menik yang begitu tampak cantik. Menik adalah biasa di matanya. Sejak Menik kecil sampai Menik dewasa tidak lepas dari pengamatan matanya. Tidak ada apa - apanya. Tetapi mengapa tiba - tiba kini hatinya berdesir melihat Menik ada di hadapannya. Apa karena Menik mengenakan kain yang sedikit kekecilan sehingga lekuk tubuhnya menggoda keperjakaannya ? Apa tangan Menik yang kelihatan lembut ketika menyodorkan teh ? Atau apakah mata Menik yang bulat, dan senyumannya yang ramah ? Tidak ! bukan itu. Ada rasa yang aneh di hati juragan Rase. " Diminum, kang. Tempenya panas lho kang. Aku yang goreng. Sudah lama ta dak makan tempe gorengku ? " Menik sangat familier. Karena juragan Rase memang bukan orang yang asing bagi Menik. Dulu ketika Nyi Ramang masih sehat dan masih mau menolong orang, Raselah yang selalu membantunya. Dan Menik pulalah yang juga selalu bersama Rase membantu Nyi Ramang. Aneh. Di telinga Juragan Rase suara Menik tiba - tiba terdengar begitu merdu. Mendayu menusuk hatinya. " Ya ayo diminum mas Rase ! Jangan dibiarkan dingin !" Pak Pedut menimpali kalimat Menik. Tangan pak Pedut menyambar tempe goreng dan memasukkan ke dalam mulut sambil berdiri. " Nik temani Juragan Rase. Kalian mengobrolah. Aku kebelakang dulu " Berkata begitu pak Pedut terus berlalu dari ruang tamu. Tinggal Menik dan juragan Rase yang ada. 
Lampu yang tidak begitu terang justru membuat wajah Menik tampak lebih ayu. Jantung juragan Rase menjadi tambah deg - degan melihat wajah Menik di bawah lampu yang temaram. Menik yang sesekali menggerakkan kakinya, dan pahanya dibuat tumpang tindih, dan roknya yang agak kependekan menjadikan pahanya, bahkan hampir - hampir sebagian pantatnya nampak di mata juragan Rase. " Ayo ta kang, dimakan tempenya " Menik menawarkan goreng tempenya sambil mengangkat piring mendekatkan ke tangan juragan Rase. Menik yang menjadi sedikit membungkuk membuat buah belahan buah dadanya terlihat di mata juragan Rase. Jantung juragan Rase menjadi semakin berdegup. Juragan Rase mengambil septong tempe dan mencoba mengunyahnya tetepi menjadi sulit menelannya. Kerongkongannya menjadi tersekat oleh degup jantungnya. Juragan Rase yang selalu sibuk berdagang hewan memang tidak pernah sempat berpikir tentang wanita. Yang ada dipikirannya hanya uang untung dan bagaimana cara menjadi lebih untung. Wanita belum terlintas di alam pikirnya. Tetapi tiba - tiba kini Menik membuatnya bergetar. " Kang Rase, mesti sudah pacaran ya kang ? Sama perawan mana, kang ? Kang rase kan banyak duit. Wanita mana yang tidak tertarik sama kang Rase. Lagian kang Rase kan ganteng !" Menik membuka pembicaraan dengan cara menggoda juragan Rase. Juragan Rase tak bisa menjawab godaan Menik. Malah kerongkongannya tersedak. Buru - buru juragan Rase menyerutup teh yang masih hangat - hangat rada panas, membuat bibirnya kepanasan. " Alon - alon saja kang, makannya, dak usah ke susu. Santai saja. Aku mau kok diajak ngobrol sampai malam ". Lagi - lagi Menik menggoda Rase. 
Pikiran Rase melayang jauh. Seandainya Menik ini bisa diajaknya pacaran. pasti dirinya akan sangat senang. Rase membayangkan bisa memeluk Menik. Mencium pipinya yang merona. Mengelus rambutnya yang sebahu. Dan mengecup bibirnya yang merekah merah. Menik yang telah bertumbuh semakin dewasa dan kemudaannya yang begitu ranum membuat Rase sadar kalau Menik ternyata sangat menarik. Sangat menggoda keperjakaannya. Tidak disadari kelelelakian Rase menggeliat. Jantungnya yang berdegup dan perasaannya yang bergetar malah membuat Rase semakin tak bisa bicara. 
" Lha kok diam ta kang, mbok ngomong !" Menik sambil tersenyum dan tangannya menyodok lengan juragan Rase. Rase yang dulu sangat sering bersentuhan dengan Menik dan tidak pernah ada rasa apa - apa, kini lengannya disentuh tangan Menik, rasanya seperti kena getaran. Getaran yang merambah ke perasaannya dan turun di kelelakiannya dan menyebabkan semakin menggeliat dan mengencang. Juragan Rase bingung. Malu kalau ketahuan dirinya sangat tergoda. " Nik, dah malam, aku tak pulang dulu. Besuk malam saja aku kesini lagi ". Berkata begitu Rase bangun dari duduk dan melangkah menuju pintu sambil menyembunyikan kelelakiannya yang jika tidak tertutup celana agak ketat pasti sudah mencuat. " Lho kang gimana ta, lha pamit bapak !" Menik juga berdiri membuntuti Rase. " Pamitkan saja. Besuk malam aku kesini lagi !" Juragan Rase membuka pintu tanpa menoleh lagi ke wajah Menik. Rase takut celana bagian depannya yang melembung diketahui Menik. 
Juragan Rase yang datang ke pak Pedut dengan tujuan untuk mengetahui keberadaan batu Kecubung Wulung jimat Nyi Ramang, pulang dengan tidak membawa hasil. Pikirannya malah berubah menjadi mikir Menik. 

bersambung ................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar